Fanatisme melawan “kesetiaan kepada Allah.”
_oOo_
Fanatisme Yahudi: “Abraham adalah bapa kami,” Mat 3:9. Yesus mencela fanatisme ini dengan berkata, “Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu.”
Fanatisme TIMBUL dan BERTUMBUH jika keimanan dikemas berupa aturan-aturan yang terus menerus dikembangkan. Dalam gerak tumbuh “aturan-aturan,” tersingkirlah HAKEKAT “kesetiaan kepada Allah.” Di sini, maksudnya, oleh fanatisme itu maka “kesetiaan kepada Allah” BUKAN LAGI TENTANG KEPEKAAN (refleksi) melainkan tentang “kepatuhan pada aturan-aturan.”
Oleh fanatisme, maka “kesetiaan kepada Allah” menjadi dimensi manusiawi. Oleh fanatisme, maka “kesetiaan kepada Allah” memiliki ukuran terdeteksi. Terdeteksi lewat adat istiadat, aturan gereja, ketokohan seseorang, bahkan tafsiran-tafsiran Alkitab.
Yesus tegas mencela fanatisme ahli Taurat itu. “Mengapa kamu melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” tegas Yesus, Matius 15:3.
Memang benar, perihal “kesetiaan kepada Allah” adalah perihal kepekaan. Yakni kepekaan yang timbul akibat kehadiran Roh Kudus dalam diri kita. Ini kepekaan yang digerakkan oleh rasa hormat kepada Allah, yakni MENGASIHI ALLAH.
Perihal “kesetiaan kepada Allah” seharusnya TERKEMAS berupa perihal yang bergerak bebas TANPA ADA KEKANG, dalam perannya menolak ajang mistik, pemberhalaan, dan sikap-sikap pemberontakan terhadap Allah.
Juga, sudah semestinyalah, kesetiaan kepada Allah bekerja “lepas” sebagai “daya pengendalian diri” yang akan membentuk perilaku ketekunan dan tahan menderita. Tetapi nyata, banyak kelompok Kristen begitu bersandar pada RITME PSIKOLOGIS sebagai tatanan aktifitas keimanan. Maka, terus saja mereka bergiat memperkokoh sendi-sendi fanatisme demi pertumbuhan fanatisme itu sendiri.
Jika saja Tuhan Yesus mengajukan pertanyaan penting ini: “apa yang lebih penting, PERSEMBAHAN ataukah MEZBAH yang menguduskan persembahan itu?” Matius 23:19, maka kelompok fanatisme akan menjawab: “PERSEMBAHAN…!” Ya, mereka menjawab demikian karena mereka merasa telah mempersembahkan “kepatuhan”.
Kesadaran yang dimiliki kelompok fanatisme, begitu terfokus pada “kepatuhan,” bukannya terfokus kepada “inisiatif,” hal ini yang membuat kesadaran mereka merasa lebih benar sendiri, namun sesungguhnya mereka telah mengenyampingkan “prinsip hidup dalam kebersamaan.” Dalam gerak pertumbuhannya, perlahan namun pasti, kesadaran ini menciptakan diri mereka sebagai sosok-sosok individualistik.
Terfokuslah kepada Yesus Kristus, Tuhan kita, kepada Dialah kesetiaan kita, bukannya aturan-aturan kelembagaan. Bukankah HANYA dengan cara hidup bersama-sama yang mampu menerima perbedaan-perbedaan maka kasih Allah mengalir sebagai perilaku kasih dalam gerak hidup kita?
Terpujilah Kristus. Amin.
[ Gogona
]

Persekutuan Studi Reformed
27 Juni 2018