Kristus, Terang yang Sesungguhnya:
Univokal, Ekuivokal atau Analogi?
Univokal, Ekuivokal atau Analogi?
_oOo_
Pendahuluan
Adalah jamak halnya pada masa kini berbagai kata dan bahasa yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan pengalaman manusia akan Allah di dalam ibadah-ibadah Kristen, sedemikian bebasnya. Kita sering mendengar penyebutan orang kedua terhadap Allah sebagai “elu,” bahasa pergaulan sehari-hari kota Jakarta, menggantikan “Engkau”. Artikel ini mengajak kita merenungkan bagaimana kita, sebagai orang Kristen, seharusnya mengkomunikasikan dengan benar apa yang kita alami dan pahami tentang Allah.
Bahasa manusia menurut Thomas Aquinas (1225-1274)
Thomas Aquinas, seorang teolog Katolik abad pertengahan, mengajukan gagasannya mengenai bahasa. Menurutnya kata yang kita pergunakan, apabila menunjuk pada sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan, dapat dipergunakan secara ekuivokal dan univokal di dalam berbagai kalimat-kalimat kita. Kata ‘bisa’ di dalam kalimat “Kita bisa pergi nanti malam” adalah ekuivokal dengan kata ’bisa’ di dalam kalimat ”Ular mempunyai bisa yang mematikan”. Demikian pula kata ’manusia’ di dalam kalimat “Semua manusia telah berdosa” adalah univokal dengan kata ’manusia’ di dalam kalimat “Plato adalah manusia biasa”. Akan tetapi bahasa yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari ini tidak secara begitu saja dapat kita pergunakan dalam percakapan-percakapan religius. Tidak heran apabila filsuf-filsuf agnostik, yang berpandangan bahwa kebenaran religius merupakan hal yang tidak mungkin diketahui dan diverifikasi kebenarannya, umumnya mengeluhkan bahwa mereka tidak dapat menafsirkan proposisi-proposisi keagamaan sebagaimana mereka pahami di dalam bahasa sehari-hari sehingga mereka memandang ungkapan-ungkapan agama hanya sebagai ‘sesuatu yang tidak bermakna’ atau ‘khayalan-khayalan tersembunyi’.
Oleh karena itu Aquinas memikirkan mengenai sejauh mana bahasa manusia dapat diterapkan dalam membicarakan tentang Allah. Aquinas berpandangan bahwa pada saat kita berbicara tentang Allah, katakanlah di dalam studi teologia, sesungguhnya kita sedang menggunakan bahasa dengan cara agak khusus atau dengan kata lain kata-kata kita selalu:
-
Tidak mempunyai arti univokal atau ‘kesatuan suara’ (univocal).
-
Tidak mempunyai arti ekuivokal atau ‘kesamaan suara’ (equivocal).
Maksud Aquinas adalah bahwa penggunaan suatu kata di dalam bahasa agama, baik secara univokal maupun ekuivokal, akan selalu menghasilkan proposisi yang tidak sah mengenai keberadaan Allah. Oleh karena itu di dalam bukunya Summa Theologiae ia mengembangkan gagasannya mengenai “analogi suatu keberadaan” (analogy of being) yang didasarkan oleh keyakinannya mengenai sejauh mana bahasa manusia dapat diterapkan pada saat kita berbicara tentang Allah dan atribut-atributnya.
Thomas Aquinas mengenai bahasa religius: univokal atau ekuivokal?
Untuk memahami teori Aquinas tentang bahasa religius ini mari kita bahas kalimat “Berlindunglah kepada Allah, karena Dialah batu karang perlindungan kita.” Perhatikan dua hal di bawah ini:
-
Apabila kalimat tersebut diartikan secara ‘univokal’
-
Apabila kalimat tersebut dapat diartikan secara ‘ekuivokal’
Apabila demikian halnya, bagaimana jalan keluarnya?
Jalan keluar yang diberikan Aquinas
Dari situ, sebagai jalan keluarnya Aquinas berpendapat bahwa pernyataan yang sah tentang Allah adalah pernyataan yang bersifat analogis. Dengan kata lain waktu kita menyebut Allah sebagai ’batu karang perlindungan kita’ itu berarti bahwa:
-
Dia tidak sepenuhnya sama atau menyerupai apa adanya sebuah batu karang. Allah adalah Tuhan pencipta dan oleh karena itu Dia tentu saja tidak sama dengan apa yang diciptakan-Nya.
-
Dia tidak sepenuhnya berbeda dengan apa yang terbaik dari suatu batu karang, yaitu kekuatannya dan ketegarannya menghadapi hantaman ombak yang keras sehingga Dia dapat menjadi tempat perlindungan yang aman bagi kita. Tetap ada hal-hal baik yang mirip antara Allah dengan sebuah batu karang.
Perhatikan juga apa yang dikatakan oleh Peter J. Leithart:
Analogy is the alternative to ‘univocal’ and ‘equivocal’ language. A word is used ‘univocally’ when it means exactly the same thing in several different contexts, and ’equivocally’ when it means different things in different contexts. / Analogi merupakan alternatif bagi bahasa ‘univokal’ dan ‘ekuivokal’. Suatu kata dipergunakan secara ‘univokal’ apabila ia berarti tepat sama dalam beberapa konteks yang berbeda, dan secara ‘ekuivokal’ apabila ia berarti beberapa hal yang berbeda dalam berbagai konteks.
(Peter J. Leithart, Medieval Theology and the Roots of Modernityhttp://ironink.org/index.php?blog=1&title=Analogical_Univocal_Equivocal;_Creator_- creature_distinction ) |
Persoalannya di sini sekarang adalah apakah sebagai orang Kristen kita cukup sampai pada apa yang dikatakan oleh Aquinas mengenai klaimnya bahwa bahasa agama merupakan bahasa analogi?
Posisi filsafat Kristen
Colin Brown mengatakan demikian:
… kita tidak dapat mengikuti cara-cara di mana Aquinas memperkembangkan dan mempertahankan pengajarannya. Sekadar mengklaim bahwa bahasa agama merupakan bahasa analogis tidaklah cukup. Haruslah diperlihatkan bahwa ada hubungan yang erat antara bahasa dengan obyeknya. (Colin Brown, “Filsafat dan Iman Kristen 1,” Tyndale Press, 1968, edisi terjemahan Lembaga Reformed Injili Indonesia tahun 1994, hal. 37-38.)
|
Harus kita sadari bahwa kita tidak dapat melihat Allah secara langsung sebagaimana Dia adanya sehingga pada saat kita berbicara tentang diri-Nya, sebagai obyek pembicaraan kita, kita tidak dapat mengkomunikasikan segala sesuatu tentang Dia di luar dari bahasa yang kita sepakati yang olehnya kita dapat menguji ketepatan kata-kata yang kita gunakan. Di sinilah menurut Brown sifat analogis yang Aquinas maksudkan itu tidak cukup untuk memahami bahasa agama.
Oleh karena itu sebagai intelektual Kristen kita harus memperhatikan apa yang Alkitab juga ajarkan, yaitu adanya kenyataan bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya melalui berbagai perkataan, tindakan, dan peristiiwa. Pada saat penulis Alkitab mengatakan bahwa ’Yesus adalah Anak Domba Allah,’ misalnya, penulis Alkitab melakukannya di dalam tulisan-tulisan mereka berdasarkan pengalaman mereka sendiri. Yesus bukan domba dalam arti hurufiah. Akan tetapi penulis Alkitab juga menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana penghapusan dan pengampunan dosa itu nyata pada saat Yesus Kristus sungguh-sungguh telah dikorbankan bagaikan seekor anak domba.
Namun demikian pertemuan kita dengan teks-teks Alkitab itu belumlah merupakan puncak dari kekayaan kita sebagai orang percaya. Para penulis Alkitab percaya bahwa apa yang mereka proklamirkan memberikan terang serta arti bagi pengalaman manusia. Berita yang mereka sampaikan merupakan media di mana manusia bertemu dengan Allah. Mereka yang menerimanya harus mengalami sendiri kebenaran-kebenaran teks Alkitab itu secara pribadi.
Berita Natal melampaui suatu analogi
Mari kita lihat salah satu proklamasi Yohanes mengenai telah datangnya Kristus ke dalam dunia untuk menguji pikiran Alkitab mengenai kebenaran: “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia” (Yohanes 1:9). Perhatikan dua hal penting berikut ini:
-
Pada satu sisi proklamasi ini jelas tidak bersifat hurufiah. Dengan kata lain di sini Yohanes pasti mempergunakan kata ’terang’ sebagai suatu analogi. Yesus tentu saja tidak identik sama halnya dengan terang cahaya. Akan tetapi harus disadari bahwa antara Yesus dengan terang terdapat kesamaan atau kemiripan tertentu; Yesus sungguh-sungguh merupakan terang sorga yang telah datang di tengah dunia berdosa yang gelap ini.
-
Pada sisi lain kebenaran proklamasi Yohanes ini dapat dibuktikan sepenuhnya hanya melalui pengalaman yang dinikmati orang percaya di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka yang menerima Yesus Kristus harus menghidupi hidup di dalam “terang” Yesus itu.
Dengan demikian memahami bahasa agama sejauh analogi saja adalah tidak cukup, karena jika demikian maka kebenaran yang dianalogikan itu selalu tidak akan berkorelasi dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Brown menegaskan:
Semua ini telah membawa kita agak jauh dari pemaparan asli dari Aquinas mengenai analogi. Namun pokok pembahasannya yang sangat utama sangat mendasar. Pada waktu kita berbicara tentang Allah, kita tidak sedang mengatakan arti harafiah. Bahasa kita hanyalah bersifat kiasan (figuratif) dan persamaan (analogis). (Colin Brown, “Filsafat dan Iman Kristen 1,” Tyndale Press, 1968, edisi terjemahan Lembaga Reformed Injili Indonesia tahun 1994, hal. 39.)
|
Jadi, menurut Brown, kita harus memahami bahwa Allah memasuki dunia kita di mana Dia melampaui dunia ini. Jadi kita hanya dapat mengkomunikasikan apa yang kita alami tentang Allah Pencipta itu sejauh glosari yang kita miliki sebagai makhluk ciptaan. Pengalaman Kristen menyaksikan fakta bahwa Allah menyatakan diri-Nya sendiri melalui cara yang dapat dipahami manusia. Sekalipun kebenaran ilahi yang kita alami itu terbiaskan dan terungkapkan melalui berbagai istilah dan gambaran, namun kebenaran ilahi itu tetap dapat terkomunikasikan dengan menggunakan berbagai istilah dan gambaran yang berarti yang kita pergunakan di dalam dunia kita. Jadi dalam perspektif Kristen bahasa agama seharusnya:
-
Melampaui suatu analogi.
-
Didasarkan atas apa yang dialami dan disaksikan oleh penulis-penulis Alkitab.
-
Didasarkan atas apa yang kita, selaku orang percaya, alami tentang Allah itu sendiri.
Kesimpulan
Dengan demikian kehidupan orang percaya di dalam iman dan pengharapan di tengah realita dunia berdosa ini seharusnya merupakan bentuk pengkomunikasikan kepada dunia atas apa yang mereka alami akan Kristus.
-
Pada satu sisi Kristus tidak sama dengan ‘terang’ sebagaimana ‘terang’ cahaya dalam arti hurufiah.
-
Pada sisi lain ‘terang’ juga mempunyai kesamaan dengan Kristus; apabila tidak maka pernyataan kita bahwa ‘Kristus adalah terang dunia’ hanya merupakan pernyataan yang ‘mempunyai makna pada tingkat agama’ tetapi ‘tidak bermakna pada tingkat manusia’.
-
Itu berarti benar, sebagaimana dimaksud oleh Aquinas, bahwa dalam hal ini ‘terang’ harus dimaknai sebagai analogi yang menjelaskan kepada kita mengenai siapa Kristus.
-
Akan tetapi kita tidak boleh berhenti sejauh analogi. ‘Terang’ itu sendiri harus dipahami secara melampaui suatu analogi. Kita harus mengalami, menjalani dan menikmati sendiri tidak mudahnya hidup di dalam ‘terang’ yang adalah Kristus itu sendiri. Banyak penderitaan dan pergumulan harus kita lewati, namun kesemuanya itu kita nikmati.
Untuk dapat mengkomunikasikan apa yang kita alami akan Kristus itu kita memerlukan wadah di mana setiap kita dapat saling menguatkan, mendoakan dan menghibur di dalam visi yang sama. Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satu wadah itu. Mari kita gunakan waktu kita yang tersisa ini sebaik-baiknya bagi kemuliaan Tuhan.
Selamat Natal 2017 dan Selamat Tahun Baru 2018.
[ Jessy Victor
]
