MORALITAS PENGETAHUAN KESUSASTERAAN
(MORALITY OF LITERARY KNOWLEDGE):
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN BERSIKAP
(BAGIAN KETIGA) – NEO-ORTODOKSI
(MORALITY OF LITERARY KNOWLEDGE):
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN BERSIKAP
(BAGIAN KETIGA) – NEO-ORTODOKSI
_oOo_
Pengantar
Tema-tema kebaktian dan perayaan Paskah, sebagaimana halnya pada saat Natal, berbagai lembaga masyarakat, instansi pemerintahan, dan perusahaan di Indonesia, seperti misalnya: “Dengan semangat Paskah tahun ini mari kita bulatkan tekad untuk meningkatkan kinerja” merupakan tema yang seakan-akan mudah dicerna dan diterima oleh semua orang. Bahkan gereja sekalipun, pada umumnya, sering menggaungkan tema masa Jumat Agung dan Paskah seperti: “Dengan semangat kebangkitan kita tingkatkan pengabdian kita kepada masyarakat sekitar, bangsa, dan negara.” Tema-tema seperti ini, secara umum dan sekilas, memang memberikan semangat yang menyatukan berbagai orang dengan berbagai latar belakang dan keadaan. Namun pernahkah kita memikirkan bagaimana seharusnya kita memandang tema-tema seperti itu dalam terang sikap moral kita, sebagai orang percaya, terhadap teks Alkitab? Sebagai intelektual Kristen adalah bukan hal yang berlebihan apabila kita menyadari hal ini sebagai tantangan hermeneutika yang harus kita cermati dengan sikap hati yang setia kepada otoritas Alkitab.
Pendahuluan
Harus kita sadari bahwa saat ini kita hidup di dalam realitas kontemporer dunia dan Indonesia awal abad ke-21, abad di mana cara kita berpikir dan memandang segala sesuatu merupakan bentukan panjang dari apa yang telah dijalani oleh manusia pada abad-abad sebelumnya yang telah melewati lautan luas pemikiran manusia. Oleh karena itu, sehubungan dengan keadaan sebagaimana dimaksud dalam bagian Pengantar, artikel ini akan menyoroti salah satu tantangan terbesar hermeneutika Kristen pada era kontemporer ini, yaitu: Neo-ortodoksi (Neo-orthodoxy). Neo-ortodoksi di dalam teologia Protestan dikenal sebagai suatu sikap hati teologia Eropa terhadap teologia liberal dan peninjauan ulang terhadap ajaran-ajaran ortodoksi para rasul dan dengan demikian juga Reformasi Protestan.
Neo-orthodoxy, in Europe also known as theology of crisis and dialectical theology,[1][2] is an approach to theology in Protestantism that was developed in the aftermath of the First World War (1914–1918). It is characterized as a reaction against doctrines of 19th-century liberal theology and a reevaluation of the teachings of the Reformation.[3] It is primarily associated with two Swiss professors and pastors, Karl Barth[4] (1886–1968) and Emil Brunner (1899–1966),[1][2] even though Barth himself expressed his unease in the use of the term. (Neo-orthodoxy, http://en.wikipedia.org/wiki/Neo-orthodoxy.)
|
Perkembangan pemikiran yang memicu munculnya gerakan Neo-ortodoksi
Teologi dan filsafat selalu berinteraksi. Munculnya gerakan Neo-ortodoksi dalam teologi tidak mungkin dilepaskan dari perjalanan panjang filsafat manusia. Oleh karena itu mari kita lihat berikut ini sejumlah pra anggapan agamawi baru, yang pada masa lampau berinteraksi dengan iman Kristen tetapi tidak berakar di dalam iman kepada Kristus.
-
Yunani Kuno dengan dualisme “bentuk” (form) dan “materi” (matter)
-
Pergumulan antara “kekal” (eternal) dan “sementara” (temporal)
-
Eklesiastisisme dengan dualisme ekstrimnya akan “rohani” dan “duniawi”
-
Abad Pertengahan dengan “alam” (nature) dan “anugerah” (grace)
-
Modernisasi yang menggiring pada pemisahan antara “alam” (nature) dan “kebebasan” (freedom)
Pengasingan Allah ke dalam dunia noumena sebagai bentuk pra anggapan agamawi yang terakhir ini, hal mana dipelopori oleh Kant, memanifestasikan dirinya sedemikian rupa melalui sikap hati Neo-ortodoksi yang dipelopori oleh seorang pendeta Swiss pada abad ke-19 bernama Karl Barth (1886-1968), yang memberikan pengaruh dominan hingga pada kita yang kini hidup di dalam abad ke-21 ini. Pemikiran inilah yang akan kita bahas dalam artikel ini.
Barth, penolakannya terhadap pemikiran guru liberalnya, dan pengaruh Kierkegaard terhadap epistemologi dan gagasannya
Barth pernah belajar di bawah teolog liberal bernama Adolf von Harnack (1851-1930), yang dalam bukunya History of Dogma (1894) memandang Yesus hanya sebagai bentuk personifikasi dari perasaan kasih dan cita-cita manusia yang paling ideal dan dengan demikian ia samasekali bukanlah Anak Allah yang unik dan supraalamiah. Seorang teolog liberal lain yang di bawahnya ia juga pernah belajar adalah Johann Wilhelm Herrmann (1846-1922). Dalam tulisannya The Communion of the Christian with God (1886) Herrmann menggagaskan pemisahan antara ‘persekutuan orang Kristen dengan Allah’ dari ‘Alkitab’. Pada satu sisi persekutuan orang Kristen dengan Allah (sebagai hal yang pokok) merupakan tujuan utama dari orang-orang percaya yang telah terdampak oleh Yesus dan atas mereka Alkitab mempunyai otoritas untuk membimbing dalam berkomuni dengan dia. Pada sisi lain Alkitab bukanlah Firman Allah yang ‘tanpa salah’ (inerrant) sehingga untuk menemukan kebenaran di dalamnya diperlukan kritik-kritik radikal dengan ukuran pengalaman dan perasaan kita – bayangkan betapa dahsyatnya pengaruh filsafat Hume dan Kant di sini. Oleh karena itu, menurut Herrmann, Alkitab tidak mempunyai otoritas untuk mengharuskan mereka yang tidak percaya untuk percaya.
Scripture has authority to guide believers who have been impacted by Jesus, but it does not have authority to mandate belief for the unbeliever.
(Sumber: http://people.bu.edu/wwildman/bce/herrmann.htm - Johann Wilhelm Herrmann (1846-1922)) |
Menurut Herrmann, iman merupakan suatu hubungan pribadi yang hidup dengan Allah yang dihasilkan oleh komunikasi langsung dengan Allah di dalam Yesus Kristus. Komunikasi langsung dengan Allah maksudnya adalah bahwa manusia dapat mengalami secara langsung kebaikan sejati yang tergambar dan teraktualisasi dalam Yesus ketimbang melalui doktrin atau pengajaran.
… he argued that faith is a living personal relationship with God, derived through direct communication with God in Jesus Christ. He believed that humans are able to see the truly good disclosed and actualized in Jesus.
(Sumber: http://universalium.academic.ru/271490/Herrmann%2C_Wilhelm) |
Maksud Herrmann adalah bahwa hanya oleh pengalaman yang terjadi secara individu yang dapat memberikan efek perubahan pada hidup seseorang. Tidak ada paksaan dari luar, apakah itu sosial atau psikologis, dapat memberikan tumpuan yang perlu dalam mengilhami seseorang untuk secara bebas datang kepada Allah.
… Only an experience that takes place within the individual will have the effect of transforming that individual's life. No external force, whether social or psychological, can provide the necessary fulcrum to inspire one to turn freely toward God.
(Sumber: http://people.bu.edu/wwildman/bce/herrmann.htm - Johann Wilhelm Herrmann (1846-1922)) |
Jadi bagi Herrmann Alkitab hanya merupakan suatu elemen saja dari tradisi yang diturunkan oleh orang-orang percaya yang pertama kali telah merasakan dampak Yesus atas hidup mereka. Alkitab dan tradisi merupakan perantara-perantara yang tidak boleh dicampur-adukkan dengan atau digeser oleh tujuan utamanya, yaitu persekutuan orang Kristen dengan Allah.
… In the end it seems Herrmann viewed scripture as an element of tradition that was handed down from those believers who had first felt the impact of Jesus on their lives. Scripture and tradition are mediators that should not be confused with or elevated above the chief end--namely the communion of the Christian with God.
(Sumber: http://people.bu.edu/wwildman/bce/herrmann.htm - Johann Wilhelm Herrmann (1846-1922)) |
Pengalaman akan Allah dan agama seperti digagas oleh Harnack dan Herrmann ini dipandang oleh Barth sebagai pengalaman yang sifatnya imanen. Bagi Barth kedua guru besarnya itu telah meninggikan imanensi, otentisitas dan kesejarahan sedemikian rupa sehingga meniadakan misteri dari agama dan dengan demikian membawa teologia dan gereja pada kekeringan. Oleh karena itu pada akhirnya ia menolak ajaran guru-gurunya mengenai imanensi Allah itu dengan menghadirkan Allah sebagai sesuatu yang transenden. Berikut ini adalah beberapa gagasan Barth sehubungan dengan argumentasi terhadap guru liberalnya sebagaimana dituangkan dalam buku tafsiran kitab Romanya A Shorter Commentary on Romans (1959).
-
Mempertanyakan liberalisme, khususnya gagasan Harnack mengenai “personifikasi” dan Herrmann mengenai “kebersalahan Alkitab”
-
Menegakkan pandangan barunya mengenai “wahyu” atau “penyataan” (revelation)
-
Menerapkan ide “paradoks” filsuf SA Kierkegaard sebagai dasar epistemologi
-
Menekankan transendensi Allah secara mutlak
-
Menempatkan kesejarahan sebagai hal yang tidak penting dalam iman
Sikap moral orang Kristen terhadap gagasan Neo-ortodoksi Barth
Pemikiran Barth seakan-akan sangat alkitabiah dan memberikan angin segar kepada teologia setelah sedemikian lama kering akibat pengaruh liberalisme. Sikap moral Kristen terhadap pandangan Barth ini diwakili salah satunya oleh Cornelius Van Til yang menyebutnya sebagai modernisme dalam bentuk yang baru, hal yang oleh teolog-teolog Kalvinis juga disebut sebagai Neo-ortodoksi. Oleh karena itu di dalam terang inspirasi ilahi dan ketidak-bersalahan Alkitab kita dipanggil untuk menegaskan sikap moral berikut ini sebagai pembaca-pembaca Kristen:
-
Mengenai gagasan Barth menghadirkan Allah sebagai “Yang Mutlak Berbeda dari kita” (Wholly Other)
-
Mengenai pandangan Barth terhadap “wahyu” atau penyataan
-
Mengenai penerapannya akan ide paradoks filsuf SA Kierkegaard dalam teologianya
-
Mengenai gagasannya akan transendensi Allah
-
Mengenai gagasannya memisahkan iman dari sejarah
Jadi pada lima gagasan Barth ini tampak jelas pengaruh besar pemisahan yang filsuf Kant lakukan antara dunia noumena dan fenomena. Lima pokok gagasan Barth ini seakan-akan sangat logis sehingga seolah-olah menolong Kekristenan untuk dapat diterima oleh publik, padahal Allah yang ia gagas itu sesungguhnya adalah Allah yang terasing dari kehidupan kita. Sungguh disayangkan karena sesungguhnya situasi eksistensial adalah hal yang tidak salah. Setiap penulis Alkitab pun secara subyektif, dalam arti semangat dan pikirannya, selalu terlibat di dalam penulisan Firman Allah. Akan tetapi subyektifitas mereka sama sekali tidak meniadakan atau setidaknya mengurangi sifat inspirasi ilahi dan obyektifitas teks-teks Alkitab sebagai nafas Allah yang hidup (Yunani: theopneustos). Pada saat sikap hati eksistensial seperti ini telah menjadi ilah ia akan menghakimi kebenaran yang bersifat obyektif berdasarkan situasi eksistensialnya sendiri yang sesungguhnya juga terbatas. Jadi Barth berusaha menolong kekristenan dari kritik liberalisme akan tetapi ia menempuh jalan keluar yang tidak mengindahkan otoritas Alkitab dan pada akhirnya ia telah mengabaikan sikap moral kita seharusnya sebagai pembaca Alkitab.
Pemikiran Barth mengenai “the Wholly Other” dan perbandingannya dengan pemikiran Jacques Derrida mengenai “otherness”
Hal menarik yang kita lihat di sini adalah teolog injili Kevin J. Vanhoozer mengatakan bahwa oleh karena sama-sama dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Kierkegaard mengenai paradoks ada kemiripan tertentu antara teologia Karl Barth dan filsuf Prancis Jacques Derrida.
Derrida has even been linked with Barth. Graham Ward argues that both thinkers are postmodern inasmuch as they share a similar problem – how to get beyond the language system in order to represent reality (Derrida); how to use words to speak of the Word (Barth) – and a similar response – we speak in awareness that our words are limited by otherness (Derrida) and by the Wholly Other (Barth). / Derrida bahkan telah terhubung sedekimian rupa dengan Barth. Graham Ward berpendapat bahwa kedua pemikir tersebut adalah posmoderen dalam sejauh mana mereka berbagian dalam masalah yang sama – bagaimana membawa kita melampaui sistem bahasa dalam upaya merepresentasikan realita (Derrida); bagaimana menggunakan kata-kata untuk memperkatakan Firman (Barth) – dan suatu respon yang sama – kita berbicara dalam kesadaran bahwa kata-kata kita sungguh dibatasi oleh keberlainan (Derrida) dan oleh Yang Samasekali Lain (Barth). (Kevin J. Vanhoozer, “Is There A Meaning In This Text?: The Bible, The Reader, And The Morality Of Literary Knowledge,” Zondervan, Grand Rapids, Michigan, 1998, p.51)
|
John D. Caputo, seorang penafsir filsafat Derrida, dalam esainya berjudul Instants, Secrets, and Singularities menjelaskan bagaimana Derrida me-reading tindakan Abraham mempersembahkan Ishak berdasarkan paradoks Kierkegaard sebagaimana Kierkegaard eksposisikan dalam bukunya Fear and Trembling (1843). Tindakan Abraham mempersembahkan Ishak tanpa bertanya kepada orang banyak, termasuk kepada Sara, istrinya, dikatakan oleh Caputo bagaikan suatu ”ilmu ekonomi gila” (mad economics), yaitu suatu tindakan yang tidak didasarkan atas ekonomi resiprokal ”terima dan beri” (take and give) sebagaimana berlaku dalam etika universal. Mad economics, dalam pemikiran Derrida, merupakan suatu tindakan yang sesungguhnya mustahil untuk dapat diputuskan dalam arti estetis, sebagaimana ditulis oleh Caputo:
... undecidability does not mean aesthetic indecision but supplies instead the condition of possibility of deciding, i.e., of taking a risk. / … kemustahilan sesuatu untuk diputuskan bukanlah suatu keadaan estetis tanpa keputusan, melainkan justru merupakan suatu kondisi di mana keputusan menjadi mungkin untuk diambil, yaitu dengan mengambil suatu risiko. (John D. Caputo, “Instants, Secrets, and Singularities: Dealing Death in Kierkegaard and Derrida.” – Martin J. Matuštik; Merold Westphal (eds). “Kierkegaard in Post/Modernity.” Indiana University Press, 1995, p.216)
|
Maksudnya, perintah Tuhan kepada Abraham untuk mempersembahkan Ishak, anak kandung yang sedemikian lama dinantinya itu, telah membawa Abraham pada suatu pilihan yang sulit bahkan mustahil untuk diputuskan (undecidable). Apabila pada akhirnya Abraham memutuskan untuk menghadapi situasi itu dengan mengambil keputusan untuk mempersembahkan Ishak sebagai korban sembelihan, sesungguhnya hal itu merupakan suatu tindakan pengambilan risiko saja. Menguatkan eksposisinya terhadap “pembacaan” Derrida atas peristiwa penting itu kemudian Caputo juga menggunakan pembacaan Derrida terhadap “takut dan gentar” sebagaimana dimaksud Paulus dalam Filipi 2:13 berikut ini:
... Paul may be understood to say that we can do nothing without God’s help. … this is Derrida’s reading – Paul means that God does not have to give reasons (rationem reddere), God can give or take away salvation without giving an explanation. We are in the hands of God and we do not know what God wants, what is God’s pleasure, which is a secret shrouded in silence. We do not see (voir) or know (savoir) what God wants, otherwise God would not be God, i.e., Wholly Other. / … dapat dipahami bahwa setidaknya Paulus bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak satu hal pun dapat kita lakukan tanpa pertolongan Allah. … inilah pembacaan Derrida – Paulus memaksudkan bahwa Allah tidak harus memberi alasan, Allah dapat memberi atau mengambil keselamatan tanpa memberitahukan alasannya. Kita ada di tangan Allah dan kita tidak tahu apa yang Allah kehendaki dan apa yang Allah senangi, karena itu merupakan rahasia yang tersembunyi di dalam kesunyian. Kita tidak melihat atau mengetahui apa yang Allah kehendaki karena bila tidak demikian maka Allah bukan Allah, Ia adalah sesuatu yang Samasekali Lain dari apa yang mungkin kita pikirkan. (John D. Caputo, “Instants, Secrets, and Singularities: Dealing Death in Kierkegaard and Derrida.” – Martin J. Matuštik; Merold Westphal (eds). “Kierkegaard in Post/Modernity.” Indiana University Press, 1995, p.220)
|
Perhatikan di sini bagaimana pembacaan Derrida terhadap peristiwa Abraham merupakan hal yang sesungguhnya menakutkan. Ini yang juga dimaksud dengan mana penyataan Alkitab itu pada akhirnya hanya dapat didekati saja tetapi tidak akan dapat dimiliki dan semuanya ini membawa kita paling jauh sampai pada perkiraan tentang kebenaran Alkitab itu saja di mana kebenarannya itu sendiri tetap tidak akan pernah tersampaikan kepada kita. Allah sebagaimana dimaksud oleh Derrida adalah sama halnya yang dimaksud oleh Barth, sesuatu yang tidak akan pernah mungkin dapat kita kenal sebagaimana Dia sesungguhnya berada.
Neo-ortodoksi Barth dan pengaruhnya pada sikap moral kesusasteraan masyarakat pada umumnya
Kuatnya pengaruh Kant pada pemikiran Karl Barth dan kemudian pemisahan ekstrim yang Barth lakukan antara sejarah dengan iman seolah-olah memberikan jawaban yang memuaskan tentang akuntabilitas keilahian dan peristiwa kebangkitan Kristus, misalnya, dan dengan demikian seakan-akan menolong Kekristenan dari kritik sejarah kaum modernis. Oleh karena itu kalimat eksistensial seperti “Kiranya bayi Natal itu lahir pula di dalam hati kita masing-masing!” pada momen Natal akan lebih mudah diterima secara umum, ketimbang apabila kalimat tersebut berbicara bahwa bayi itu adalah seorang Juruselamat yang akan memberikan arah yang benar kepada struktur-struktur dalam masyarakat dalam mana setiap individu berada. Demikian pula kalimat eksistensial seperti “Dengan semangat Paskah tahun ini mari kita bulatkan tekad untuk meningkatkan kinerja!” pada momen Paskah akan terdengar masuk akal dan dengan demikian mudah diterima secara umum, ketimbang apabila kalimat tersebut berbicara bahwa kematian dan kebangkitan Kristus memberikan pengharapan bagi struktur-struktur dalam masyarakat untuk kembali ke arah maksud semula diciptakan oleh Allah. Sikap moral kesusasteraan terhadap Alkitab seperti itulah yang pada era kontemporer ini secara umum mempunyai tempat.
Kesimpulan
Sebagai orang Kristen yang hadir di tengah-tengah perubahan dunia dan Indonesia pada umumnya serta iklim transformasi lembaga, instansi, maupun perusahaan di mana kita bekerja, dengan hati yang terbuka kita harus sungguh-sungguh menguji sikap moral kita terhadap Alkitab. Hanya dengan demikianlah kita dapat memikirkan pesan apakah, baik mengenai kelahiran, kematian, dan kebangkitan Kristus, yang seharusnya kita sampaikan kepada publik. Bukankah fakta dosa dan akibatnya merupakan hal yang sesungguhnya juga telah berdampak kepada lingkungan masyarakat, lembaga, instansi, perusahaan dan juga negara? Sekiranya ada kesempatan adalah baik bagi orang-orang Kristen yang telah berkomitmen kepada ketuhanan Kristus atas segala sesuatu untuk mengambil peranan menyampaikan kebenaran Alkitab ini kepada lembaga dan instansi di mana mereka berada dengan kategori-kategori struktur di dalam mana kita berada.
Penutup
Moralitas kita terhadap teks Alkitab merupakan sesuatu yang bukan hanya seluas pribadi. Ia merupakan sesuatu yang seharusnya juga ”menular” (contageous) kepada khalayak ramai. Akan tetapi kita sadar bahwa kita tidak mungkin dapat melakukan hal itu sendiri. Kita memerlukan teman dan rekan sekerja yang memahami panggilah ini secara bersama-sama. Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satu wadah di mana kita dapat menikmati bagaimana mempelajari dan kemudian mengerjakan hal itu. Mari kita gunakan waktu kita yang tersisa ini sebaik-baiknya bagi kemuliaan Tuhan. Selamat Paskah 2020.
[ Jessy Victor Hutagalung
]

Persekutuan Studi Reformed
21 Agustus 2013