Etika Sekuler dan Etika Kristen
_oOo_
Pendahuluan
Setiap kita tidak mungkin dapat mengabaikan kenyataan bahwa Tuhan memang menempatkan kita menjalani kehidupan ini dengan segala kompleksitasnya. Segala sesuatunya, apakah itu tawaran akan kenikmatan duniawi maupun kejahatan, kelicikan, penderitaan, penindasan, dan kepahitan adalah sesuatu yang dekat dengan kita dan bahkan sangat mungkin dapat meggelincirkan kita ke dalam berbagai-bagai kesusahan. Oleh karena itu, sebagai orang Kristen, penting bagi kita untuk memikirkan etika yang seharusnya kita bangun dalam menjalani kehidupan ini berdasarkan prinsip-prinsip yang dibentuk oleh Alkitab.
Tulisan ini membahas pemikiran seorang apologet Kristen bernama John Frame yang membukakan pada kita etika sekuler dalam kaitannya dengan eksistensi diri, pencariannya akan yang transenden, serta kebuntuannya memahami apa tugas kita dan bagaimana Alkitab mengajarkan kita seharusnya bersikap.
John Frame mengenai etika sekuler.
Dalam Perspectives on the Word of God: An Introduction to Christian Ethics, John Frame mengatakan bahwa sepanjang sejarah filsafat etika ada tiga tendensi meta-etika sekuler yang mempunyai pengaruh dominan pada hidup manusia. Ketiga etika sekuler tersebut adalah: eksistensial (existential), teleologis (teleological) dan deontologis (deontological). Ketiga tendensi meta-etika ini adalah hal yang umumnya tidak kita sadari, namun telah sangat mempengaruhi bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu sebagai orang Kristen ada baiknya kita melihat ketiganya di bawah ini.
-
Etika eksistensial (existential ethics)
Filsafat ini berpandangan bahwa pada hakikatnya etika berkaitan semata-mata dengan apa sesungguhnya karakter, motif, atau dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang (human inwardness) untuk melakukan suatu tindakan yang menghasilkan dampak tertentu. Yang disebut dengan perilaku etis, menurut pandangan ini, adalah perilaku yang sama sekali tidak boleh didorong oleh adanya imbalan atau upah tertentu, atau semata-mata oleh karena keharusan mematuhi hukum-hukum universal tertentu yang bersumber dari luar dirinya (outward) yang tentunya suatu waktu bisa saja membuatnya merasa jemu. Oleh karena itu menurut etika eksistensial ini segala perilaku etis manusia melakukan sesuatu, baik yang mereka suka atau tidak suka – sekalipun itu demi suatu kebaikan di luar diri mereka – berdasarkan imbalan atau rasa takut terhadap tuntutan hukum tertentu yang berasal dari luar diri mereka, pada akhirnya akan berkembang menjadi suatu kemunafikan. Orang seperti itu akan menyembunyikan karakter dan sikap hati mereka sesungguhnya. Jadi dalam peradaban Barat etika eksistensial merupakan jalan keluar untuk membawa manusia keluar dari kemunafikan dan membebaskan seseorang dari menutup-nutupi natur dirinya sehingga ia dapat mengekspresikan siapakah dirinya dan apakah tujuan hidupnya sesungguhnya serta menunaikan tugas dan panggilannya sebagaimana ia kehendaki dengan tidak dibatasi oleh berbagai peraturan, hukum, dan imbalan. -
Etika teleologis (teleological ethics)
Mereka yang kecewa akibat kebuntuan etika eksistensial kini merasa mendapatkan jalan keluar yang ditawarkan etika teleologis. Berpangkal dari kata Grika telos yang berarti tujuan (goal), etika teleologis berpandangan bahwa kebenaran obyektif itu ada tetapi berlaku hanya hingga jangkauan tertentu, yaitu kebahagiaan (happiness) atau kesenangan (pleasure) sebagai tujuan akhirnya. Jadi di sini kebenaran obyektif dibatasi hanya sampai sejauh mana manusia tetap merasakan kebahagiaan dan kesenangan hidup yang sesungguhnya adalah tujuan hidupnya. Etika ini tampaknya praktis dan umumnya terefleksi dari cara orang-orang di luar dunia filsafat membuat keputusan-keputusan etis. Akan tetapi etika teleologis ini bukannya tidak punya persoalan. Untuk hal tertentu pengikut etika teleologis menemukan ketidaksepakatan di antara mereka sendiri mengenai apa sesungguhnya yang menjadi tujuan mereka: kesenangan individukah (sebagaimana dimaksud Epikurus) atau kesenangan sebanyak mungkin orangkah (sebagaimana dimaksud John Stuart Mill)? Apakah yang menjadi ukuran kesenangan: kedalaman yang dicapai seseorang dalam menikmati suatu kesengangan (intensity), sebagaimana dimaksud Epikurus, ataukah manfaat bagi sebanyak mungkin orang (utility), sebagaimana dimaksud Mill? -
Etika deontologis (deontological ethics)
Filsafat ini berpandangan bahwa etika eksistensial, yang mengedepankan subyektifitas manusia, dan etika teleologis, yang mengedepankan pengetahuan empiris manusia tentang pencarian manusia akan kesenangan, telah gagal membangun suatu standar moral obyektif. Oleh karena itu etika yang benar adalah bahwa seseorang tidak boleh menunaikan tugasnya di luar dari apa yang ia kehendaki (sebagaimana dimaksud etika eksistensial) dan di luar dari kebahagiaan yang dijangkaunya (sebagaimana dimaksud etika teleologis).
Etika Kristen
Atas kebuntuan tiga etika sekuler itu John Frame kemudian membukakan kepada kita tiga perspektif yang orang Kristen perlu kembangkan dan integrasikan satu sama lain.
-
Perspektif eksistensial (existential perspective) Alkitab tidak mengabaikan bahwa sebagai manusia kita diijinkan untuk hidup dalam berbagai situasi eksistensial tertentu akan tetapi itu tidak berarti bahwa kita tidak dimungkinkan untuk dapat mengenal diri kita sendiri dan mengetahui bagaimana seharusnya kita berperilaku dengan suatu standar obyektif yang berada di luar diri kita. Standar obyektif itu adalah Alkitab. Kita telah melihat kontradiksi internal dari gagasan Sartre: bahwa memahami ekspresi seseorang secara bebas tanpa diikat hukum, ketentuan universal, dan kebenaran obyektif sebagai ekspresi otentik keberadaan diri, sesungguhnya merupakan hal yang obyektif.
-
Perspektif situasionial (situational perspective) Etika teleologis yang dianut oleh kaum Epikurianis dan Utilitarianisme menyatakan kebuntuannya. Dengan mengejar dan mencapai kebahagiaan dan kesenangan sebagai tujuan utama kehidupan jangan-jangan sesungguhnya kita telah “diperalat” dan “dimanfaatkan” sedemikian rupa oleh seseorang atau banyak melalui berbagai kebijakan dan keputusan etis yang telah kita buat. Oleh karena itu sebagai orang Kristen kita harus peka terhadap situasi dunia yang berdosa. Kita tidak boleh buta melihat dunia berdosa yang di dalamnya telah ada rangkaian penyebab dan akibat yang menghasilkan berbagai kesenangan dan kepedihan.
-
Perspektif normatif (normative perspective) Sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk menjawab berbagai pertanyaan dan tantangan yang muncul di jaman kita. Oleh karena itu orang Kristen harus mempelajari secara langsung hukum Tuhan sebagaimana tertulis dalam Alkitab. Akan tetapi untuk memahami apa yang Alkitab katakan tentang persoalan etika tertentu, kita tetap harus mempelajari persoalan-persoalan itu secara tersendiri. Dengan demikian seperti halnya untuk mengetahui apa yang Alkitab katakan kita harus mempelajari Alkitab, maka untuk mengetahui apa yang Alkitab katakan tentang ekonomi, kita harus pula mempelajari ilmu ekonomi itu secara sendiri. Demikian pula dengan persoalan-persoalan lainnya. Secara deontologis kita tahu apa yang menjadi tugas panggilan kita masing-masing.
Penutup
Apa yang John Frame usulkan ini tidak mungkin dapat kita kerjakan sendiri. Kita memerlukan teman-teman sebagai rekan sekerja untuk menegur saat kita menyimpang, menguatkan saat kita menghadapi tantangan dan menghibur saat kita bersedih.
Persekutuan Studi Reformed adalah satu dari sekian tempat untuk itu. Mari kita responi kehadiran wadah ini.
Selamat Paskah 2013.
[ Jessy Victor
]
