Surprised by The Gospel
_oOo_
 
Penginjilan (evangelism), penginjil (evangelist), injili (evangelical), evangelistik, evangelisasi – tentu saja kata-kata yang akrab di telinga kita sebagai orang Kristen. Kata-kata ini sepertinya sudah menjadi kosa kata orang kristen terutama ketika kita berbicara mengenai misi penginjilan Kristen. Akar utama dari kata-kata ini terletak pada kata “Injil” (gospel). Kata ini di dalam Alkitab Perjanjian Baru berakar dari kata “euangelion” yang berarti suatu kabar baik. Apabila dikritisi lebih lanjut tentu kita akan bertanya, “Jika Injil adalah kabar baik, lalu kabar baik tentang apa?; Mengapa kabar itu disebut kabar baik?; Apakah sebelumnya pernah ada kabar buruk yang mendahuluinya?” Pertanyaan-pertanyaan ini tentu wajar dan layak untuk diajukan. Namun, yang harus dimengerti adalah tentu kita akan memiliki berbagai macam versi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut seturut dengan pemahaman masing-masing orang yang pastinya akan berbeda-beda. Oleh karena kata Injil secara umum biasa digunakan khususnya oleh orang Kristen, kata ini seringkali dianggap biasa saja.
 
John Dickson dalam buku “The Best Kept Secret“ sebagaimana dikutip oleh Christopher J. H. Wright dalam buku, The Mission of God’s People, berkomentar demikian:
 
 
“Injil adalah salah satu dari kata-kata yang begitu utama, begitu fundamental bagi kehidupan Kristen sehingga bisa dianggap biasa saja. Kata ini bisa menjadi istilah apa saja dalam iman Kristen. “Injil” bisa menjadi begitu penuh makna/keinginan untuk dimasukkan ke dalamnya sehingga kata ini bisa tanpa makna sama sekali. Seperti kata “cinta” dalam musik populer, “Injil” bisa tidak berarti apa-apa pada saat yang sama. Saya telah mendengar orang menggambarkan jemaat-jemaat sebagai “gereja-gereja injil” dan para pelayannya sebagai orang-orang Injil, padahal yang mereka maksudkan sebenarnya ialah “berdasarkan alkitab” atau “kami menyukai mereka.”
 
 
Di dalam komentar ini, John Dickson menyoroti problem yang sering muncul adalah kesalahmengertian, penyalahgunaan, atau pereduksian makna sesungguhnya dari Injil itu sendiri. Christopher J. H. Wright, seorang Theolog Biblika dari Langham Partnership International, di dalam bukunya, The Mission of God’s People, juga pernah mengatakan satu kalimat:
 
 
Salah satu bahaya dari kata seperti “Injil” adalah kita (sewajarnya) begitu sayang dengannya, dan ingin membagikan dengan penuh semangat (sekali lagi wajar), sehingga kita tak mengambil waktu untuk mengeksplorasi konten utuhnya di dalam Alkitab. Siapa yang menciptakan kata itu, misalnya? Apa yang Yesus dan Paulus maksudkan ketika mereka menggunakan kata itu – khususnya, seperti telah saya singgung sebelumnya, mengingat mereka belum punya Kitab Perjanjian Baru untuk memandu mereka. Apa mereka menemukan”Injil” itu di Perjanjian Lama?
 
 
Ron Martoia di dalam bukunya, Static, mengenai kecenderungan kita mereduksi Injil ini melontarkan satu kalimat: “We have reduced the gospel and abbreviated the story!
 
Salah satu contoh bentuk pereduksian esensi Injil yang kerap kita (orang Kristen) lakukan adalah mempersamakan atau mengidentikkan kata Injil (gospel) dengan keselamatan (salvation)? Kita cenderung mereduksi Injil menjadi sebatas solusi bagi problem dosa pribadi kita sekaligus kartu tanda masuk menuju gerbang surga. Dallas Willard memaksudkan Injil jenis ini dengan istilah “Injil manajemen dosa”. Artinya ketika kita memiliki masalah dengan dosa, injil jenis ini menawarkan solusi cepat dan mudah untuk mengatasinya. Kita cukup mengambil saja obat penawarnya dan kembali lagi menjalankan kehidupan. Richard Stearn, Presiden World Vision U.S, di dalam bukunya, Unfinished, pernah berkata demikian:
 
 
“Kita telah menyalahpahami Injil sebagai sekadar sebuah kabar baik bahwa semua dosa kita diampuni dan kita dapat memasuki hidup kekal dengan percaya kepada Yesus Kristus, titik. Hal ini memang sebuah unsur penting dari Injil, tetapi jelas ini bukanlah keseluruhan berita Injil. Dalam buku pertama saya, The Hole in Our Gospel, saya berargumen bahwa sebagian besar dari umat Kristen telah merengkuh sebuah pandangan yang dipersempit tentang keutuhan Injil dan kabar baik dari kisah serta pesan Kristus. Saya berargumen bahwa jika melihat Injil sekadar dalam konteks transaksi cepat dengan Allah demi memperoleh pengampunan atas segala dosa supaya kita bisa masuk sorga, berarti kita telah merengkuh Injil yang tidak utuh, melainkan sebuah Injil yang memiliki lubang di dalamnya. Sebuah lubang yang menganga. Namun, persis seperti itulah cara banyak orang Kristen memandang Injil Kristus. Saya membuat kesepakatan dengan Allah membentuk polis asuransi keselamatan dari api neraka, menaruhnya ke dalam laci, dan kemudian saya bisa pergi ke pesta lagi.”
 
 
Dari komentar dan pernyataan di atas, sekarang kita mengerti bahwa seringkali Injil dipahami sebatas kaitannya dengan keselamatan pribadi (personal salvation). Injil dimaknai lebih sekadar polis asuransi keselamatan dari api neraka atau tiket masuk ke surga. Dengan pemahaman seperti ini, kita, menurut Scot McKnight, sebenarnya tidak tepat disebut seorang Injili, tetapi lebih tepat disebut Salvationist.
 
The Coming of Bad News.
 
Untuk menghindari kecenderungan pereduksian ini, kita perlu kembali menelusuri Alkitab kita guna menemukan sumber utama kata “Injil” (gospel) itu muncul dan dalam konteks apa kata itu muncul. Sebagaimana yang Darrin Patrick katakan di dalam bukunya, Church Planter, bahwa berita Injil berakar (grounded) di dalam sejarah (history), oleh karenanya kita harus kembali ke akar sejarahnya. Untuk mencapai tujuan itu kita memerlukan sebuah kisah yang melatarbelakanginya (back story).
 
Kata Injil (euangelion) di Perjanjian Baru merupakan kata yang sering dipakai untuk menyatakan suatu kabar baik. Kata ini sebenarnya berakar dari Kitab Perjanjian Lama dimana dalam bahasa Ibrani digunakan kata Ba’sar yang berarti membawa atau mengumumkan kabar baik. Kebanyakan para penafsir Perjanjian baru setuju bahwa kata ini berakar dari kitab Yesaya pasal 40-66, terutama di pasal 40 dan 52.
 
Bagian kedua dari Kitab Yesaya ini (pasal 40-66) berbicara tentang bagaimana pengharapan dan penantian Israel yang sudah begitu lama akan janji Allah melalui Nabi Nathan tetang akan hadirnya seorang Raja yang berasal dari garis keturunan Daud yang akan memerintah Israel. Dan TUHAN berjanji bahwa Ia akan mengokohkan takhta kerajaan Daud itu untuk selama-lamanya. (2 Samuel 7-17). Janji pengharapan itulah yang diserukan oleh Nabi Yesaya, TUHAN akan kembali ke Yerusalem (Sion) dan Dia akan berkuasa dan memerintah di sana.
 
Janji pengharapan itu dimulai dari seruan Nabi Yesaya di permulaan pasal 40 kepada sekelompok orang Israel yang masih berada di pembuangan Babel mengantisipasi hari kelepasan mereka dari belenggu suramnya pembuangan itu. Demikian pasal itu berbunyi:
 
 
Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu, tenangkan hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya, bahwa perhambaan sudah berakhir, bahwa kesalahannya telah diampuni, sebab ia telah menerima hukuman dari tangan TUHAN dua kali lipat karena segala dosanya. Ada suara yang berseru-seru: “Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran; maka kemuliaan TUHAN akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama; sungguh, TUHAN sendiri yang telah mengatakannya.” Ada suara yang berkata: “Berserulah!” Jawabku: “Apakah yang harus kuserukan?” “Seluruh umat manusia adalah seperti rumput dan semua semaraknya seperti bunga di padang. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, apabila TUHAN menghembuskannya dengan nafas-Nya. Sesungguhnyalah bangsa itu seperti rumput. Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selamanya.” Hai Sion, pembawa kabar baik, nyaringkanlah suaramu kuat-kuat, nyaringkanlah suaramu, jangan takut!” Katakanlah kepada kota-kota Yehuda: “Lihat, itu Allahmu!” Lihat, itu Tuhan ALLAH, Ia datang dengan kekuatan dan dengan tangan-Nya ia berkuasa. Lihat, mereka menjadi upah jerih payah-Nya ada bersama-sama Dia, dan mereka yang diperoleh-Nya berjalan di hadapan-Nya. Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati. (Yesaya 40:1-11)
 
 
Kita tahu bahwa konteks dari seruan Yesaya ini adalah ketika Israel harus mengalami satu situasi yang memilukan tatkala penghukuman TUHAN turun atas mereka. Ketidak taatan mereka terhadap perjanjian Allah membawa mereka kepada realita pembuangan di Babel. Sebagai umat pilihan Allah dan umat perjanjian Allah, Israel harus menghadapi satu situasi dimana TUHAN yang mereka sembah kini telah pergi meninggalkan mereka. Mereka menyadari bahwa Allah yang dahulu pernah tinggal dan berdiam di tengah umat-Nya itu kini telah pergi meninggalkan mereka. Bait Suci yang didirikan Salomo yang merupakan simbol dari kehadiran TUHAN Allah di tengah umat-Nya sudah dihancurkan oleh keganasan invasi bangsa Babel. Hancurnya Bait Suci ini menjadi simbol bahwa Allah telah pergi meninggalkan bait-Nya. Nabi Yehezkiel di dalam penglihatannya menyaksikan bagaimana kemuliaan TUHAN pergi meninggalkan bait-Nya (Yeh. 10). Kebesaran dan keagungan Bait Suci dan kota Yerusalem, tanah kelahiran yang mereka banggakan, kini telah hilang lenyap. Yang tersisa hanya tinggal puing-puing reruntuhan sekaligus menjadi saksi begitu dasyatnya penghukuman TUHAN atas mereka.
 
Di Babel, umat Israel hanya bisa menangis dan meratap tatkala mereka mulai mengingat dan merindukan Sion (Yerusalem), tanah kelahiran mereka. Ratapan yang mengharukan ini tergambar jelas dalam Mazmur 137.
 
 
Di tengah sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: “Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!” Bagaimanakah kita menyannyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacita! (Mazmur 137:1-6).
 
 
Breaking News: The Good News is Coming !
 
Dari backstory ini, kita melihat sebuah rangkaian peristiwa pahit yang dialami oleh umat Israel yang mencapai klimaksnya saat Allah menghukum ketidaktaatan mereka dengan mengijinkan mereka mengalami suramnya realita pembuangan (exile) di tanah Babel - tanpa raja, sendiri, teralieanasi, terpisah dari tanah kelahiran. Rangkaian dari pengalaman ini sesungguhnya menjadi suatu “kabar buruk” bagi mereka.
 
Di dalam konteks pengalaman kabar buruk (bad news) inilah kabar baik (good news) tentang pengharapan yang TUHAN janjikan itu menjadi suatu realita yang sangat mereka nantikan dan harapkan. Dan berita kelepasan yang diserukan Nabi Yesaya kepada umat-Nya ini membuka lembaran baru dari kabar baik itu. Nubuatan Nabi Yesaya menghubungkan berakhirnya era pembuangan ditandai dengan hadirnya satu figur yang menyebut dirinya sebagai orang yang mempersiapkan jalan (a way of preparer). Yohanes mengidentikkan dirinya dengan figur ini ketika ia mengutip seruan Nabi Yesaya dalam Yohanes 1:23, “Jawabnya: Akulah suara orang yang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskan jalan Tuhan! Seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” The way of preparer ini, kata Yesaya, akan memiliki kabar baik (good news), sebuah breaking news yang menyerukan: “Allah yang dahulu sudah pergi meninggalkan bait-Nya, meninggalkan Yerusalem, kini Ia kembali ke Sion (Yerusalem) dan Dia akan memerintah sebagai Raja.”
 
Setelah sekian lama, kurang lebih 400 tahun menunggu kabar baik itu, kini pengharapan itu muncul. Pengharapan itu merupakan bagian dari back story bagi perjalanan seluruh umat Israel. Ketika Yohanes Pembaptis mengutip nubuatan Nabi Yesaya itu, pengharapan itu muncul di dalam hati setiap umat-Nya. Dan Yesaya 40 merupakan semacam prelude untuk memahami Yesaya pasal 52 yang dianggap sebagai pernyataan penting untuk memahami konten utuh dari Injil.
 
 
”Betapa indah kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik (ba’sar /good news), yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: “Allahmu itu Raja!”. Dengarlah suara orang-orang yang mengawal engkau: mereka bersama-sama bersorak-sorai. Sebab dengan mata kepala mereka sendiri mereka melihat bagaimana TUHAN kembali ke Sion. Bergembiralah, bersorak-sorailah bersama-sama, hai reruntuhan Yerusalem! Sebab TUHAN telah menghibur umat-Nya, telah menebus Yerusalem. Tuhan telah menunjukkan tangan-Nya yang kudus di depan mata semua bangsa: maka segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita.” (Yesaya 52:7-10)
 
 
Bagian pasal 52 ini sering dikutip dalam pengharapan-pengharapan Yahudi di sekitar masa Yesus dan juga dalam Perjanjian Baru. Di dalam bagian ini Yesaya ingin menyerukan kepada umat Tuhan yang ada di pembuangan Babel untuk bangun dan percaya bahwa hari-hari buruk, kabar buruk itu akan segera berlalu, bahwa penghancuran dan penawanan akan segera berakhir. Kabar baik dari pengharapan Mesianik yang mereka nantikan tentang Allah yang telah memperoleh kemenangan dan membawa mereka kembali pulang ke Sion telah tiba. Yesaya menggambarkan akan munculnya seorang utusan (tunggal) pembawa kabar baik yang sehabis berperang dengan kegirangan berlari cepat melintasi perbukitan menuju ke Timur, ke arah Yerusalem membawa kabar kemenangan, membawa kabar selamat itu kepada umat yang ada di pembuangan dengan berseru, ”Allahmu itu Raja!”.
 
Dengan demikian, apakah yang menjadi kabar baik (good news) atau berita selamat (good tidings) yang diekspresikan dalam Yesaya 52 ini? Apakah itu kabar baik tentang seseorang yang sedang datang dan dia akan mati untuk dosa-dosamu sehingga engkau bisa meninggalkan dunia ini menuju dunia lain yang disebut surga? Apakah berita selamat yang dimaksud adalah sebuah jaminan bahwa kita akan diselamatkan dari api neraka dan diberikan kursi di kehidupan setelah kematian yang biasanya kita sebut surga? Tidak. Kita harus menafsirkan ide keselamatan ini dari perspektif pembaca pertama dari Injil yang dibawa Nabi Yesaya, dari perspektif Yohanes Pembaptis yang mengutip bagian ini dan para pendengar umat Israel (bangsa Yahudi) di abad pertama. Ide keselamatan yang mereka pahami bukan dalam perspektif seperti itu. Lalu, apa yang sebenarnya orang Yahudi abad pertama pahami ketika mereka mendengar kata Injil?
 
Ron Martoia di dalam bukunya, Static, memberikan dua argumen jawaban atas hal ini. Pertama dan yang paling penting adalah mereka tidak berpikir tentang Yesus yang mati untuk dosa-dosa mereka. Kedua, ketika mereka mendengar kata Injil, mereka tidak berpikir tentang sebuah momen pengalaman pertobatan dari seseorang yang membawa satu perubahan yang radikal di dalam hubungannya dengan Tuhan. Dan mereka juga tidak berpikir tentang sebuah lokasi yang disiapkan dalam kehidupan setelah kematian, yang sering kita sebut surga. Apa yang mereka dengar tentang Injil ketika mereka mengingat Nubuat Nabi Yesaya adalah sebuah breaking news tentang janji berakhirnya era pembuangan, berakhirnya era kesuraman itu, dan yang lebih penting lagi adalah berakhirnya pemerintahan kuasa penguasa-penguasa asing (foreign powers). Raja yang mereka nantikan itu akan datang dan memerintah kembali secara penuh, dan ini sekaligus meneguhkan kembali akan janji Tuhan bahwa takhta Daud akan tegak dan kokoh untuk selama-lamanya. Jadi, inti dari Injil pada dasarnya adalah kabar baik tentang datangnya pemerintahan Allah. Kabar baik tentang naiknya seorang Raja ke atas takhtanya dan Dia akan memerintah dengan kebenaran dan keadilan.
 
Pada akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan sebuah kesimpulan dan respon kita mengutip pernyataan John Dickson sebagaimana yang sudah ditulis oleh Christopher J. H Wright dalam bukunya, The Mission of God’s People, yang berbunyi demikian:
 
 
“Pada inti berita Injil (dalam PL dan PB) ada ide Allah memerintah sebagai Raja, dengan kata lain, kerajaan-Nya. Saat orang Kristen yang pertama memproklamasikan Injil Kerajaan ini, mereka tidak meniru “Injil” kerajaan Romawi; mereka mengungkapkannya sebagai sesuatu yang palsu. Allahlah, dan bukan raja manusia manapun, yang berkuasa atas semuanya. Inilah tema sentral dalam Injil Kristen. ...
 
Apa ide tunggal terpenting yang mendorong kita ke dalam dunia?...Jawabannya ada kaitannya dengan monoteisme (satu Allah) atau lebih tepat lagi, monoteisme Kristologis – ketuhanan dari satu Allah yang sejati melalui Mesias-Nya. ...Untuk menyatakannya dalam pengertian yang lebih sederhana dan praktis, tujuan pemberitaan Injil – dan penyebarluasan Injil – adalah menolong sesama kita menyadari dan tunduk kepada pemerintahan atau ketuhanan Allah atas hidup mereka.
 
(Namun) Injil Kristen bukan hanya mengabarkan konsep “Allah memerintah”; Injil menguraikan dengan tepat bagaimana pemerintahan itu telah dinyatakan kepada dunia... kandungan inti dari Injil adalah karya dari Raja yang diurapi Allah, Yesus. Melalui kelahiran, mukjizat-mukjizat, pengajaran, kematian, dan kebangkitan-Nya kerajaan Allah telah diwujudkan (dan akan dipenuhi saat kembali-Nya). Maka menceritakan “Injil” mencakup menceritakan kembali perbuatan-perbuatan Yesus Sang Mesias”
 
 
Kiranya di momen Natal ini, kita yang mengaku umat tebusan Allah, mari bersama-sama melangkahkan kaki kita untuk membawa dan memprokamirkan berita Injil, kabar baik itu, di manapun kita berada hingga berita itu sampai ke ujung-ujung bumi. “How beautiful are the feet of them who bring the Gospel of peace”.
 
Selamat Natal 2014 dan Selamat Tahun Baru 2015.
[ Nikson Sinaga ]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan