Renungan Harian [ Kamis, 18 Agustus 2022 ]
 
… ia pergi ke Yafo dan mendapat di sana sebuah kapal, yang akan berangkat ke Tarsis. Ia membayar biaya perjalanannya, lalu naik kapal itu untuk berlayar bersama-sama dengan mereka ke Tarsis, jauh dari hadapan TUHAN. Tetapi TUHAN menurunkan angin ribut ke laut, lalu terjadilah badai besar, sehingga kapal itu hampir-hampir terpukul hancur (Yunus 1:3b-4).
 
Sang nabi Allah rupanya sudah membulatkan tekadnya untuk melarikan diri dari panggilan Allah. Ia dengan sengaja menolak misi kenabian (prophetic mission) yang Allah tetapkan. Panggilannya jelas bahwa Allah ingin ia bermisi ke Niniwe, tapi ia malah pergi ke Tarsis, kota yang berlawanan arah, 180° dari Niniwe. Kata “ke Tarsis” di ayat 3 ini diulang tiga kali, ingin menegaskan sekali lagi bahwa Yunus tidak akan pergi ke Niniwe.Titik. Maka dari itu, ia pun mengatur seluruh rencana pelariannya, termasuk dengan membayar biaya perjalanannya sendiri. Ketidaktaatan Yunus dengan berangkat ke Tarsis tidak sekadar berbicara tentang perpindahan letak geografis, tapi mesti dipahami sebagai suatu tindakan segera (immediate) dan disengaja (deliberate) pergi melarikan diri dari kehadiran Allah (fleeing from the presence of the Lord), menjauh dari hadapan Allah. The Eerdmans Bible Commentary menyebutnya sebagai suatu tindakan menarik diri dari relasi intim sang nabi (prophet’s intimacy) dengan Yahwe.
 
Sang Nabi lari menjauh, tapi Allah tidak tinggal diam. Ia tidak melepaskannya. Ia “mengejar”nya dengan menurunkan angin ribut ke laut hingga terjadi badai besar yang memukul hancur kapal mereka. Di sini, ketika Yunus berusaha melarikan diri dari kehadiran Allah, Allah tetap hadir, tapi Ia hadir di dalam penghukumannya. Ia hadir di dalam angin ribut dan badai yang besar itu. Kata “besar” (gedola) di sini adalah kata yang sama digunakan merujuk pada “besar”nya kota Niniwe. Artinya, waktu Yunus tidak taat dengan menolak tugas panggilan Allah untuk pergi ke Niniwe, maka sama artinya ia memilih pergi ke dalam angin besar dan badai itu. Tim Keller di dalam bukunya The Prodigal Prophet menuliskan: “... setiap tindakan tidak taat terhadap Allah memiliki badai yang mengikutinya. Semua dosa memiliki angin ribut yang mengikutinya”
 
Angin ribut dan badai besar yang menerpa kapal mereka selain dipahami sebagai bagian dari hukuman Allah atas ketidaktaatan Yunus, tapi sekaligus menjadi cara unik Allah untuk “menangkap”nya kembali ke hadapan-Nya dan mengarahkannya kembali kepada tugas panggilan kenabiannya. Pada titik ini Yunus belum melihat bahwa melalui kengerian angin ribut dan badai besar yang Allah turunkan menimpanya, Allah sedang bekerja menyelamatkannya, mengubah hatinya serta memperbaharui panggilannya.
 
Dari sini kita belajar, bahwa “badai besar” (kesulitan, pergumulan, dan penderitaan) yang Allah ijinkan terjadi menerpa kehidupan kita, yang mungkin disebabkan oleh karena dosa dan ketidaktaatan kita kepada-Nya bisa menjadi cara unik Allah bekerja mendorong kita kembali kepada-Nya. Melalui badai itu juga Allah membentuk dan memperbaharui hidup kita, sebagaimana Keller juga katakan: “...Badai-badai ini bisa menyadarkan kita akan berbagai kebenaran yang tanpa itu tidak akan pernah kita pahami. Badai bisa mengembangkan iman, pengharapan, kasih, kesabaran, kerendahan hati, dan pengendalian diri di dalam kita, yang tidak akan bisa dilakukan dengan cara lain.” Pada akhirnya kita boleh menyadari bahwa di dalam badai hidup kita, selalu ada belas kasih dan anugerah Allah yang jauh melampauinya. Amin. Tuhan memberkati kita semua.
 
[ Nikson Sinaga ]
Persekutuan Studi Reformed
 
Pin It
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan