Human Nature
_oOo_
 
Para teolog dan filsuf selama ribuan tahun telah memperdebatkan tentang “apa itu manusia”. Tak peduli Anda itu Kristen atau bukan pertanyaannya akan selalu sama. “Sebagai manusia, apakah kita memiliki sifat dasar yang bersifat tetap atau bisa berubah? Apa yang mendasari kita disebut manusia? Apa yang terjadi (atau tidak terjadi) dengan natur manusia saat ia jatuh ke dalam dosa?” Dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas bagaimanapun juga secara tidak langsung akan mempengaruhi cara berpikir kita tentang politik, ekonomi, psikologi, sosiologi, teologi, filsafat, dan bahkan sains.
Hanya dari Alkitab saja kita pada akhirnya harus mencari ide yang benar tentang natur manusia. Dan saya percaya, yang paling dekat dengan pandangan Alkitab adalah pendekatan Protestan-Reformed.
 
I.1
Cara pandang Alkitab tentang natur manusia.
 
 
Menurut Alkitab esensi manusia adalah gambar Allah (image of God). Oleh karenanya manusia dibedakan dari semua makhluk lainnya. Manusia memiliki status tertinggi sebagai kepala dan mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Alkitab menegaskan bahwa manusia dicipta menurut “gambar” (image) dan “rupa” (likeness) Allah (Kej. 1:26, 27; 9:6; Yak. 3:9). Disamping itu, Alkitab juga berbicara tentang manusia sebagai “being” dan “bearing” (pembawa) gambar Allah (1 Kor. 11:7; 15:49). Istilah “gambar” (image) dan “rupa” (likeness) telah dibedakan dengan berbagai cara, tetapi banyak yang setuju bahwa “gambar” mengacu pada tubuh, dan “rupa” mengacu pada jiwa.1Berkhof, Louis, Systematic Theology, Grand Rapids, Michigan, 2011, 223. Clement dari Alexandria dan Origen mendefinisikan image sebagai rasionalitas, sedangkan likeness sebagai potensi kekudusan (potential holiness) yang dapat diperoleh lewat ketaatan.2Bavinck, Herman, Reformed Dogmatics (Abridged in One Volume), Baker Academic; Grand Rapids, Michigan, 2011, 319.
Kejadian 1:26-30 menegaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa Allah. Ungkapan ini dalam beberapa hal menurut kebanyakan theolog mengandung pengertian bahwa manusia “seperti” Tuhan (pasti bukan Tuhan) walau tentu tidak di dalam kuasa dan kemahatahuannya. Perdebatan ekstensif tentang gambar Allah memunculkan definisi parsial, antara lain manusia rasional, kekuasaan atas penciptaan, kebebasan kehendak, atau kualitas moral seperti cinta atau keadilan.3Bavinck, Herman, 319. Juga, mencakup kemampuan untuk memiliki hubungan yang benar dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan makhluk ciptaan yang lain.4Bakker, F. L., Sejarah Kerajaan Allah 1, BPK Gunung Mulia, 2015, 17.
Kejatuhan, bagaimanapun juga telah mengubah segala hal secara mendalam. Semua orang tahu Kejadian 3, tentang dosa Adam dan Hawa, pengusiran mereka dari Taman Eden, dan perubahan mendasar di alam mereka. Apa yang berubah dan bagaimana perubahannya?
Pertama, Adam dan Hawa berdosa saat mereka memakan buah terlarang (Kej. 3:6). Kita diberitahu bahwa mata mereka terbuka, artinya sebuah perubahan telah terjadi dalam hati.5Bakker, F. L., 29. Kedua, mereka menutupi ketelanjangan mereka, karena sekarang mereka “tahu” perihal baik dan jahat dengan cara pengalaman (mengalaminya). Ini petunjuk bahwa manusia akan tahu yang baik dan yang jahat dengan cara ini, lewat pengalaman. Ketiga, mereka berupaya menghindar dari tanggung jawab mereka atas tindakan mereka. Ini indikasi bahwa akibat ketidaktaatan maka timbul perubahan nyata dalam diri manusia secara internal (Kej. 3:10, 12-13). Kini, dosa adalah bagian dari diri manusia. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak hanya dihukum secara eksternal, tetapi juga secara internal.
Rasul Paulus menulis, sebelum anugerah itu diberikan yang terjadi antara lain: pengertiannya gelap (Ef. 4:18); pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini (2 Kor. 4:4); dan bertindak tanpa pengetahuan, yaitu di luar iman (1 Tim. 1:13). Di sini kita dapat melihat akibat dari dosa berefek besar terhadap nalar dan pikiran yang terlepas dari iluminasi sehingga manusia tidak dapat memahami sifat sejati dari realitas atau pengetahuan. Kehendak kita juga terpengaruh efek dosa. Keinginan kita menjadi jahat (Kej. 3:1; 1 Pet. 4:3; 2 Pet. 2:10, 18), niat kita diarahkan menuju kepada kejahatan (Kej. 6:5; 8:21). Singkatnya, setelah kejatuhan image of God menjadi rusak meski ia tidak hilang (lenyap). Efek dari kerusakan ini sangat mendalam. Tidak hanya berpengaruh terhadap kehidupan spiritual seseorang, tapi juga bagi setiap institusi yang tersentuh dalam kehidupan mereka, seperti: institusi keluarga, gereja, politik, ekonomi dan bahkan menyentuh institusi-institusi yang justru diperlukan untuk mengendalikan keberdosaan manusia.
 
I.2
Cara Pandang Bapa-Bapa Reformasi (Augustinian).
 
 
Ada tiga pandangan berkaitan dengan gambar Allah (image of God). Pertama, pandangan Gereja Katolik Roma mengatakan bahwa gambar Allah telah hilang setelah kejatuhan dalam dosa. Dan pada saat yang sama original righteousness juga hilang meski manusia masih mempunyai sisi natural. Kedua, kalangan Lutheran mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan aspek natural, yaitu gambar Allah ada dalam original righteousness dan waktu manusia jatuh dalam dosa, original righteousness ini hilang. Ketiga, kalangan Reformed mengatakan bahwa gambar Allah adalah seluruh aspek dari diri manusia (soul, body, in all human faculties, powers, and gifts). Ketika manusia jatuh dalam dosa, gambar Allah tidak hilang, tetapi rusak total. Akibat dari kejatuhan historis Adam dan Hawa itu, natur kita menjadi apa yang bisa kita gambarkan sebagai “beracun” dan “rusak sejak dikandung.” Di dalam teologi Reformed konsep ini dimengerti sebagai [doktrin] kebobrokan (depravitas) total.6Williamson, G. I., Katekismus Heidelberg, Momentum, 2017, 17.
Menurut Agustinus, manusia setelah Kejatuhan, meskipun masih dalam gambar Allah, tapi “tidak dapat tidak berbuat dosa.” Agustinus adalah theolog paling berpengaruh di Barat sampai pada abad Pertengahan. Bapa-bapa reformasi kemudian menghidupkan kembali antropologinya. Misalnya, Martin Luther dan John Calvin sama-sama mengajarkan bahwa manusia pada awalnya diciptakan menurut gambar Allah, namun gambar itu telah rusak parah oleh dosa. Calvin, misalnya, mengutip Roma 3, menulis bahwa Paulus mengajukan beberapa kerusakan yang tidak sesuai dengan natur kita saat diciptakan. Kerusakan total membuat natur manusia digerakkan atau didorong hanya untuk kejahatan. Dosa menembus setiap aspek kehidupan manusia sampai tingkat tertentu. Sekali lagi implikasinya sangat mendalam.
Gagasan ini dibawa dalam perjalanan waktu hingga tradisi Reformed terkini, misalnya di Kanon Sinode Dort (1618) dan Pengakuan Iman Westminster yang terkenal (1647) dan berbagai aliran Baptis. Orang-orang Puritan Inggris dan Amerika tentu setuju dengan bapa-bapa reformasi mengenai natur dari orang berdosa. Hal ini dipegang oleh kebanyakan gereja Injili saat ini. Bagi Agustinus, manusia diciptakan menurut gambar Allah, namun Kejatuhan telah mempengaruhi segala hal tentang manusia, baik kapasitas spiritual maupun alamiahnya, sehingga manusia tidak dapat memenuhi keinginan atau alasan sebagaimana mestinya.
 
II.
Aplikasi dalam kehidupan.
 
 
Manusia sebagai being, memiliki natur tertentu yang diciptakan oleh Tuhan. Pertama dalam diri Adam dan Hawa yang kemudian terdistorsi pada saat kejatuhan, meskipun tidak hancur. Gambar Allah di dalam diri manusia melibatkan beberapa karakteristik bawaan (tapi tentu saja, telah rusak) yang membuat kita dalam beberapa hal “serupa dan segambar dengan Allah.” Allah menciptakan kita sebagai manusia rasional, kreatif, ramah (sociable), bebas, dan berpotensi memiliki sebuah hubungan dengan Dia. Unsur-unsur ini penting untuk kita pahami secara luas di saat kita mempertimbangkan panggilan kita untuk melayani Tuhan dengan baik dan sebagai pelayan-pelayan terhadap sesama dan alam ciptaan-Nya. Pertimbangan ini termasuk tentang konteks tipe kelembagaan yang paling cocok bagi manusia yang tumbuh berkembang di dunia ini.
Ketika kita mempelajari natur manusia dari perspektif Kristen bukan bertujuan memenuhi rasa penasaran kita belaka. Fondasi-fondasi Alkitabiah yang kita peroleh memiliki aplikasi yang sangat signifikan di hampir setiap bidang kehidupan dan pemikiran, mulai dari etika pribadi, keluarga, politik, ekonomi, dan lainnya. Cara kita memikirkan natur manusia mempengaruhi bagaimana kita mempertimbangkan semua area etika tersebut dan bagaimana kita memberi nasihat tentang bagaimana berbagai aspek tindakan manusia dalam politik, ekonomi, dan lain-lain harus diatur.
[ Gogona]
 
Pin It
 
Notes
 
 
1
Berkhof, Louis, Systematic Theology, Grand Rapids, Michigan, 2011, 223.
 
2
Bavinck, Herman, Reformed Dogmatics (Abridged in One Volume), Baker Academic; Grand Rapids, Michigan, 2011, 319.
 
3
Bavinck, Herman, 319.
 
4
Bakker, F. L., Sejarah Kerajaan Allah 1, BPK Gunung Mulia, 2015, 17.
 
5
Bakker, F. L., 29.
 
6
Williamson, G. I., Katekismus Heidelberg, Momentum, 2017, 17.
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan