Berita Kesukaan Besar Untuk Seluruh Bangsa
_oOo_
 
“……Sebab sesungguhnya Aku memberitakan kepadamu
kesukaan besar untuk seluruh bangsa”.
( Lukas 2:10 )
 
Setiap memasuki masa perayaan Natal, perhatian kita seringkali hanya terfokus pada selebrasi momen tersebut. Gereja mulai disibukkan oleh berbagai kegiatan persiapan menjelang Natal demi sebuah semarak Natal. Namun di tengah kesibukan padat itu, gereja seringkali lalai untuk menyuarakan esensi dari Natal itu sendiri. Jemaat tidak lagi diingatkan akan kesukaan besar dari berita Natal yang Tuhan nyatakan kepada mereka. Keindahan dan keagungan lagu-lagu hymne Natal warisan sejarah gereja sudah jarang dinyanyikan dan bahkan dilupakan karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Spirit keindahan dan keagungan lagu-lagu hymne Natal yang dicipta oleh Bapa-bapa gereja kita dulu makin lama semakin memudar diganti dengan spirit kontemporer zaman ini. Alhasil, lagu-lagu hymne Natal kini kehilangan esensi makna terdalamnya.
 
Selain itu, di dalam merayakan Natal perhatian kita juga banyak tersita oleh sesuatu yang sifatnya sekunder. Kita cenderung lebih mengurusi pakaian Natal, hadiah Natal, hiasan-hiasan Natal atau pohon Natal dengan segala macam pernak-perniknya, ketimbang dengan merenungkan makna Natal itu sendiri. Banyak orang Kristen terkesan tidak terlalu antusias lagi di dalam menghargai berita sukacita ini. Kecenderungan yang ada, mereka memaknai berita sukacita Natal hanya sekadar bersifat humanis yang semata-mata berkaitan dengan moral sesama manusia. Ini tidak sepenuhnya salah, tapi kita akan kehilangan esensi utama berita Natal itu sendiri. Di dalam membaca berita Natal, kita akan menemui hal-hal hina yang dialami oleh Yesus ketika dilahirkan ke dunia ini, tetapi di saat yang sama kita juga melihat Allah Bapa ”mempermuliakan” Dia.
 
Lalu, kepada siapakah berita Natal itu pertama kali disampaikan? Injil Lukas mencatat berita itu pertama kali turun kepada para gembala di padang, bukan kepada imam kepala, tua-tua Yahudi, pemimpin agama, apalagi kepada pemimpin politik. Konteks di zaman itu, seorang gembala dipandang rendah dan hina di dalam struktur masyarakat. Salah satu contohnya, seorang gembala tidak berhak bersaksi di muka pengadilan. Meski demikian, Allah justru memakai orang yang dianggap rendah dan bodoh ini menjadi alat-Nya untuk menghancurkan kesombongan dunia (1 Kor. 1:25). Kalimat ”menghancurkan kesombongan dunia” oleh John Calvin digunakan kalimat “to cast down the pride of the world” menekan kesombongan dunia.
 
Apabila kita tarik ke dalam konteks saat ini, apakah yang menjadi sumber sukacita terbesar manusia di zaman ini? Bukankah zaman ini telah berhasil mendefinisikan sukacita kita dengan materi semata, seolah-olah ia dapat dibeli dengan apa yang kita miliki? Jawabannya Ya! Tapi inilah realita yang harus kita terima. Sukacita yang manusia inginkan seringkali adalah sukacita tanpa melibatkan Tuhan Allah di dalamnya. Sukacita ini bisa kita sebut sukacita semu atau sukacita palsu. John Calvin pernah berkata: “All the joy that they experience is deceitful and of short duration”. Artinya semua sukacita (tanpa melibatkan Tuhan) yang mereka alami adalah sukacita yang palsu dan tidak akan bertahan lama.
 
Kita tentu menyadari bahwa kecenderungan sifat manusia akan selalu mencari sukacita melalui kesenangan duniawi. Mereka akan berusaha mencari materi sebanyak-banyaknya demi terjaminnya sukacita yang mereka harapkan, seolah-olah ia dapat dibeli. Tapi ingatlah, semua sukacita semu yang manusia cari tidak akan bertahan lama. Sekali lagi, tanpa Juru selamat takkan ada sukacita sejati.
 
Tujuan akhir dari berita Natal, berita kesukaan besar itu, bukan sekadar bagaimana manusia dapat diselamatkan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana melalui keselamatan yang sudah diterima, seluruh kemuliaan dikembalikan hanya kepada Allah saja (Luk. 2:14a). Fokus utama yang kita tuju hanyalah bagaimana Allah dipermuliakan dalam setiap aspek hidup kita. Itu sebabnya, sebagai orang Kristen yang sudah menerima anugerah keselamatan, kita dipanggil untuk memuliakan Allah. Seluruh aspek hidup kita dipersembahkan hanya bagi kemuliaan Allah saja. Segala sesuatu yang kita kerjakan, semuanya dikembalikan bagi kemuliaan Allah. Hanya Allah saja yang dimuliakan di dalam hidup kita. Dalam hal ini, seorang theolog Kristen, Matthew Henry, pernah mengatakan satu kalimat: “Biarlah Allah memperoleh penghormatan atas pekerjaan ini: Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi. Kehendak baik Allah dinyatakan dengan mengirim sang Mesias, sehingga sangat layak pujian dikembalikan kepada-Nya”.
 
Di bagian berikutnya dalam Lukas 2:14b, Matthew Henry menafsirkan bagian ini dengan satu kalimat: “Biarlah manusia memperoleh sukacita ini: damai sejahtera di bumi. Kehendak baik Allah dalam mengirim sang Mesias membawa serta damai sejahtera di dunia bawah ini, mematahkan perseteruan yang ditimbulkan dosa antara Allah dan manusia, dan menetapkan kembali hubungan damai di antara keduanya.” John Calvin juga melihat damai sejahtera ini sebagai damai antara Allah dan manusia. Sekarang pertanyaannya, di manakah letak damai di dalam diri manusia sekarang ini? Manusia terus berusaha mencarinya di dalam dunia ini melalui hal-hal materi, filsafat, upacara agama, tetapi damai yang didapat hanyalah damai yang semu dan sementara saja, oleh karena manusia berusaha mencarinya tanpa melibatkan Allah. Manusia selalu berpikir mampu berdamai dengan manusia lain tanpa harus melibatkan Allah. Sesungguhnya inilah berita Natal yang ditawarkan di zaman sekarang ini, damai dengan sesama manusia tanpa perlu mengingat Tuhan Allah sama sekali, apalagi untuk mempelajari dan menaati firman-Nya dengan tekun.
 
Apabila manusia masih terus berusaha mencari damai itu dengan kekuatannya sendiri, maka ia pada akhirnya akan menemui kegagalan, karena damai yang dicari itu bersifat semu dan sementara. Mengapa? Karena dosa yang ada pada diri manusia itulah yang membuat manusia tidak akan pernah bisa berdamai lagi dengan Allah, berdamai dengan manusia lain, serta berdamai dan alam. Hanya Yesus Juruselamat sajalah yang mampu menghadirkan damai sejatera antara Allah dengan manusia, yang mana berita kelahirannya itu turun atas para gembala. Damai sejahtera bagi seorang manusia bukan diperoleh di saat semua kebutuhan materinya terpenuhi dan telah terjamin seumur hidupnya di dunia ini, tetapi ketika ia sudah berdamai dengan Allah melalui Yesus Kristus, Juruselamat. Melalui damai sejahtera yang sejati inilah, menurut Matthew Henry, semua damai mengalir sehingga kita bisa berdamai dengan sesama manusia dan dengan alam. Pada akhirnya sekali lagi kita mengerti bahwa tidak ada damai sejahtera yang bisa kita peroleh di dunia tanpa Juru selamat.
 
Selamat Natal 2014 dan Selamat Tahu baru 2015, Tuhan memberkati.
[ Ranto M. Siburian ]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan