TOTALITAS, YANG TAK BERHINGGA & EKSTERIORITAS
_oOo_
 
Hark the herald ange ls sing: “Glory to the newborn King!,
Peace on earth and mercy mild, God and sinners reconciled” …
 
Filsafat modern dan kritik Heidegger terhadapnya
 
Sejak dicetuskannya slogan “saya berpikir, maka saya ada” (cogito ergo sum) oleh Rene Descartes (1596-1650) seluruh filsafat modern berkembang dengan kerangka subyek-obyek di mana “diri” ditempatkan sebagai subyek, sedang segala sesuatu di luar “diri”, apa saja: alam semesta, orang lain, bahkan Tuhan, ditempatkan sebagai obyek. Subyek selalu superior sedangkan obyek selalu inferior.
 
Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, menyatakan “dosa” dari filsafat modern itu dengan membukakan adanya dua entitas dalam memahami realitas:
 
  1. Entitas yang “demikian adanya” (objectively present)
     
    Entitas jenis ini adalah entitas yang realitasnya menampilkan diri secara obyektif, misalnya batu. Sebuah batu berada demikian adanya. Dalam terminologi non-Heideggerian sifat entitas seperti ini disebut alamiah (natural).
     
  2. Entitas yang ada “demi kita” (at hand)
     
    Entitas jenis ini dihasilkan oleh proses budaya dan menimbulkan hubungan saling mempengaruhi (care), misalnya kampak. Kampak dibuat oleh manusia akan tetapi manusia hanya boleh menggunakan kampak itu untuk fungsi-fungsi tertentu seperti misalnya memecahkan batu. Contoh lainnya adalah pintu. Manusia membuat pintu tetapi pada akhirnya pintu itu berbalik mengatur manusia sehingga manusia harus berjalan melewatinya. Dalam terminologi non-Heideggerian sifat entitas seperti ini disebut kultural (cultural).
Berdasarkan dua jenis entitas di atas maka dosa asal (original sin) dalam epistemologi barat, menurut Heidegger, adalah memperlakukan semua entitas yang ada, termasuk sesama manusia, semata-mata hanya sebagai entitas yang “demikian adanya” (objectively present). Oleh karena itu Heidegger menyadarkan kita bahwa manusia merupakan entitas yang keberadaannya di dalam dunia selalu “bersama dengan orang lain” (being with others). Manusia adalah entitas yang selalu terbuka bagi orang lain. Ia mempengaruhi orang lain dan dipengaruhi oleh orang lain. Kebersamaannya dengan orang lain selalu turut mengarahkan pertimbangan-pertimbangannya (considerateness) sehingga menuntutnya untuk peduli (concern) dan tenggang rasa (tolerance). Dengan demikian memperlakukan orang lain semata-mata hanya sebagai entitas yang objectively present pada akhirnya cenderung berujung pada penindasan dan penguasaan semata yang di dalamnya kepedulian dan tenggang rasa di antara sesama manusia dimatikan. Demikian kritik Heidegger.
 
Keterdiaman Heidegger atas holocaust dan kritik atas “being with”
 
Akan tetapi karena Heidegger merupakan pendukung dan anggota partai Nazi dari Mei 1933 hingga Mei 1945 serta keterdiamannya terhadap peristiwa holocaust, pembantaian jutaan orang Yahudi di kamar-kamar gas oleh kekaisaran setan Nazi Jerman yang sangat menakutkan itu, sejumlah filsuf keturunan Yahudi, salah satunya Emmanuel Levinas, di kemudian hari setelah Perang Dunia II mempertanyakan pemikirannya mengenai being with. Hannah Arendt, seorang murid dan pembelanya, berpandangan bahwa dukungan Heidegger pada Nazi Jerman hanyalah “kesalahan” (error) yang bersifat personal, mengingat bahwa Heidegger mengembangkan filsafatnya itu di tengah (in the middle) situasi politik era-Nazi. Menurut Arendt dan sejumlah pembela Heidegger lainnya kesalahan Heidegger itu merupakan hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan filsafatnya. Di sini keberpihakan para pengikut Heidegger, yang adalah sesama bangsa Jerman itu, menyatakan dengan jelas bahwa being with yang Heidegger bangun menyembunyikan persoalan integritas dan dengan demikian harus dipertanyakan.
 
Mengenai Emmanuel Levinas (1906-1995)
 
Sebelum memahami kritik Emmanuel Levinas terhadap filsafat modern dan Heidegger ada baiknya kita mengetahui latar belakang hidupnya. Levinas lahir pada tahun 1906 di dalam sebuah keluarga keturunan Yahudi di Kaunas, Lithuania. Ia dibesarkan dalam tradisi Alkitab Ibrani. Tahun 1923 ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa pada Universitas Strasbourg di Prancis. Tahun 1928-1929 selama dua semester ia belajar pada Edmund Husserl di Freiburg dan sempat menyaksikan Martin Heidegger sebagai profesor muda menggantikan Husserl. Tahun 1930 ia menyelesaikan studinya pada Universitas Sorbonne dan memperoleh kewarganegaraan Prancis. Menjelang Perang Dunia II Levinas masuk dinas ketentaraan Prancis dan dari tahun 1940 sampai akhir perang tersebut ia tinggal di Jerman sebagai tahanan perang, antara lain kamp nomor 1492 yang dikhususkan bagi tahanan-tahanan perang keturunan Yahudi. Apa yang Levinas alami di dalam kamp itu serta pembantaian sistematis yang dilakukan oleh Nazi terhadap jutaan orang Yahudi, termasuk semua sanak saudaranya di Lithuania, meninggalkan kepedihan di dalam jiwanya, seperti halnya sekian banyak orang Yahudi lainnya yang selamat hingga Perang Dunia II usai. Perkataan para tentara Jerman kepada orang-orang Yahudi di kamp-kamp tahanan itu: “Hai, orang Yahudi! Apa hakmu hidup di dalam dunia ini?”, meninggalkan bekas yang mendalam di dalam diri mereka. Mengenai pembantaian itu ia mengatakan bahwa kitab Ibrani Yesaya pasal 53 yang berbicara tentang “Hamba Yahwe yang menderita” telah menjadi kenyataan.
 
Tahun 1949 ia mengumpulkan sejumlah artikel dalam buku berjudul En decouvrant l’existence avec Husserl et Heidegger (Menemukan Eksistensi Bersama Husserl dan Heidegger). Tahun 1961 ia menerbitkan bukunya Totalite et Infini (Totalitas dan Tak Berhingga). Tahun 1967 ia dipanggil ke Paris untuk menjadi profesor di Universitas Paris X di Nanterre. Tahun 1973 diangkat menjadi profesor di Sorbonne sampai ia pensiun pada tahun 1976. Setelah itu ia masih terus menulis sampai tahun 1982. Ia meninggal pada tanggal 25 Desember 1995.
 
Kritik Emmanuel Levinas terhadap filsafat modern dan Heidegger
 
Menurut Levinas seluruh filsafat modern merupakan egologi, dimana: “aku” adalah pangkal atau titik tolak segala suatu. Dengan demikian “aku” tidak mungkin dapat mengenal dan menerima “orang lain” (the other) menurut “keberlainannya” (otherness) dengan “aku”. “Aku” di sini selalu menjadi pusat di mana keberadaan “orang lain” selalu merupakan suatu gangguan dan demi “aku,” apabila perlu, “orang lain” tidak boleh “ada”. Itu sebab kerangka subyek-obyek ini pada akhirnya mengijinkan adanya kekerasan (violence) di antara sesama manusia.
 
Sebagai seorang yang mengkritisi filsafat modern, Levinas juga mengakui bahwa kritik Heidegger terhadap kerangka subyek-obyek, terutama dengan “being with”-nya merupakan sesuatu yang inspiratif. Akan tetapi keterdiaman Heidegger pada holocaust memunculkan pertanyaan mengenai siapa sesungguhnya “sesama” Heidegger dalam apa yang ia maksud dengan “being with”. Levinas mengklaim bahwa dukungan Heidegger terhadap Nazi menyatakan adanya kelemahan mendasar (flaw) yang secara inheren telah tertanam di dalam pemikirannya itu. Sebagai seorang filsuf-akademisi, Heidegger sering berpakaian seperti halnya petani Jerman. Levinas akhirnya mendapati bahwa being with yang Heidegger maksudkan ternyata adalah being with sesama petani Jerman. Heidegger didapati sebagai seseorang yang keberadaannya hanya in the middle saja. Attunement yang Heidegger bangun sebagai jalan keluar bagi manusia, yang faktisitasnya di dalam dunia (in the world) ini telah sedemikian terinterdependensi, ternyata juga berputar-putar “di dalam dunia” saja. Saat Hitler berkuasa seluruh pidato dan orasi patriotik Nazi-nya disiarkan ke seluruh Jerman melalui radio. Bahkan pada setiap tempat layanan umum dipasang alat pengeras suara agar siaran radio yang berlangsung tersebut dapat terdengar jelas oleh semua orang yang berada di situ. Apabila stasiun-stasiun radio Jerman menyiarkan pidato Hitler rakyat Jerman yang sedang beraktifitas di stasiun-stasiun pengisian bahan bakar kendaraan sekali pun secara instan akan menghentikan aktifitas mereka sementara waktu untuk mendengar dalam sikap hormat tangan kepada Fuhrer mereka. Jadi attunement yang Heidegger bangun memang diinspirasi oleh tuning gelombang radio, suatu fungsi wahyu bagi rakyat Jerman. Nyata di sini bahwa “keterbukaan” (openness) manusia pada dunia yang “di dalam”-nya ia berada, sebagaimana Heidegger maksudkan, ternyata bersirkular di dalam diri. Itu sebab bagi Levinas pemikiran Heidegger dianggap tidak sanggup menghadapi egologi modern dan pengujian violence.
 
Oleh karena itu Emmanuel Levinas mengembangkan kritik yang sangat peka terhadap etika modern di dalam memperlakukan “orang lain”. Kritik Levinas harus dimengerti dengan memahami tiga hal penting berikut ini:
 
  1. Totalitas
     
    Filsafat barat selalu mengejar totalitas, yang artinya filsafat membangun suatu “keseluruhan” yang berpangkal pada “ego” sebagai pusatnya, yaitu dari “aku” kembali kepada “aku”. Egologi ini tidak mengakui keberadaan ”orang lain”, karena yang ada hanya ”aku”. Levinas menyebut hal ini sebagai the philosophy of the Same. Totalitas tidak sanggup menghadapi pengujian violence.
     
  2. Yang Tak Berhingga
     
    Totalitas filsafat barat harus didobrak oleh ”Yang Tak Berhingga” (Prancis: infini). Yang Tak Berhingga itu adalah “Orang Lain” (Inggris: the Other; Prancis: l’Autre). Dalam hal ini “orang lain” muncul sebagai Wajah (Inggris: the face; Prancis: le visage) bagaikan suatu kilauan cahaya (flash light), terjadi begitu saja, sangat instan dan tidak bisa dideskripsikan. Wajah orang lain yang dimaksud di sini adalah wajah bukan dalam arti fisis (tampan, biasa, tua, muda), melainkan Wajah orang lain dalam arti Wajah telanjang atau Wajah begitu saja. Orang Lain, dalam hal ini, bukan bagian dari totalitas. Dengan penampakan Wajah orang lain (l’epiphanie du visage) tersebut muncullah eksterioritas. Pemikiran Levinas tentang Allah berhubungan erat dengan hal ini. Bagi Levinas dimensi ilahi membuka diri dalam Wajah Orang Lain. Melalui Wajah Orang Lain maka “aku” dapat berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali Lain, yaitu Tuhan. Hal itu, menurut Levinas, tidak berlangsung pada tahap pengetahuan teoretis, melainkan dalam konteks praktek etis. Jadi Tuhan hadir bagi “aku” sejauh “aku” mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Relasi “aku” dengan Tuhan tidak dapat dilepaskan dari relasi etis “aku” dengan “sesamaku”. Mengenal Allah berarti mengetahui apa yang “aku” harus perbuat bagi sesama. Sifat Allah adalah modus imperativus. Maksudnya apabila kita berkata “Allah itu murah hati”, maka itu harus berarti “Hendaklah engkau bermurah hati seperti Dia”.
     
  3. Eksterioritas
     
    Dengan eksterioritas maka “orang lain” akan benar-benar tampak sebagai orang yang sama sekali lain, yang tidak dapat kita dekati dengan bertolak dari “aku”. ”Orang lain” benar-benar adalah “Orang Asing” (Inggris: the Stranger; Prancis: l’Etranger). Eksterioritas seperti inilah yang menjadikan “orang lain” benar-benar sebagai “orang yang sama sekali lain” (wholly other). Penampakan Wajah orang lain secara praktis memunculkan suatu kewajiban (obligation) pada pihak “aku,” untuk berbuat sesuatu dan tidak dengan maksud untuk memperoleh imbalan apa-apa. Kewajiban seperti ini tidak didasari take and give dan dengan demikian bersifat asimetris (asymmetric).
Dengan “yang tak berhingga” dan eksterioritas, Levinas bermaksud untuk mengingatkan agar kita selalu hidup terobligasi kepada “orang lain”. Akan tetapi, siapakah yang sanggup melakukan sesuatu bagi orang lain yang benar-benar asing dengan ketakberhinggaan dan eksterioritas seperti itu?
 
Natal: pendobrakan “totalitas,”
manifestasi dari “yang tak berhingga” dan “eksterioritas”
 
Rasul Paulus mengatakan demikian mengenai Kristus: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Fil. 2:6-7). Perhatikan: adakah yang kurang dari yang Tuhan kerjakan dalam kedatangan-Nya ke dunia ini? Rasul Paulus melanjutkan lagi mengenai Kristus: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil. 2:8). Bukankah apa yang telah Kristus kerjakan itu hal “yang benar-benar tak berhingga” dan eksterior? Status kita selaku orang berdosa menempatkan kita sebagai “orang asing” yang “... hidup jauh dari Allah dan yang memusuhinya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat” (Kol. 1:21) dan dengan demikian kita berada di bawah murka Allah. Charles Wesley menggambarkan hal ini dalam lirik lagu Natal Hark the Herald Angels Sing yang ditulisnya pada tahun 1739:
 
Hark the herald angels sing:
“Glory to the newborn King!,
Peace on earth and mercy mild,
God and sinners reconciled”
Joyful, all ye nations rise.
Join the triumph of the skies
With the angelic host proclaim:
“Christ is born in Bethlehem”
Hark! The herald angels sing
“Glory to the newborn King!,
 
Charles Wesley menggambarkan dengan indah bagaimana pendamaian antara Allah dan kita, orang berdosa, terjadi melalui datangnya Raja yang baru dilahirkan di Betlehem itu. Bukankah bagi Allah, kita sebagai orang berdosa, lebih dari sekadar bagaikan “orang asing”? Jadi, bukankah pendamaian yang telah Allah kerjakan itu merupakan suatu tindakan ilahi yang sangat eksterior? Dalam surat kepada jemaat di Roma rasul Paulus mengatakan: “... Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rom. 5:8). Bukankah hal itu merupakan sesuatu yang asimetris?
 
Kesimpulan
 
Pemikiran Levinas tentang “orang lain” merupakan suatu koreksi yang penting atas pemikiran Heidegger. Akan tetapi harus kita sadari bahwa tidak seorang pun dapat hidup dengan ketakberhinggaan dan eksterioritas terhadap orang lain seperti itu, sebagaimana dimaksud Levinas, selain dari Tuhan sendiri. Rasul Paulus mengajarkan kepada kita untuk mendobrak totalitas: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Maksudnya: mereka yang imannya telah bertumbuh dan teguh di antara jemaat Galatia harus terobligasi untuk menolong mereka yang masih “lemah” di antara jemaat itu, yaitu khususnya mereka yang berasal dari latar belakang non-Yahudi, agar dikuatkan sehingga tidak jatuh ke dalam legalisme Yahudi yang dihembuskan oleh sekelompok orang dengan paham nasionalisme Yahudi yang tidak menyukai adanya orang-orang Yahudi lain dan orang-orang bukan Yahudi di Galatia masuk ke dalam jemaat Kristus. Perhatikan apa yang Alkitab ajarkan mengenai bagaimana kita seharusnya memprioritaskan obligasi dan eksterioritas: “... marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10).
 
Penutup
 
Kritik Levinas telah menjadi suatu tantangan yang mendapat perhatian Persekutuan Studi Reformed yang hadir di tengah kompleksitas Indonesia khususnya kota Jakarta. Akan tetapi Persekutuan Studi Reformed menyadari bahwa Alkitab tetap merupakan otoritas yang tertinggi dalam menguji pemikiran manusia atas segala suatu. Di dalam keterbatasannya ia mengerjakan apa yang menjadi panggilannya untuk mewarisi dan memelihara kekayaan gereja. Mari bersama-sama Persekutuan Studi Reformed melayani Tuhan dan berbagian mengerjakan pekerjaan-pekerjaan-Nya.
 
Selamat Natal 2015 dan Selamat Tahun Baru 2016.
[ Jessy Victor ]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan