Renungan Harian [ Kamis, 31 Maret 2022 ]
“tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:42)
Di tengah perjalanannya ke suatu tempat lain, Yesus dan rombongan tiba di sebuah kampung bernama Betania dimana tiga orang kakak beradik bernama Lazarus, Marta dan Maria tinggal di situ (lihat Yoh.11:1). Di sana Yesus menyempatkan diri singgah ke rumah mereka, sejenak beristirahat melepas rasa lelah setelah sekian lama melakukan perjalanan jauh. Dan Marta pun menerima Dia di rumahnya. Tentu ia sibuk sekali melayani. Ia harus menyiapkan segala sesuatunya untuk Yesus, sementara Maria hanya duduk di dekat kaki Tuhan Yesus terus mendengar perkataan-Nya. Di sisi ini kita perlu memuji sikap keramahan (hospitality) serta antusiasme pelayanan yang ditunjukkan Marta menyambut kedatangan Yesus. Apa yang dilakukannya ini bukan sekadar tentang memikul tanggung jawab rumah tangga sebagai kakak tertua di keluarga, tapi semata keluar dari rasa cinta kasihnya kepada Allah di dalam diri Yesus yang ia jumpai. Motivasinya tidak lain adalah ingin memberikan yang terbaik kepada Allah.
Namun, di tengah suasana yang awalnya begitu kondusif, tiba-tiba konflik muncul. Rupanya Marta begitu jengkel dengan ulah Maria, adiknya itu, karena di saat ia sedang sibuknya melayani di dapur menyiapkan makanan dan minuman, alih-alih ikut membantu, Maria malah sibuk duduk mendengarkan perkataan Sang Guru. Tak sampai di situ, ia juga mengeluhkan sikap Yesus yang seakan tidak peduli terhadapnya dengan membiarkannya seorang diri sibuk melayani. Maka Yesus pun menegur Marta. Dengan lembut Ia berkata: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
Teguran Yesus di sini bukan berarti Yesus tidak setuju atau menolak kesibukan yang dilakukan Marta kepada-Nya, karena Ia tahu bahwa itu semua keluar dari hati yang mengasihi-Nya dan ingin melayani-Nya. Demikian pula dengan Maria. Yesus pun tidak menegurnya meski ia cuma duduk diam di dekat-Nya mendengar perkataan-Nya. Oleh karenanya, seyogyanya kita tidak perlu mempertentangkan sikap keduanya ataupun menganggap sikap yang satu lebih tinggi nilainya dari yang lain. Apa yang Marta dan Maria lakukan sama baiknya meski keduanya memiliki pilihan cara berbeda di dalam mengungkapkan cinta kasihnya kepada Allah.
Di sini Yesus menegur Marta karena ia terlalu kuatir (anxious) dan menyusahkan diri (troubled) dengan berbagai perkara. Ia merasa terbebani dengan pelayanannya, kuatir hal itu tidak memuaskan hati Yesus. Karena itu, ia terdistraksi dengan begitu banyak kesibukan hingga kehilangan fokus pada sesuatu yang jauh lebih penting dan dibutuhkan, yaitu berjumpa dengan Allah dan dengan perkataan-Nya. Tentu ini bukan mengatakan tindakan atau aktivitas pelayanan tidak lebih penting dari meditasi atau kontemplasi bersama dengan Allah. Namun kita perlu menyadari aktivitas pelayanan yang mengalihkan perhatian kita dari relasi kita dengan Allah dan firman-Nya, sebagaimana ibu Pdt. Dorothy I Marx pernah katakan, adalah sebuah rutinitas tanpa kuasa [Allah]. Dan inilah yang dipilih oleh Marta.
Namun tidak dengan Maria. Yesus mengatakan ia memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari-Nya. Apakah itu? Ia memilih untuk memprioritaskan persekutuan pribadi dengan Allah dan dengan sabda-Nya menjadi sesuatu yang utama. Dua kakak beradik ini memiliki pilihan yang berbeda di dalam memuliakan Allah. Norval Geldenhuys di dalam tafsirannya terhadap Injil Lukas pernah mengatakan bahwa penghormatan kepada Allah melalui segala sesuatu dan dengan cara-cara lahiriah adalah fana, tetapi persekutuan jiwa dengan Tuhan tidak akan pernah dapat dihilangkan, bahkan oleh kematian (terjemahan saya/NICNT, The Gospel of Luke, p.316). Dan di sini Maria memilih yang terbaik, sesuatu yang kekal dan tidak akan binasa. Ia sadar sebagai seorang murid sejati, ia harus duduk diam mendengarkan sabda Sang Guru. Inilah kesempatan perjumpaan itu dan mungkin takkan pernah terulang lagi. Oleh karenanya, ia harus segera menangkap momen kesempatan itu (catch the moment). Dan ia melakukannya. Lalu, bagaimana dengan kita? Renungkanlah!
[ Nikson Sinaga
]

Persekutuan Studi Reformed