Masih Adakah Pemikiran Kristen?
_oOo_
 
Pengantar
 
Tulisan ini merupakan refleksi kegelisahan dan keprihatinan saya melihat bagaimana pemikiran Kristen semakin redup di dalam memberikan warna yang berbeda dalam menanggapi dan memberikan solusi terhadap isu-isu global yang muncul dunia ini.
Secara umum, jika kita bicara pemikiran dalam pengertian buah pemikiran, hal ini tidak terlepas dari peran akal budi. Demikian pula dengan buah dari pemikiran Kristen dibentuk oleh pikiran Kristen yang ditaklukkan dan diterangi oleh kebenaran Firman Tuhan. Itu sebabnya, pemikiran Kristen tidak bisa dilepaskan dari peran akal budi Kristen.
 
Ada sebuah adagium sederhana berkata demikian, “A mind is a terrible thing to waste because to waste a mind is to waste person.” Kita melihat adagium ini memberikan tempat yang penting bagi peran akal budi/pikiran dalam diri seseorang. Ketika kita “membuang atau menyia-nyiakan” akal budi (pikiran) kita, itu sama artinya kita “membuang/menyia-nyiakan” diri atau hidup kita.
Jika peran akal budi begitu sangat penting dalam membentuk pemikiran Kristen, mengapa seringkali orang Kristen mengabaikannya? Apakah memang akal budi memiliki relasi dengan iman Kristen? Atau, dimanakah posisi akal budi kita di dalam iman Kristen? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu kita pikirkan, gumulkan dan dijawab oleh setiap kita, orang Kristen, jika kita masih berharap munculnya pemikiran Kristen.
 
Tantangan Terhadap Pemikiran Kristen
 
Salah satu tantangan besar yang dihadapi kekristenan di zaman modern ini adalah semakin pudarnya pemikiran Kristen. Isu ini ditangkap dengan jelas oleh Harry Blamires, seorang pendidik dan penulis lulusan Oxford University. Di dalam salah satu buku terbaik yang pernah ia tulis berjudul Christian Mind, Blamires mengungkapkan kegelisahan dan keprihatinannya melihat gejala semakin hilangnya pemikiran Kristen di zaman modern ini.
Di bab pembukaan bukunya itu, ia menulis satu kalimat mengejutkan. Ia berkata:
 
 
“Tidak ada lagi pemikiran Kristen. Pemikiran manusia modern telah tersekularisasi. Pemikiran Kristen telah tunduk kepada arus sekuler sampai pada taraf kelemahan dan ketidakberdayaan yang tiada bandingannya di sepanjang sejarah kekristenan.”
 
 
Dari kalimatnya itu, Blamires sudah melihat zaman modern telah memasuki apa yang disebutnya “Post Christian Mind Era” atau berakhirnya era pemikiran Kristen.
Lebih lanjut Blamires mengatakan:
 
 
“Tidak ada lagi pemikiran Kristen. Etika Kristen, perilaku Kristen dan spiritualitas Kristen memang masih ada. Sebagai makhluk bermoral, orang Kristen modern merujuk pada norma yang berbeda dari norma non Kristen. Sebagai anggota gereja, ia tunduk pada berbagai kewajiban dan peraturan yang diabaikan orang non-Kristen. Sebagai makhluk spiritual, melalui doa dan meditasi ia berusaha menggapai dimensi hidup yang tidak pernah dialami oleh orang non-Kristen. Tetapi sebagai makhluk yang berpikir, orang Kristen telah tunduk pada sekularisasi. Ia menerima agama – moralitasnya, penyembahannya, budaya spiritualnya, tetapi menolak wawasan hidupnya yang religius, yaitu wawasan yang meletakkan isu duniawi di dalam konteks kekekalan, yang menghubungkan segala persoalan manusia – sosial, politik, budaya – dengan landasan-landasan doktrinal iman Kristen, dan yang melihat segala sesuatunya di bawah terang supremasi Allah dan kefanaan dunia, di bawah terang sorga dan neraka.”
 
 
Dari statement Blamires ini, setidaknya ada beberapa hal yang disorot terkait dengan hilangnya pemikiran:
 
Pertama, Blamires melihat salah satu faktor utama yang menyebabkan pudar atau hilangnya pemikiran Kristen adalah ketertundukan pemikiran Kristen terhadap arus sekularisasi modern. Salah satu ciri utama dari arus sekularisasi modern adalah dengan menghilangkan orientasi supranatural di dalam memikirkan segala sesuatu.
Isu-isu duniawi atau isu-isu kontemporer yang muncul tidak lagi disorot dengan kacamata kekekalan (dalam bahasa Blamires, “di bawah terang sorga dan neraka”). Namun ironisnya orang Kristen melakukan hal yang itu. Seringkali kita gagal mengkritisi isu-isu kontemporer yang terjadi di dunia ini dengan lensa kekekalan. Kita cenderung berpikir pragmatis, fragmented, sehingga kita kehilangan esensi utamanya, bagaimana Alkitab berbicara tentang isu itu.
 
Kedua, Blamires menyoroti spiritualitas Kristen ternyata tidak serta merta berkorelasi dengan pembentukan pemikiran Kristen.
Sebagai makhluk spiritual atau makhluk religius, kita mungkin saja masih melakukan praktik-praktik keagamaan yang berdimensi spiritualitas, kita masih menjunjung tinggi serta mepraktikkan etika Kristen, atau kita masih menjalankan perilaku Kristen, namun semuanya itu tidak menggerakkan kita untuk berpikir secara Kristen. Kita kehilangan orang Kristen yang berpikir. Kita kehilangan orang Kristen yang mau berwacana dan berdiri di depan mengkritisi isu-isu kontemporer yang berkembang di dunia ini. Kita kehilangan orang Kristen yang mampu menelurkan pemikiran-pemikiran yang tajam dan breakthrough atas isu-isu kontemporer dengan lensa kekekalan. Inilah realita yang kita hadapi dan tentunya sama-sama kita gumulkan dan selesaikan.
 
Tantangan lain yang sangat besar dalam pengembangan pemikiran Kristen adalah virus anti intelektualitasme. Di zaman modern ini, semangat anti intelektualisme berkembang dengan cepat. Salah satu semangat dari anti intelektualisme ini adalah kecenderungan melihat segala sesuatu dengan sikap pragmatis.
Saat ini orang tidak lagi memikirkan ataupun mempertanyakan segala sesuatu dengan pertanyaan, “Apakah sesuatu itu benar?” Tetapi, yang sering dipertanyakan adalah, “Apakah sesuatu itu berguna bagi saya?” atau “Apakah sesuatu itu menguntungkan saya?”
Yang sangat memprihatinkan kita, kenyataannya semangat anti intelektualisme ini perlahan mulai merasuki pikiran gereja Tuhan atau mungkin orang Kristen sendiri.
 
Inti dari semangat anti intelektualisme dalam kaitannya dengan pemikiran Kristen adalah memandang bahwa segala sesuatu yang tidak di pernah dikatakan dan dibicarakan oleh Alkitab tidak layak untuk di pikirkan dan didiskusikan dengan serius. Demikian sebaliknya, hanya apa yang dikatakan oleh Alkitab yang mesti di pikirkan dan dipelajari.
Maksudnya, pergumulan, fenomena, dan dampak dari arus perubahan zaman yang muncul di tengah dunia ini bukan lagi tanggung jawab kita sebagai orang Kristen untuk memikirkannya. Kita lebih baik memikirkan dan mendiskusikan hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan dimensi spiritualitas kita atau aspek kesalehan pribadi kita, misalnya bagaimana kita menjalankan aktivitas keagamaan kita, bagaimana kita membangun kehidupan religius kita, dan lain sebagainya. Kita tidak perlu repot-repot memikirkan apa yang menjadi isu-isu yang terjadi di dunia ini. Dengan melakukan hal ini, tanpa sadar kita sedang melepaskan diri dari tanggung jawab kultural dan intelektual kita sebagai orang Kristen yang Tuhan tempatkan di tengah dunia ini.
 
Motif dasar dari semangat anti intelektualisme pada intinya adalah bentuk usaha melarikan diri dari sikap kritis, berpikir tajam dan holistik, yang sesungguhnya merupakan ciri utama dari intelektualisme. John Stott, di dalam bukunya “Your Mind Matters” mengidentifikasi setidaknya ada tiga bentuk gejala anti intelektualisme menurutnya sudah merasuki kehidupan gereja Kristen.
 
  1. Gereja yang lebih memfokuskan pada aspek ritual dan penampilan. Stott menilai kecenderungan gereja yang mempraktikkan hal ini cenderung terjebak dalam bahaya ritual yang kemudian berubah menjadi ritual-isme, di mana makna ibadah kita kepada Tuhan kehilangan esensi utamanya, memuliakan Tuhan (glorifying God) dan berubah menjadi sekadar upacara ritual tanpa makna.
     
  2. Gereja yang cenderung berfokus pada pelayanannya dalam bidang sosial dan politik. Keterlibatan gereja dalam kegiatan sosial dan politik, seperti mendukung program pemberian pangan kepada yang membutuhkan, memberikan rumah bagi tuna wisma, menentang rasialisme, dan lain sebagainya tidak salah. Namun, ketika gereja menghabiskan energinya hanya fokus pada kegiatan-kegiatan tersebut, tanpa sadar gereja akan terjebak pada pengabaian terhadap aspek-aspek di lingkup gerejawi, misalnya mengusahakan kesatuan doktrin gereja, perumusan kerangka theologis. Pada akhirnya gereja akan kehilangan aspek pembaharuan.
     
  3. Gereja yang cenderung menempatkan pengalaman (pribadi) yang bersifat subjektif pada posisi lebih tinggi dari kebenaran Allah yang mutlak. Semangat dari paradigma ini adalah dengan memposisikan perasaan (feelling) lebih utama dari pikiran (thinking). Memposisikan pengalaman pribadi kita lebih tinggi daripada ajaran doktrin Kristen yang teguh.
     
    Paradigma yang lebih ekstrim terjadi adalah ketika orang Kristen melihat theologi dan pengajaran doktrinal menjadi tidak begitu penting dibanding dengan pengalaman rohani seseorang. Ketika paradigma ini masih dipegang oleh gereja, maka mau tidak mau pada akhirnya keduanya (theologi dan doktrin Kristen) akan segera disingkirkan dari kehidupan gereja. Ini jugalah yang disorot oleh David F Wells dalam buku No Place for Truth, bahwa Theologi sedang lenyap dalam kehidupan gereja. Wells mengatakan lenyapnya theologi dalam kehidupan gereja terlihat jelas dalam fenomena kebaktian yang hampa, di mana fokus iman bergeser dari pribadi Allah kepada diri, khotbah yang berorientasi psikologis dan therapeutic, yang berakibat pada keyakinan yang tergerogoti, pragmatisme yang merajalela, ketidakmampuan untuk memikirkan budaya secara jernih, dan kegemaran akan hal-hal yang irasional. Semuanya ini menunjukkan lenyapnya kapasitas kita terhadap kebenaran.
     
    Jarang kita mendengarkan khotbah-khotbah inspiratif yang membawa pembaharuan iman dan melatih akal budi kita (exercise our mind). Gereja cenderung mengkhotbahkan sesuatu yang fit in dengan keinginan telinga kita (enak didengar) seperti pengalaman-pengalaman pribadi seseorang yang cenderung subjektif atau yang menjadi trend saat ini, yaitu khotbah tentang pengalaman pribadi mendapat “mukjizat” dari Tuhan. Fenomena ini tentunya akan berimbas negatif bagi Kekristenan. Akan terjadi pendangkalan terhadap iman Kristen dan tentunya hal ini berakibat langsung pada semakin sulitnya kita mencari orang Kristen yang mau berpikir. Maka, semakin terbuktilah apa yang digumulkan Blamires. Dan akhirnya, kita seakan hanya mampu melahirkan orang Kristen yang memiliki spiritualitas dalam kehidupan private, namun lumpuh menelurkan pemikiran-pemikiran kritis Kristen yang berdampak coorporate yang mampu menjawab tantangan zaman ini.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gejala anti intelektualisme yang merasuki gereja telah membentuk orang-orang Kristen yang menghindarkan diri dari tanggung jawabnya untuk menggunakan akal budi/pikiran yang Allah anugerahkan. John Stott mengatakan Kekristenan jenis ini disebut “kekristenan tanpa akal budi” atau “intelektual Kristen yang dingin dan murung”.
 
Cara Pandang Alkitab Terhadap Pemikiran Kristen
 
Menghadapi tantangan-tantangan terhadap pemikiran Kristen, kita perlu menjawab pertanyaan penting ini: “Apakah iman Kristen berkorelasi dengan akal budi?” “Apa kata Alkitab tentang peran akal budi kita?” Jawaban dari pertanyaan ini sangat menentukan sebagai pondasi yang kokoh dalam bagaimana kita mengembangkan pemikiran Kristen. Kita akan membahas hal ini dalam kerangka Biblical Worldview (Creation – Fall – Redemption).
 
  1. Penciptaan (Creation)
    Di dalam pembukaan kitab Kejadian, Alkitab mengkisahkan tentang penciptaan dunia ini dan diakhiri dengan penciptaan manusia. Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan begitu unik karena Dia mencipta menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:27).
     
    Sebagai ciptaan yang menyandang gambar dan rupa Allah, manusia dicipta tidak hanya dicipta sebagai makhluk spiritual (spiritual being), tetapi juga sebagai makhluk rasional (rational being) dan makhluk yang berbudaya (Cultural being). Ketiga sifat ini dianugerahkan Allah kepada manusia. Sebagai makhluk spiritual, manusia diciptakan oleh Allah di mana Allah menghembuskan nafas hidup ke hidungnya sehingga manusia menjadi makhluk yang hidup. Manusia diberikan roh sehingga melaluinya ia dapat berelasi dengan Allah, Pencipta, yang adalah Roh adanya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia juga dianugerahkan rasio/akal budi (mind) di mana melaluinya manusia bisa berpikir, berkomunikasi, dan bertindak dalam relasinya dengan Allah Pencipta serta berelasi dengan ciptaan yang lain.
     
    Setelah Allah menciptakan manusia, lalu Dia menempatkannya di taman Eden untuk berkuasa di dalamnya. Allah memberikan mandat kepada manusia untuk mengusahakan (cultivating) dan memelihara taman itu (Kej. 2:15). Di sini pertama kali Allah memberikan tugas atau mandate kultural kepada manusia. Di dalam menjalankan mandat itu, manusia dianugerahkan akal budi di mana melaluinya manusia mampu menjalankan tugas kultural yang diembannya. Akal budi diberikan kepada manusia sebagai bagian dari pelayanan (stewardship) dan tanggung jawab manusia untuk bekerja mengusahakan tanah (land) yang Allah berikan.
     
  2. Kejatuhan (Fall)
     
    Namun sayangnya, drama keharmonisan relasi itu diinterupsi oleh fakta kejatuhan manusia (Adam dan Hawa) ke dalam dosa. Apa yang terjadi di sana? Alkitab mencatat kejatuhan manusia pertama-tama terjadi akibat penyelewengan terhadap pikiran/akal budi manusia. Pikiran manusia yang dicipta bagi Allah yang seharusnya digunakan untuk taat kepada perintah Allah telah terkontaminasi oleh dosa. Ketika dosa masuk, ini tidak hanya berdampak secara spiritual yaitu terputusnya relasi manusia dengan Allah penciptanya, tapi berdampak lebih luas mempengaruhi sisi intelektualitas kita. Pikiran/akal budi manusia ikut tercemar. Memang kedua aspek itu tidak Tuhan hilangkan pasca kejatuhan. Keduanya memang masih berfungsi, namun sekarang terkorupsi (corrupted) dan tercemari (polluted). Inklinasi akal budi manusia cenderung memikirkan apa yang jahat dan membuahkan kejahatan. Akal budi yang dianugerahkan yang seharusnya digunakan untuk berpikir mengembangkan segala sesuatunya bagi kemuliaan Tuhan, justru digunakan untuk melawan Tuhan.
     
    Efek dari kontaminasi dosa terhadap akal budi/pikiran kita terihat dari istilah-istilah yang Alkitab gunakan, seperti:
     
    1. Roma 1:28, “pikiran-pikiran yang terkutuk”.
       
    2. 2 Korintus 3:14, “pikiran yang tumpul”.
       
    3. 2 Korintus 4:4, “pikiran yang dibutakan”.
       
    4. 2 Timotius 2:8, “akal yang bobrok,” dan seterusnya.
     
  3. Penebusan (Redemption)
     
    Bahwa pikiran manusia telah rusak akibat jatuh dalam dosa adalah sebuah fakta. Namun dengan fakta itu Allah tidak tinggal diam membiarkannya. Allah berinisiatif berintervensi dengan memunculkan drama penebusan dosa manusia. Relasi antara Allah dengan manusia dipulihkan. Di dalam Kristus, segala sesuatu diperdamaikan sebagaimana dikatakan Paulus di Surat Kolose. “dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kolose 2:20).”
     
    Pikiran manusia yang tercemar akibat dosa kini telah ditebus, dipulihkan, dan diperbaharui. Pikiran manusia dikembalikan kepada orisinalitas sesungguhnya ketika ia pertama kali dicipta. Itu sebabnya manusia mampu berpikir sesuai dengan apa yang Allah kehendaki, sebagaimana apa yang dikatakan Paulus, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2). Dengan pikiran yang telah diperbaharui itu, kita diberikan kemampuan untuk berpikir secara Kristen.
Membangun Pemikiran Kristen
 
Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa pikiran/akal budi merupakan bagian yang Allah anugerahkan bagi kita untuk tugas kultural kita hidup di dunia ini. Isu-isu kontemporer akan terus muncul, dan kita, orang Kristen, yang sudah memiliki pikiran dibaharui (Renewed Mind) memiliki kewajiban bagaimana pemikiran Kristen itu berkembang mewarnai dunia ini. Lalu pertanyaannya, bagaimana kita mengembangkan pemikiran Kristen ini? James W Sire di dalam bukunya, Discipleship of Mind, pernah menyatakan satu kalimat:
 
 
“Pemikiran Kristen sesungguhnya tidak dimulai dengan sebuah cara pandang (world view) atau bahkan cara pandang Kristen (Christian world view) sekalipun. Pemikiran Kristen dimulai dari suatu sikap/perilaku (attitude) terhadap Allah dan juga terhadap diri.”
 
 
Menurut Sire, pondasi utama bagaimana kita mengembangkan pemikiran Kristen, pertama, adalah dengan mengembangkan sikap dan perasaan takut akan Tuhan. Kitab Amsal 1:7 berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan...” Dengan sikap ini, pemikiran-pemikiran yang akan kita munculkan tidak sembarangan karena harus dibatasi oleh koridor perasaan takut akan Allah.
Yang kedua, sikap yang harus dikembangkan adalah kerendahan hati. Kerendahan hati membuat kita selalu tunduk pada otoritas kebenaran Allah. Pemikiran-pemikiran Kristen yang kita nyatakan dengan rendah hati kita nilai berdasarkan kebenaran Firman Tuhan.
 
Kedua sikap di atas, menurut Sire, yang menjadi dua pilar utama dalam membangun dan mengembangkan pemikiran Kristen. Selain kedua pilar tersebut, juga menurut Sire, di dalam membangun pemikiran Kristen selalu melibatkan 2 hal yang ia sebut dengan istilah “formation” dan “reformation.”
 
Di dalam formation berikut hal-hal yang perlu kita pikirkan:
 
  1. Pembentukan pemikiran Kristen memerlukan ketekunan dalam mempelajari Alkitab. Ini menjadi source utama karena Alkitab digunakan sebagai lensa untuk menilai segala sesuatunya. Namun, ketekunan ini seharusnya tidak hanya terkait dengan devosi kita secara pribadi (private), tetapi bagaimana devosi itu dapat berelasi dan berintegrasi dengan pengalaman hidup kita. Devosi kita dalam mempelajari dan merenungkan Alkitab seharusnya menjadi sumber utama untuk menjawab seluruh pertanyaan yang menjadi isu-isu pergumulan dunia ini.
     
  2. Pembentukan pemikiran Kristen memerlukan komitmen untuk bertekun dalam membaca buku-buku yang ditulis dengan perspektif iman Kristen. Os Guinness menyebutnya dengan “the responsibility of knowledge.” Dengan semakin masif nya perkembangan pemikiran-pemikiran sekuler, untuk memberi jawaban atas pemikiran-pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui secara mendalam worldview apa yang ada dibalik pemikiran itu. Itu sebabnya, buku menjadi source yang baik untuk kita mempelajarinya.
     
  3. Pembentukan pemikiran Kristen memerlukan komitmen untuk selalu taat dalam mengaplikasikan apa yang sudah kita pelajari dari Alkitab maupun dari buku-buku baik. Setiap pemikiran Kristen yang kita yakini harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan kehidupan kita, sehingga hal itu tidak hanya sekadar menjadi dogma atau keyakinan semata, tetapi menjadi pengalaman hidup kita.
Di dalam reformation meliputi hal-hal sebagai berikut:
 
  1. Kita perlu mengembangkan sikap oto kritik (self-critical) terhadap apa yang menjadi pemahaman dan pengertian kita di masa lampau. Sebagai orang yang terus bertumbuh, kita harus merelakan diri kita untuk terus mau dikoreksi seiring dengan pengertian kita akan kebenaran yang semakin bertambah. Pemikiran Kristen yang kita nyatakan harus terus diuji oleh kebenaran Firman Tuhan.
     
  2. Pemikiran Kristen kita harus terus diuji oleh pengalaman-pengalaman hidup kita sehari-hari, tentang bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran itu dengan ketaatan.
 
Penutup
 
Persoalan-persoalan yang ada di dunia ini begitu banyak dan kompleks. Pemikiran sekuler yang jauh dari kebenaran Allah semakin masif berkembang. Bagaimana pemikiran Kristen hadir di tengah-tengah itu semua? Haruskan persoalan-persoalan itu dijawab oleh pemikiran sekuler? Di sinilah peran pemikiran Kristen hadir memberikan suara yang lain.
Jangan biarkan pemikiran Kristen lenyap di telan zaman.
Pemikiran Kristen harus berani berdiri, maju ke depan memberi jawaban. Dan melaluinya, biarlah nama Tuhan dipermuliakan. Bangkitlah pemikiran Kristen.
 
[ Nikson Sinaga ]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan