Kristus, Role Model Yang Sejati
_oOo_
Pengantar
Mata dunia hanya terfokus kepada materi sebagai esensi manusia. Bagi dunia, manusia hanya bersifat fisik yang menempati ruang dan waktu, bersifat objektif dan mengisi area, sehingga manusia dapat diukur, dihitung (kuantitas), dan diobservasi. Bagi kaum materialis, spiritual tidak memiliki esensi kenyataan, karena spiritual adalah sesuatu yang tidak mengisi atau menempati ruang, itulah ia harus ditolak keberadaannya sebagai esensi manusia. Namun, bagi kaum materialis, psikologis adalah peristiwa material, karena psiko-biologi adalah gejala mental dari peristiwa-peristiwa mekanis, elektris dan kimiawi yang berlangsung dalam tubuh manusia, khususnya pada otak dan sistem syaraf, sehingga perilaku diasumsikan sama dengan gejala alam yakni dapat dijelaskan menurut hukum sebab-akibat.
Di lain pihak, spiritualisme berkata bahwa kekuatan spiritual adalah kekuatan yang mengakibatkan setiap penampakan atau kejadian yang sementara berlangsung, namun untuk mengukur dan menjelaskannya hanya bisa dengan menggunakan metafor-metafor kesadaran manusia. Mereka menyatakan bahwa Roh Tuhan adalah absolut, sehingga bersifat bebas dan tidak berhingga, tetapi roh manusia tidak bebas dan tidak berhingga, bahkan gerak pada setiap planet dan hukum alam, sudah didesain terlebih dahulu oleh kekuatan spiritual. Tetapi, pada kenyataan dunia sekarang ini, spiritual sebagai esensi manusia, telah terpinggirkan.
Bagaimanapun, manusia dalam esensinya itu, terdapat tiga faktor yang menjadi mata dunia dalam menilai manusia, yaitu harta, kepercayaan, dan status sosial. Lalu, bagaimanakah Alkitab menilai manusia? Perhatikan ucapan Paulus ini, “Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang,” 2 Korintus 5:16-17.
Harta / Uang
Semua manusia pasti menginginkan kesejahteraan, kecukupan akan kebutuhan sehari hari. Kesejahteraan atau kecukupan tersebut harus diusahakan atau lazim disebut “dicari,” baik melalui bekerja atau berbisnis (dagang). Tetapi di daerah-daerah terpencil, terutama di pedalaman, mereka tidak melakukan pekerjaan/berdagang seperti masyarakat pada umumnya. Pengertian “bekerja” yang kita mengerti, namun bagi mereka adalah mencari kekayaan alam dan bisa menikmatinya. Sehingga mereka sudah merasa sejahtera dan tercukupi baik dari segi makan, pakaian ataupun tempat tinggal. Mereka tidak terpesona dengan perkembangan yang terjadi di luar mereka. Sekarang kita yang hidup di peradaban modern, bahkan sekarang masuk di abad postmodern, sangat dan sangat bergantung bahkan hampir diperbudak dengan uang, materi atau harta. Memang berbeda dengan masyarakat pedalaman, tetapi di sini kita melihat esensi dasar kebutuhan jiwa dan raga manusia. Masyarakat di pedalaman juga hidup di jaman sekarang masih ada di Indonesia, masih ada di Kalimantan, NTT, NTB, dan Papua. Mungkin terdapat di beberapa pulau lain tetapi tidak sebesar populasi di empat (4) pulau tersebut. Kita melihat di desa atau kota-kota kecil pun tidak saja terkena dampak modern yang positif (baik) tetapi juga terkena dampak negatif (jahat) dari perkembangan jaman ini. Banyak perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, korupsi, dan seterusnya. Jadi, kita balik lagi mengenai uang/harta, itu bisa membutakan mata hati/mata iman kita kepada Pencipta. Bukannya kita tidak boleh mencari dan mendapat uang atau harta di dalam hidup kita tetapi ditekankan kembali esensi atau hakekat hidup manusia yaitu uang untuk hidup bukan hidup untuk uang. Seperti makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Sehingga fokus hidup kita bukan untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dengan segala cara tetapi bagaimana hidup kita lebih berguna atau bermanfaat dengan uang yang kita miliki. Jadi kita melakukan “Quality Life Oriented” bukan “Money Oriented” di dalam hidup ini.
Kepercayaan / Iman
Iman sering digunakan hanya pada saat orang melakukan ibadah/sembahyang menurut kepercayaan orang tersebut. Digunakan dalam arti, orang tersebut berbicara sesuai kaidah agama, berbuat sesuai ajaran agama dan berusaha dipandang sebagai orang yang baik. Bagaimana kalau tidak pada ibadah/sembahyang? Apakah iman itu mulai nyata di dalam kehidupan sehari hari? Saya mungkin beberapa kali melihat begitu banyak orang melepaskan keimanan mereka dalam hidupnya. “Melepaskan” bisa berarti tidak melakukan ajarannya atau bahkan meninggalkan iman mereka dan berpaling kepada iman kepercayaan yang lain. Dilakukan lebih banyak dengan kesadaran mereka bukan untuk apa atau demi apa, tetapi lebih banyak mengenai esensi mereka yang tidak mendapat apa yang mereka butuhkan dalam hidup ini. Ada bagian yang kosong dalam hidup manusia yang seharusnya manusia mengisi bagian yang kosong itu dengan hal yang bersifat spiritualitas. Spiritualitas juga yang benar, sesuai dogma atau ajaran yang diwahyukan. Jangan hanya mempercayai omongan manusia tetapi lebih giat lagi mencari sumbernya.
Status Sosial
Seringkali kita memerlukan penilaian dari orang lain, baik itu soal penampilan, kekayaan/materi, jabatan kita atau hobi kita. Itu baru sebagian penilaian yang terlihat dari diri kita, belum penilaian yang tidak terlihat secara fisik dari diri kita misalkan kita anak siapa, kita menikah dengan anak siapa, kita punya pengaruh di lingkungan atau keluarga kita, dan lain-lain. Itu yang akan bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi esensi hidup manusia. Kenapa seperti itu? Karena pada dasarnya manusia punya sifat ingin disanjung, dipuji dan hidupnya selalu ingin sukses bahagia. Tetapi berbeda sekali dengan pengajaran Kristus karena kesederhaanNya, karena kesusahanNya seperti mempedulikan, mengasihani dan berkorban tenaga, waktu dan materi bahkan nyawaNya sendiri, itulah maka Dia dipuji, dimuliakan dan disembah.
Refleksi
Pengertiannya seperti ini: Kristus menciptakan manusia karena Kristus itu sendiri ialah Allah yang menjadi manusia. Dia sangat tahu sifat, karakter dan tabiat manusia, karena Kristus sebagai manusia sejati juga memiliki ketiganya, tetapi ada satu sifat Kristus yang tidak dimiliki manusia lain, yaitu “Dia tidak berdosa.” Esensi manusia ada pada diri Kristus karena Dia sudah mencontohkan/menjadikan diriNya sebagai role model yang sejati, sebagai diri manusia sesungguhnya. Hakekat manusia yang sejati bukan dari penilaian atau definisi manusia, tetapi dari yang lebih tinggi yaitu dari Kristus. Apakah kita, saya dan Anda masih melihat esensi manusia dari mata dunia?
Tuhan Yesus memberkati.
Salam Kasih Karunia,
[ Bogy
]

Persekutuan Studi Reformed
09 Januari 2019