Renungan Harian [ Kamis, 24 Maret 2022 ]
“Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46)
~~~
I feel stupid when I pray (Aku merasa bodoh saat berdoa)
So, why am I praying anyway (Jadi, mengapa aku mesti berdoa)
If nobody's listening? (Jika tak ada yang mendengarnya?)
Anyone, please send me anyone (Siapapun, tolong kirimkan aku seseorang)
Lord, is there anyone? (Tuhan, apakah ada seseorang?)
I need someone (Aku butuh seseorang)
Demikian penggalan lirik lagu Anyone yang diciptakan oleh seorang penyanyi tenar Amerika, Demi Lovato pada tahun 2018. Di salah satu wawancaranya, Lovato mengatakan lirik lagu ini merupakan sebuah tangisan minta tolong (a cry for help) ketika ia harus berjuang untuk keluar dari depresi berat (depression) dan gangguan bipolar (bipolar disorder) yang dideritanya. Ironisnya, lagu ini tercipta tepat 4 hari sebelum ia ditemukan sekarat akibat overdosis obat terlarang. Sungguh sebuah tangisan yang begitu mendalam dan menggetarkan hati. Di sini Lovato menggambarkan kekecewaannya yang begitu mendalam tatkala Tuhan yang harusnya menjadi pengharapannya untuk sembuh hanya bisa diam (silence), tak bertindak melihat penderitaannya. Ia merasa Tuhan tak mendengar doa-doanya, sampai pada akhirnya ia berseru meminta kepada Tuhan untuk mengirimkan seseorang yang lain (yang pasti bukan Tuhan). Sungguh ironis bukan?
Pergumulan Lovato dengan keterdiaman Allah (God’s silence) ini juga merupakan pergumulan eksistensial dari setiap manusia yang hidup di bawah matahari ini. Mungkin kita pernah bertanya: “Dimanakah Tuhan ketika jutaan orang Yahudi dibawa masuk ke kamp-kamp konsentrasi Nazi meregang nyawa di kamar-kamar gas beracun? Atau di dalam konteks pandemik Covid-19 saat ini, kita pun mungkin pernah bertanya dalam hati: “Dimanakah Tuhan saat jutaan orang harus kehilangan orang-orang yang dikasihi, atau sejumlah orang yang harus kehilangan pekerjaan/mata pencahariannya, atau juga mereka yang mengalami gangguan mental/depresi akibat kehilangan harapan ketika memikirkan kehidupan sekarang dan masa depan yang tak menentu? Kita berseru: “Mengapa Tuhan tak mendengar doa-doa kita? Mengapa Dia diam melihat semua penderitaan ini?” Serangkaian pertanyaan ini mungkin dapat mewakili juga pergulatan iman kita menanggapi realita “keterdiaman Allah” waktu kita bergumul dengan hidup kita.
Untuk itu ada baiknya kita mengingat dan merenungkan kembali peristiwa 2000 tahun lalu, peristiwa salib Kristus, yang mana kita boleh menyaksikan bagaimana Tuhan kita, Yesus Kristus, juga pernah mengalami dan merasakan keterdiaman Allah Bapa. Waktu Ia bergumul berdoa sampai mengeluarkan peluh seperti tetesan darah di taman Getsemani meminta agar cawan murka itu dilewatkan daripada-Nya, di saat itu apakah Allah Bapa bersuara? Tidak, Dia diam! Puncaknya di atas kayu salib saat Yesus berseru dengan suara nyaring: “Eli-Eli lama Sabakhtani?” Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Saat itu, apakah Allah Bapa bersuara? juga tidak! Dia diam menyaksikan Anak Tunggal (His only begotten Son) yang dikasihi-Nya menderita sengsara tergantung di kayu salib menanggung cawan murka Allah demi menggantikan kita, manusia berdosa, supaya kita beroleh pendamaian dengan-Nya. Sungguh peristiwa yang terlalu sulit dipahami dan misteri Allah yang tak terselami. Tapi kita melihat, di balik keterdiaman Allah Bapa inilah rencana besar karya keselamatan Allah bagi kita tergenapi melalui kematian Anak-Nya di kayu salib itu.
Oleh karenanya, waktu kita bergumul akan keterdiaman Allah (God’s silence) di dalam hidup ini, kita perlu mengingat bagaimana Tuhan kitapun pernah merasakannya. Kita hanya perlu bersabar dan meyakini bahwa di balik itu semua terselip rencana besar Allah yang sudah Ia persiapkan bagi hidup kita. Mungkin di saat pergumulan sulit itulah sesungguhnya Allah sedang membentuk hidup kita menjadi sesuatu yang indah. Bagian kita hanya berusaha menjalaninya selangkah demi selangkah dengan iman dan terus bersandar pada pemeliharaan-Nya. Apakah mudah? Pasti tidak! Kiranya Tuhan menolong kita. Amin
[ Nikson Sinaga
]

Persekutuan Studi Reformed