Renungan Harian [ Kamis, 17 Maret 2022 ]
Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai, demikian: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe, kota yang besar itu, berserulah terhadap mereka, karena kejahatannya telah sampai kepada-Ku.” Tetapi Yunus bersiap untuk melarikan diri ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN (Yunus 1:1-3a)
Sungguh misi yang mengejutkan dan tak masuk akal. Mungkin pikiran inilah yang muncul di benak Yunus bin Amitai ketika firman TUHAN datang kepadanya. Allah memerintahkan sang Nabi Yahudi itu untuk pergi ke kota non Yahudi, Niniwe, ibukota kerajaan Asyur, karena kejahatan mereka telah sampai kepada Allah. Sejarah mencatat Asyur sebagai bangsa yang dipenuhi kekejaman dan kekerasan. Mereka tidak segan menyiksa, memutilasi, dan memenggal musuh-musuhnya dalam satu batu besar dan diparadekan bersama teman dan anggota keluarga mereka. Mereka mencabut lidah para tahanan dan menarik tubuh tahanan dengan tali agar bisa dikuliti hidup-hidup dan dipertontonkan di tembok-tembok kota. Mereka membakar para remaja hidup-hidup, serta sederetan kekejaman lainnya (Timothy Keller, The Prodigal Prophet, hal.14). Kepada bangsa inilah sang nabi diperintahkan untuk menyampaikan berita penghukuman sekaligus berita anugerah pengampunan Allah jika mereka bertobat dan berbalik dari kejahatan mereka.
Oleh karenanya misi ini sulit dipahami oleh sang nabi. Bagi Yunus, sederetan kejahatan dan kekejaman Niniwe harusnya cukup menjadi alasan pembenar bagi Allah untuk menghukum mereka dengan keras tanpa ampun. Alih-alih berlaku demikian, Allah malah menyatakan belas kasihan dan kemurahan-Nya dengan memberi kesempatan kepada Niniwe untuk bertobat dan berbalik kepada-Nya. Yunus tak habis pikir dengan tindakan Allah ini. Ia tak rela bangsa kafir itu menjadi objek jangkauan misi Allah. Bagaimana mungkin Allah masih memberi kesempatan kepada bangsa yang sedemikian jahatnya dan musuh dari umat-Nya menerima anugerah pengampunan?
Itulah sebabnya Yunus menolak taat atas perintah Allah ini. Baginya, tak ada alasan memadai untuknya menjalankan misi yang tidak masuk akal ini. Maka ketika Allah menyuruhnya ke Niniwe (ke Timur), ia malah pergi ke arah berlawanan. Ia pergi ke Tarsis (ke Barat). Sebuah tindakan membelakangi Allah yang membawanya keluar dari hadirat Allah (ayat 3a). Ia melarikan diri dari Allah. Suatu tindakan bunuh diri rohani, demikian J. I. Packer menyebutnya. Packer mengatakan bahwa hadirat Tuhan adalah sesuatu yang sangat berharga. Hadirat-Nya bukan realitas geografis tetapi realitas perjanjian. Ketika Yunus melarikan diri dari Tuhan dalam ketidaktaatan, ia sedang melarikan diri dari berkat Allah. Itu semacam bunuh diri rohani (J.I Packer, Selalu Ada Harapan, hal. 90). Setiap langkah menjauh dari hadirat Allah adalah satu langkah lebih dekat menuju kematian (bdk. Yun. 2:6) (ESV Study Bible, Jonah, hal.1687). Ironisnya, inilah jalan yang ditempuh sang nabi Allah, meski pada akhirnya rahmat Allah membawanya kembali kepada-Nya.
Melalui cerita ini kita boleh menyaksikan betapa besarnya belas kasih dan kemurahan Allah kepada mereka, kepada kita, yang tidak layak menerimanya. Kita yang seharusnya layak dihukum, panjang sabar Allah menanti kita kembali kepada-Nya. Inilah anugerah Allah. Dan anugerah ini harusnya membawa kita kepada ketaatan atas panggilan Allah, setia mengerjakan misi-Nya. Meski terkadang panggilan itu sulit untuk dimengerti ataupun berada di luar ekspektasi kita, namun kita perlu menyadari bahwa kebaikan, keadilan dan hikmat Allah sempurna adanya. Kita hanya perlu percaya dan taat (trust and obey) pada pimpinan-Nya. Sehingga kita boleh terus berada di dalam hadirat Allah (in the presence of the Lord) menikmati kelimpahan berkat-berkat-Nya di dalam hidup kita. Selamat pagi dan selamat beraktifitas.
[ Nikson Sinaga
]

Persekutuan Studi Reformed