KIERKEGAARD & HIDUP OTENTIK
_oOo_
 
Pengantar
 
Setiap orang tanpa terkecuali di kehidupan ini pasti pernah mengalami suatu pergumulan dan pergulatan hidup yang tidak mudah: mengenai penghidupannya, pekerjaannya, kehidupan cintanya, keluarganya, cita-citanya dan sebagainya. Di dalam pergumulan dan pergulatan hidup itu, seluruh keberadaan kita, baik hati, pikiran, tindakan kita akan dicurahkan untuk itu. Seluruh perhatian kita akan terfokus pada bagaimana kita meresponi keadaan itu. Hal ini akan menjadi sebuah ajang pertempuran berbagai macam gagasan dan pertimbangan yang terkadang sangat mendera hati kita. Di tengah situasi itulah kita dituntut untuk membuat keputusan-keputusan terbaik. Dan di balik keputusan-keputusan itulah akan tercermin siapa sebenarnya diri kita dan seberapa otentik kehidupan kita. Tulisan ini akan membahas secara ringkas mengenai bagaimana pemikiran Kierkegaard tentang hidup yang otentik dan bagaimana pemikiran ini membingkai sebuah kisah Natal di Alkitab, yaitu tentang pergumulan Yusuf dan Maria di seputar peristiwa kelahiran Tuhan Yesus.
 
Kierkegaard dan Pergulatan Menuju Kehidupan Otentik
 
Soren Aabye Kierkegaard yang dikenal sebagai bapak Eksistensialisme ini dilahirkan pada tanggal 15 May 1813 di kota Kopenhagen, Denmark. Ia merupakan anak bungsu dari 7 bersaudara dari pasangan Michael Pedersen Kierkegaard dan Ane Sorendatter. Ibu yang melahirkan Kierkegaard sebelumnya adalah pelayan di rumah mereka yang kemudian menikah dengan ayahnya. Mengenai karakter Kierkegaard, di satu sisi ia dikenal sebagai sosok bertemperamen tinggi, emosinya mudah meledak-ledak. Namun di sisi yang lain dia memilki perasaan yang peka dan memiliki sisi melankolis. Sebagai anak bungsu, Kierkegaard sangat dekat dengan ayahnya. Ia mengenal sang ayah sebagai seorang yang religius dan sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada Tuhan. Sang ayah dikenal tegas dalam mendidik dan menanamkan sikap dan nilai-nilai moralitas Kristiani itu kepadanya. Bagi Kierkegaard, sang ayah menjadi figur teladan (role model) baginya. Itu sebabnya Kierkegaard muda sangat mengagumi dan menaruh hormat pada ayahnya itu.
 
Namun kekaguman itu lenyap seketika tatkala ia mengetahui bahwa sang ayah yang selama ini dikagumi dan dihormatinya itu ternyata pernah melakukan dosa yang sangat memalukan. Sang ayah hidup bersama dengan ibunya sebelum ada ikatan pernikahan. Kierkegaard bergumul bagaimana mungkin ayahnya yang dikenalnya sebagai orang yang sangat religius dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral bisa melakukan perbuatan tercela itu? Bagaimana mungkin ia berani menodai nilai kesucian dari sebuah pernikahan? Peristiwa ini sungguh mengguncang hati dan pikiran Kierkegaard.
 
Namun tak hanya itu, paradigma religiusnya kembali diombang-ambingkan tatkala ia pernah mendengar sang ayah sedang mengutuki Tuhan akibat keputusasaannya. Rangkaian peristiwa-peristiwa ini menjadi titik pangkal pergulatan hidup Kierkegaard bagaimana ia memahami keotentikan hidup. Ia menyadari bahwa hidup manusia bisa mengalami sebuah hidup yang tidak otentik, artinya dalam penampilan luar seseorang terkadang tidak mencerminkan apa yang menjadi pergulatan batinnya. Itu sebabnya, Kierkegaard sangat melawan segala bentuk berhala kepalsuan dan kemunafikan hidup. Bagi Kierkegaard, hidup yang otentik bukan hidup yang double life - hidup yang tidak memiliki kongruensi atau keselarasan antara kehidupan di dalam diri (inner life) dengan kehidupan di luar. Baginya hidup otentik adalah hidup yang transparan tanpa kepalsuan dan kemunafikan. Hidup yang berintegritas antara inner life dan outer life.
 
Selain membuang segala berhala kepalsuan dan kemunafikan hidup, menurut Kierkegaard, perjuangan untuk menuju suatu kehidupan otentik dapat dilakukan dengan berusaha untuk keluar dari “kerumunan” (crowd) atau “publik” (public). Menurut Kierkergaard, kerumunan atau publik selalu menghilangkan identitas pribadi. Maka dari itu, individu-individu harus berjuang untuk tidak melarutkan diri ke dalam kerumunan atau publik karena hal itu akan meniadakan identitas mereka dan menghalangi usaha mereka menjadi diri sendiri. Pada dasarnya pemikiran tentang “kerumunan” ini dilandasi konteks Eropa Barat pada umumnya dan Denmark pada khususnya. Eropa Barat di abad ke-19 praktis mayoritas penduduknya beragama Kristen karena mereka lahir dan dibesarkan dari keluarga Kristen. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan ritual agama Kristen sebagaimana lazimnya dilakukan. Namun mereka menjadi Kristen bukan karena keputusan mereka secara personal untuk menjadi seorang Kristen sehingga tak heran banyak dari mereka tidak mengerti apa artinya menjadi Kristen. Demikian halnya yang terjadi di Denmark, yang menjadikan Kristen menjadi agama resmi. Kierkegaard melihat kehidupan di sana, bagaimana orang-orang yang menyebut diri mereka Kristen menjalankan ritual Kristen hanya sebatas bentuk formalitas belaka tanpa ada penghayatan yang mendalam atas apa yang mereka jalankan. Tidak ada lagi gairah yang mendorong Denmark untuk terus maju. Menurutnya roda kemajuan Denmark telah berhenti berputar.
 
Realita ini menurut Kierkegaard disebabkan karena orang-orang cenderung hidup dalam kerumunan. Dalam kerumunan, orang mendapatkan gairah hidup karena mendengar cerita, ambisi, dan teriakan orang lain bukan karena gairah hidup yang tercermin keluar dari sikap hati dan pergumulan dari diri orang itu sendiri. Kecenderungan hidup berkerumun ini dapat juga disebabkan karena takut menghadapi eksistensinya sendiri. Ketika kita harus mengalami suatu pergumulan hidup atau pergulatan batin, kita cenderung tidak berani menggulati pergumulan itu sendiri secara pribadi, tetapi lebih memilih untuk bertemu orang lain, menceritakan pergumulan kita kepada orang lain, dan mengharapkan pandangan dan gagasan orang lain itu menjadi bentuk solusi terbaik. Dari pandangan dan gagasan orang lain itulah yang kemudian dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini keputusan yang dibuat dipengaruhi oleh faktor eksternal diluar eksistensi dirinya secara pribadi. Keputusan dibuat berdasarkan suara dari kerumunan bukan suara dari eksistensi diri di dalam pergulatan dan pergumulan secara personal. Bagi Kierkegaard, kehidupan sejati atau otentik berarti berani berjuang, bergulat, menghadapi perlawanan, dan mengalami hasrat atau gairah. Untuk dapat dikatakan memiliki hidup otentik, seseorang harus menyatakan siapa dirinya lewat keputusan-keputusan yang dibuatnya di dalam seluruh pergulatan hidupnya.
 
Kierkegaard dan Wilayah Eksistensi Menuju Kehidupan Otentik
 
Untuk menempuh jalan menuju identitas diri yang memiliki hidup otentik, Kierkegaard merumuskannya dengan apa yang dia sebut tiga wilayah eksistensi (spheres of existence) atau tahap-tahap jalan hidup (stages of life’s way), yaitu: wilayah estetis (the aesthetic), wilayah etis (the ethical), dan wilayah religius (the religious). Penggolongan ini menurut Kierkegaard didasarkan pada wilayah eksistensi karena itulah cara-cara manusia berada di dunia ini (modes of being-in-the-world). Dan dari setiap wilayah eksistensi tersebut, masing-masing wilayah memiliki pandangan dan pengandaian tertentu, yang bagi orang di dalamnya hal itu memberikan kepuasan dan kepenuhan hidup. Berikut penjelasan singkat mengenai ketiga wilayah eksistensi tersebut:
 
  1. Wilayah pertama Estetis. Istilah estetis yang digunakan oleh Kierkegaard diambil dari bahasa Yunani “Aisthesis” yang berarti sensasi dan perasaan. Dalam tahap ini seseorang memaknai dan menjalankan kehidupannya tanpa memikirkan aspek nilai etika dan moral, baik atau buruk. Seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu secara emosional, spontan, mengikuti dorongan emosi dan inderawi sesaat tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya keputusan tersebut. Kierkegaard mencontohkan Don Juan sebagai simbol estetis. Don Juan adalah seorang yang melakukan sesuatu sekadar untuk memenuhi hasrat seksualnya. Kehidupannya dipenuhi dengan perbuatan berganti-ganti wanita, berpindah dari wanita satu ke wanita lain demi memenuhi sensasi dan hasrat seksualnya belaka, tanpa memikirkan aspek moral dari tindakannya itu. Kierkegaard mendeskripsikan tahap ini bagaimana seseorang di dalam eksistensinya memiliki suatu hasrat, nafsu, ataupun keinginan-keinginan yang mana itu semua direalisasikan tanpa memperhatikan aturan-aturan, standar-standar moral yang ada. Itu sebab, kepuasan dan kenikmatan yang didapatkan bersifat semu dan temporal. Bagi Kierkegaard, wilayah estetis dianggap yang paling rendah dibandingkan dengan wilayah yang lain.
     
  2. Wilayah kedua Etis. Tahap ini lebih tinggi dari tahap estetis. Dalam tahap ini aspek moralitas menjadi pertimbangan di dalam memutuskan dan melakukan sesuatu. Hasrat dan nafsu terhadap sesuatu dapat dikontrol oleh standar aturan-aturan moral yang berlaku universal. Di sini fungsi rasio dan hati berperan aktif. Kierkegaard mencontohkan filsuf Socrates sebagai simbol Etis. Socrates adalah orang yang bersedia mengorbankan dirinya sendiri demi mempertahankan moralitas universal. Socrates selalu mengajarkan kepada muridnya untuk berlaku bijaksana menerapkan moral universal di dalam keseharian. Ketegasan Socrates dalam menegakkan prinsip-prinsip moral ini tercermin dari keberanian dia mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa/pemerintah otoriter saat itu yang dianggap melenceng dari nilai-nilai moralitas universal yang berlaku, walaupun ia harus menghadapi risiko besar atas sikapnya itu.
     
  3. Wilayah ketiga Religius. Kierkegaard melihat wilayah estetis maupun etis ternyata tidak cukup memadai untuk menyelesaikan kompleksitas pergumulan hidup manusia. Oleh sebab itu perlu ada satu wilayah lain untuk mengakomodasi keterbatasan itu, yaitu apa yang disebutnya wilayah religius. Sebagai contoh, seorang tentara yang mendapatkan tugas negara untuk menjadi bagian dari pasukan yang berjuang di daerah konflik, di mana ia harus meninggalkan anak dan istrinya. Si anak, sambil menangis dan memegang tangan ayahnya memintanya untuk tidak pergi. Bagi si tentara, situasi ini menjadi satu dilema pergumulan yang berat. Di satu sisi, tugas ini adalah tugas negara yang wajib diembannya. Namun di sisi yang lain, di relung hatinya, ia sangat mengasihi anaknya sehingga ia berat meninggalkan anaknya. Diperhadapkan dengan dua pilihan yang sulit ini, si tentara dituntut untuk membuat sebuah keputusan terbaik. Sesungguhnya cerita ini mencerminkan betapa kompleksnya realita kehidupan manusia. Menurut Kierkegaard, di dalam kompleksitas kehidupan seperti ini tidak cukup seseorang berada di wilayah estetis, memutuskan secara spontan mengikuti hasrat dan kemauan diri, dan tidak cukup juga berada di wilayah etis, bergumul di dalam kerangka moral universal. Itu sebabnya menurut Kierkegaard, ia perlu masuk ke dalam wilayah yang lebih tinggi, yaitu wilayah religius. Maksudnya, ia tidak hanya bergumul dengan eksistensi dirinya sendiri, tetapi ia perlu masuk ke dalam realita pergumulan dengan yang Ilahi (divine), yaitu Allah sendiri. Apakah pilihan yang diambil sudah sesuai dengan kehendak Allah? Apakah pilihan itu merupakan bagian dari komitmen untuk taat kepada Allah? Singkatnya, di dalam wilayah religius, melibatkan faktor transendensi masuk ke dalamnya. Apabila seseorang sudah masuk ke dalam wilayah itu, maka ia dapat dikatakan sudah mencapai keotentikan hidup. Itulah sebabnya menurut Kierkegaard, wilayah religius merupakan wilayah tertinggi dari kedua wilayah lainnya, estetis dan etis.
Kita akan mendeskripsikan ketiga wilayah eksistensi di atas ke dalam contoh riil di dalam kehidupan negara kita yang saat ini sedang terjangkit budaya korupsi yang begitu masif. Misalnya seseorang diperhadapkan pada situasi di mana ia berada di puncak kekuasaan, memiliki otoritas, dan memiliki kesempatan melakukan korupsi, jalan mana yang akan dia pilih? Apakah ia memutuskan akan melakukan korupsi atau bertahan untuk tidak melakukannya. Seseorang yang berada di tahap wilayah estetis akan dengan mudah tanpa pertimbangan apapun melakukannya hanya demi memuaskan hasrat diri untuk mendapatkan kekayaan dengan mudah tanpa kerja keras. Apa yang dilakukannya hanya untuk memenuhi hawa nafsu keserakahan tanpa peduli dengan nilai moral universal yang berlaku.
 
Apabila seseorang berada di tahap wilayah etis memungkinkan dia untuk tidak melakukannya karena di dalamnya masih mempertimbangkan nilai-nilai moral universal yang berlaku, bahwa tindakannya itu adalah suatu hal yang buruk. Apabila ia melakukannya, maka masyarakat akan mencapnya sebagai orang tidak bermoral. Di wilayah ini masih ada benteng yang membatasi orang untuk tidak melakukan perbuatan itu.
 
Dan apabila dia sudah masuk ke dalam wilayah religius, keputusannya untuk tidak melakukan korupsi tidak sekadar karena mempertimbangkan nilai moral semata, bukan pula karena ada perasaan takut nanti diberi stigma tidak bermoral oleh masyarakat, namun keputusannya karena ada suatu perasaan takut akan Tuhan. Yang dilakukannya merupakan respon ketaatan dia pada Tuhan dan bukti kongkrit dari komitmennya untuk menjalankan kehendak Tuhan. Ia sadar, ketika ia melakukannya, maka ia sedang melanggar ketetapan Tuhan.
 
Kisah Yusuf & Maria: Sebuah Teladan Kehidupan Otentik di hadapan Allah
 
Tentu setiap kita orang Kristen sudah cukup familiar dengan kisah Yusuf dan Maria di dalam peristiwa kelahiran Yesus. Kisah itu berawal dari perkataan Malaikat Tuhan kepada seorang perawan bernama Maria yang waktu itu bertunangan dengan seorang bernama Yusuf. “Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu. Kata Malaikat itu kepadanya: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhurnya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Kata Maria kepada Malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku belum bersuami?” Jawab Malaikat itu kepadanya: Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Maha Tinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah (Luk. 1:28-35).
 
Ketika pertama kali Maria mendengar perkataan Malaikat Tuhan tentu ia mengharapkan ada berita baik (good news) yang disampaikan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Perkataan Malaikat Tuhan ini seolah justru menjadi suatu ”kabar buruk” (bad news) bagi Maria. Perkataan itu menjadi titik awal di mulainya kesulitan, pergumulan, dan pergulatan iman Maria secara pribadi yang nantinya juga akan menjadi pergumulan dan pergulatan iman Yusuf, tunangannya. Mengapa dikatakan “kabar buruk” bagi mereka? Perhatikan fakta ini. Pertama, Maria adalah seorang perawan yang belum menikah, dan baru menjadi tunangan Yusuf. Kedua, dikatakan ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak. Jika kedua fakta ini digabungkan, maka kesimpulan yang muncul adalah hamil di luar nikah, yang sama artinya dengan dosa perzinahan. Di dalam konteks hukum dan tradisi yang berlaku di zaman itu, hukuman yang ditanggung oleh seseorang yang melakukan dosa perzinahan tidak hanya sekadar dikucilkan oleh masyarakat, melainkan jauh melebihi itu, yaitu dirajam dengan batu sampai mati. Itu sebabnya, perkataan Malaikat itu telah membawa Maria ke dalam pusaran kesulitan yang sangat besar, pergumulan yang tidak mudah, karena sekarang ia harus berhadapan dengan hukuman kematian.
 
Namun dibalik ”berita buruk” (bad news) itu, sesungguhnya terselip berita baik (good news) atau dapat juga disebut berita agung dan mulia yang hendak disampaikan melalui perkataan Malaikat itu. Bahwa Maria beroleh kasih karunia di hadapan Allah, karena ia telah ditentukan Allah menjadi sarana pengantara turunnya sang Juru Slamat, Mesias yang dinantikan itu, melalui kelahiran seorang anak laki-laki yang kelak dinamakan Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Mat. 1:21). Selain itu, Maria juga secara tidak langsung berbagian di dalam penggenapan dari apa yang para Nabi nubuatkan di Perjanjian Lama. Dalam Matius 1:22-23 dikatakan, ”Hal itu [kelahiran Yesus] terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh Nabi: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” – yang berarti Allah menyertai kita.” Ayat ini menggenapkan apa yang Yesaya 7:14 katakan, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.”
 
Selanjutnya, atas perkataan Malaikat itu telah menempatkan Maria masuk ke dalam situasi ketegangan dan konfik, masuk ke dalam suatu dilema yang tak terbayangkan. Maria diperhadapkan pada suatu beban yang tidak mudah, di mana pada satu sisi ia harus bersiap menanggung beban hukuman dari masyarakat di mana ia berada, namun di sisi lain ia juga harus menanggung beban pekerjaan Tuhan yang besar dan mulia yang turun atasnya. Namun, tidak hanya Maria sendiri yang harus menghadapi konflik dan ketegangan dari situasi ini. Yusuf yang adalah tunangannya juga harus menghadapi situasi yang sama. Masyarakat di mana ia berada pasti akan menunjuknya sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilan Maria di luar pernikahan. Oleh karenanya, Yusuf juga akan diperhadapkan pada beban yang sama. Berhadapan dengan beban hukuman dari masyarakat karena dianggap menjadi bagian dari situasi ini dan berhadapan dengan beban untuk menjaga pekerjaan Tuhan yang besar dan mulia yang turun atas Maria itu tergenapi.
 
Di tengah situasi berat dan dilematis inilah, Maria dan Yusuf harus memberi respon. Mereka berdua harus memutuskan jalan mana yang harus mereka pilih dan tempuh untuk menghadapi situasi ini. Sebagaimana yang Kierkegaard katakan, keotentikan hidup ditentukan oleh bagaimana kita berespon terhadap pergumulan dan pergulatan hidup kita. Bagaimana kita memutuskan jalan mana yang kita tempuh untuk menghadapinya. Melalui kisah pergumulan Maria dan Yusuf di atas dengan melihat bagaimana mereka mesresponi apa yang mereka hadapi, maka kita akan membingkainya kisah ini ke dalam peta pemikiran Kierkegaard mengenai keotentikan hidup.
 
Mengenai hal ini kita akan melihat apakah yang menjadi respon Maria atas perkataan Malaikat itu. Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia (Luk. 1:38). Dari respon yang Maria tunjukkan melalui perkataannya ini, maka kita akan memikirkan dan merenungkan beberapa hal sebagai berikut:
 
Di tengah situasi dilematis ini, Maria harus memutuskan untuk memilih opsi tindakan mana yang harus di tempuh. Apakah ia mencoba menghindarkan diri dari bayang-bayang kematian yang muncul dihadapannya, misalnya dengan cara menggugurkan kandungannya itu? Ataukah ia tetap menjaga kandungannya itu hingga melahirkan. Puji Tuhan, di dalam keterbatasannya sebagai manusia biasa, dengan rendah hati Maria menempuh jalan yang sulit, ia memilih jalan untuk berkata “Ya” terhadap pekerjaan Tuhan yang turun atasnya walau ia harus merisikokan dirinya menghadapi konsekuensi terburuk sekalipun, yaitu kematian. Maria merelakan dirinya untuk menjalankan rencana Tuhan atas hidupnya. Ia berkata, “Jadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Kerelaannya ini tercermin jelas dari nyanyian pujian syukur Maria kepada Tuhan (Luk. 1:46-55). Lalu kata Maria: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, ...”
 
Di dalam memutuskan pilihannya ini, Alkitab tidak mencatat Maria menceritakan pergumulannya ini kepada orang lain atau meminta pendapat dan nasihat dari orang lain tentang bagaimana solusi dari apa yang dihadapi itu, tetapi ia bergumul dan bergulat dengan imannya. Pergumulan Maria atas situasi ini tidak berfokus pada eksistensi dirinya yang otonom, tidak berputar-putar pada eksistensi dirinya sendiri, tetapi ia melibatkan Tuhan untuk hadir di dalam pergumulannya itu. Dan Puji Tuhan, melalui pekerjaan Roh Kudus, sang Roh Kebenaran itu, telah mencerahkan hati dan pikirannya sehingga Maria berespon dengan benar di hadapan Tuhan. Kerelaannya menangung beban pekerjaan Tuhan yang turun atasnya ini, pada akhirnya bukan bersumber dari kuat kuasa Maria, melainkan karena Tuhan sendirilah yang bekerja memberi kekuatan kepadanya.
 
Di dalam bingkai pemikiran Kierkegaard, kita melihat dari respon yang Maria tunjukkan atas pergumulan yang dihadapinya menujukkan keotentikan hidupnya di hadapan Tuhan. Perkataan Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” menunjukkan betapa hidup yang ia jalani adalah hidup yang transparan, hidup yang apa adanya di hadapan Tuhan. Tidak ada kemunafikan hidup yang ia tunjukkan. Bahkan dengan kerendahan hati, Maria mau mengidentikkan dirinya sebagai seorang hamba Tuhan, hamba yang terbatas yang selalu bergantung pada tuannya, yang selalu menjalankan apapun perintah tuannya. Hal ini dapat terlihat dari tidak pernah ada tercatat argumen ketidaksetujuan Maria atas apa yang terjadi atasnya itu. Dia berdiam diri mendengarkan apa yang menjadi perkataan Tuhan melalui perantaraan Malaikat-Nya itu dan meresponinya dengan berkata “Ya” kepada Tuhan.
 
Sebagaimana yang sudah dikatakan sebelumnya bagaimana Alkitab tidak mencatat Maria menceritakan pergumulannya ini kepada orang lain atau meminta pendapat dan nasihat dari orang lain tentang bagaimana solusi dari apa yang dihadapi itu, menujukkan bagaimana ia berusaha menghindarkan diri dari “kerumunan” (crowd) atau publik di dalam memutuskan jalan yang akan ia tempuh. Di tengah suara-suara (the voices) dari “kerumunan” yang mencoba mengalihkannya dari pergumulannya secara personal, ia lebih memilih untuk mendengarkan suara Tuhan (God’s voice) dengan pertolongan Roh Kudus. Maria lebih memilih untuk bergumul bersama dengan Tuhan. Suara Tuhan melalui Roh Kudus menjadi sebuah attunement (memakai istilah Heidegger) bagi Maria yang mengarahkannya kepada pilihan terbaik yang dikehendaki Allah.
 
Dalam kaitannya dengan wilayah eksistensi yang Kierkegaard rumuskan di atas, keputusan yang Maria buat sudah pasti bukan berada di dalam wilayah estetis. Tidak mungkin Maria memutuskan pergumulan yang kompleks dan dilematis ini secara emosional dan spontan tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi atasnya, tanpa memikirkan aspek moral - baik dan buruk- yang ditimbulkan dari keputusan itu. Keputusan itu juga terlihat bukan berada di wilayah etis yang sekadar hanya mempertimbangkan aspek moral – baik atau buruk, moral atau tidak bermoral. Maria tidak memfokuskan dirinya untuk berputar di dalam tataran wilayah aspek moral. Keputusannya untuk tidak menggugurkan kandungan lebih kepada tujuan untuk menghindarkan diri dari stigma perilaku tidak bermoral, meskipun pemikiran ini mungkin ada. Tetapi apa yang Maria lakukan jauh melebihi wilayah etis karena apa yang dia putuskan itu lebih kepada bentuk respon ketaatan dia menjalankan kehendak Tuhan. Ia mengerti bahwa ia sedang menanggung pekerjaan Tuhan yang mulia. Itu sebabnya, melalui keputusan ini Maria sesungguhnya sudah masuk ke dalam wilayah yang lebih tinggi, yaitu wilayah religius. Pergumulannya bukan sekadar berusaha memenuhi aspek etika atau moralitas, tetapi lebih pada memenuhi aspek religius. Bagaimana di dalam pergumulan yang dihadapi ditambah dengan bagaimana keputusan itu diambil, ia melibatkan kehadiran Tuhan di dalamnya dan melibatkan kekuatan iman yang teguh.
 
Demikian pula dari jalan yang Yusuf tempuh, di mana pada awalnya ia telah mempertimbangkan maksudnya untuk meninggalkan Maria secara diam-diam demi menjaga nama baik Maria di muka umum, berkat intervensi Tuhan melalui malaikat-Nya pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak melakukannya. “...Malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus”” (Mat. 1:20). Tindakan yang Yusuf ambil ini sudah pasti bukan berada di dalam wilayah estetis, bukan pula berada di wilayah etis, membuat keputusan dengan mempertimbangkan aspek moral, semisal apabila ia meninggalkan Maria sendiri di dalam pergumulannya itu maka ia takut diberi stigma tidak bermoral atau tidak beretika. Di balik tindakannya itu, sekali lagi ini berkaitan dengan sikap hati dan komitmennya di hadapan Tuhan. Bahwa ia tahu dibalik keputusannya itu, ia sedang berjalan di rel kehendak Allah. Intervensi Allah melalui perantaraan malaikat-Nya yang berkata: “Janganlah engkau takut” memberi Yusuf kekuatan untuk melewati pergumulan berat yang ada di depannya.
 
Penutup
 
Sebagaimana yang Kierkegaard katakan bahwa seseorang yang sudah masuk ke dalam tahap wilayah religius, ia sudah mencapai puncak keotentikan hidupnya. Dan Maria dan Yusuf sudah melaluinya. Namun perlu diingat, keotentikan hidup yang Maria dan Yusuf peragakan dalam kisah ini, bukan sekadar karena mereka sudah melepaskan diri dari berhala kepalsuan (kemunafikan), bukan pula sekadar karena mereka sudah berusaha keluar dan tidak meleburkan diri ke dalam kerumunan (crowd), tetapi karena mereka, Maria dan Yusuf, sudah menghadirkan Tuhan di dalam pergumulan hidupnya. Itu sebabnya, dengan kerelaan hati dan ucapan syukur, mereka bersedia menanggung pekerjaan Tuhan yang turun atas mereka dengan risiko apapun juga. Keotentikan hidup yang Maria dan Yusuf tunjukkan adalah keotentikan bukan berdasarkan penilaian manusia yang terbatas, tetapi berdasarkan penilaian Allah yang bijaksana. Keotentikan hidup yang mereka perjuangkan adalah keotentikan hidup di hadapan Allah saja. Oleh sebab itu, di momen Natal ini kita mulai memikirkan dan merenungkan, apakah kita sudah hidup memiliki kehidupan yang otentik di hadapan Allah?
 
Selamat Natal 2015 dan Selamat Tahun Baru.
[ Nikson ]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan