Menjalankan Misi Kultural Kristen di Tengah Dunia
_oOo_
Pereduksian Makna Misi Kristen
Apa yang terlintas dibenak kita ketika kita mendengar kata misi Kristen? Mungkin mayoritas kita akan berpikir misi Kristen dikaitkan dengan pelayanan misi penginjilan yang dikerjakan oleh para misionaris ataupun lembaga-lembaga misi yang berjuang memberitakan Injil ke daerah-daerah terpencil. Bahkan Commision on World Mission and Evangelism, sebagaimana yang dikatakan John Stott dalam bukunya Murid Radikal yang Mengubah Dunia, dalam konstitusi organisasinya menyamakan istilah “misi” dan “penginjilan”. Mereka hanya mendefinisikan tujuannya yaitu untuk memperluas pekabaran Injil Yesus Kristus di seluruh dunia. Dengan pemahaman ini, misi Kristen dipahami sebatas sebuah aktivitas pekabaran Injil dan dianggap sebagai sesuatu yang “rohani”. Lalu, bagaimana dengan keterlibatan kita di dunia publik, khususnya di dunia pekerjaan (market place) yang mana hampir separuh waktu kita tercurah di sana. Dari 24 jam dalam sehari waktu kita, hampir setengahnya kita habiskan dalam pekerjaan kita. Apakah aktivitas tersebut berada di luar jangkauan misi Kristen?
Menurut saya, pengidentikkan misi Kristen dengan penginjilan mau tidak mau telah mereduksi makna dari misi Allah itu sendiri. Mengapa pemahaman ini bisa berkembang? Salah satu penyebab utamanya adalah kebanyakan orang Kristen memegang konsep “dualisme” yang berusaha memisahkan kehidupan ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah sekuler dan wilayah rohani (sacred). Wilayah rohani dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan aktivitas gerejawi, seperti penginjilan pribadi, pendalaman Alkitab, pelayanan gerejawi, dan lain sebagainya. Sedangkan wilayah duniawi, dipahami aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan aktivitas gerejawi. Dunia pekerjaan, bisnis, pendidikan, politik, atau aktivitas di ruang publik dianggap sebagai sesuatu yang sekuler. Oleh karenanya, aktivitas tersebut dianggap tidak terlalu penting dan tidak memiliki nilai kekekalan. Kita beranggapan bahwa Allah hanya tertarik dan peduli terhadap keterlibatan kita di dunia “rohani,” tapi tidak untuk dunia publik. Itu sebab, misi Kristen hanya menjangkau wilayah rohani, tapi tidak untuk wilayah sekuler. Pendikotomian seperti ini merupakan sebuah kekeliruaan besar dan telah merusak esensi dari misi Kristen. Kejadian pasal 1 dengan jelas segala sesuatu yang Allah ciptakan baik adanya. Dan Allah menempatkan Adam dan Hawa di taman itu untuk menjalankan misi Allah dengan memelihara dan mengusahakannya sebagai wujud respon ketaatan kepada Allah dan wujud dari ibadah kepada Allah. Oleh karena itu, pemisahan sakral dan rohani seharusnya tidak relevan lagi.
Misi Kristen di dalam Misi Allah yang Besar.
Di tengah gencarnya upaya pereduksian makna dari misi Kristen tersebut, kita perlu memikirkan apa yang dikatakan Alkitab mengenai hal itu. Di dalam memahami keutuhan misi Kristen tersebut, kita perlu meletakkannya pada metanarasi dari misi Allah seluas kosmos ini dan mencakup seluruh ciptaan. Christopher JH Wright memikirkan bagaimana memahami relasi antara misi Allah dan dan misi Kristen baik itu yang dimengerti sebagai penginjilan maupun di dalam partisipasi kita di ruang publik.
Di dalam bukunya, The Mission of God’s People, Wright menelusurinya ke dalam kisah Alkitab, yang terdiri dari empat bagian utama, yakni: Penciptaan, Kejatuhan ke dalam dosa, Penebusan di dalam Sejarah, dan Ciptaan Baru. Kisahnya adalah Allah menciptakan dunia (alam semesta) ini dengan amat baik (Kej. 1). Dunia ciptaan Allah yang baik ini telah dirusak oleh dosa dan pemberontakan manusia melawan sang Pencipta (Kej. 3). Dosa telah merusak seluruh aspek ciptaan Allah. Dosa telah merusak relasi antara manusia dengan Allah, relasi manusia dengan manusia (sesamanya), dan relasi manusia dengan alam ciptaan Allah. Akan tetapi, Allah tidak meninggalkan dan menghancurkan ciptaan-Nya. Ia tetap berkomitmen untuk menebus dan memulihkan seluruh aspek ciptaan yang sudah rusak itu melalui karya Kristus di kayu salib dan membawanya kepada penggenapannya di dalam pemulihan dan pembaharuan secara sempurna kelak di dalam ciptaan yang baru. Melalui rangkaian kisah ini, kita boleh mengerti bahwa misi Allah bersifat kosmis. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Allah menebus tidak hanya menjangkau keselamatan personal manusia, tetapi Allah juga menebus dan memulihkan seluruh aspek ciptaan-Nya.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana misi Allah ini dapat tergenapi di dalam sejarah? melalui misi Allah yang dikerjakan umat tebusan-Nya di tengah dunia ini. Inilah misi Kristen secara luas bagaimana kita sebagai orang Kristen, umat Allah, boleh berbagian dan berpartisipasi sebagai partner Allah untuk menjalankan misi Allah demi memulihkan ciptaan. Billy Graham pernah mengatakan satu kalimat sebagaimana dikutip oleh Richard Stearn di dalam buku Unfinished, “Allah meninggalkan kita disini karena Ia punya misi yang harus kita laksanakan. Kita tidak berada di sini secara kebetulan; kita juga tidak berada di sini sekadar untuk menikmati segala perkara baik yang ditawarkan oleh hidup. Kita ada disini karena Allah menempatkan kita di sini, dan Ia punya tujuan ilahi untuk menjaga kita tetap di sini”.
Untuk itu kita dipanggil tidak hanya menjalankan mandat penginjilan, tapi kita juga dipanggil untuk menjalankan tugas panggilan kultural Kristen di tengah dunia in (cultural mandate). Dengan pemahaman ini kita bisa melihat bahwa cakupan misi Kristen tidak sebatas pada masalah penebusan Allah bagi kita secara personal dalam hal ini tentang keselamatan pribadi (personal salvation), tapi bagaimana penebusan Allah menjangkau pemulihan seluruh aspek ciptaan. Cakupan misi Allah dan misi Kristen adalah seluas kosmos ini.
Dasar Alkitab tentang Misi Kristen.
Di dalam memahami mandat kultural Kristen secara utuh, kita perlu menelusuri kisah Alkitab di Kejadian 1 dan 2. Kedua pasal ini akan menjawab dua pertanyaan fundamental tentang bagaimana relasi kita dengan dunia ini, yaitu: siapakah kita? (who are we?) dan mengapa kita ada di sini? (why are we here?). Kejadian 1:26-28 mencatat, Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dari kedua ayat ini kita melihat ada dua hal penting yang saling berkaitan yang Alkitab nyatakan: (1) Allah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya, dan (2) Allah memberikan mandat kepada kita untuk menaklukkan dan berkuasa atas seluruh ciptaan.
Terkait dengan hal ini Wright berpendapat, “Berkuasa bukanlah apa yang membuat kita disebut gambar dan rupa Allah, namun sebaliknya diciptakan dalam gambar dan rupa Allah memungkinkan dan memberi hak kepada kita melaksanakan kekuasaan. Kita manusia memiliki suatu misi di bumi karena Allah memiliki suatu maksud menaruh kita di sana.” Kata “taklukkanlah” dan “berkuasalah” menggambarkan suatu tugas dan tanggung jawab yang secara spesifik ditujukan kepada kita sebagai penyandang gambar dan rupa Allah untuk memerintah dan menjalankan kekuasaan atas ciptaan yang lain. Allah sebagai Pencipta sekaligus Raja atas seluruh ciptaan mendelegasikan otoritas-Nya kepada kita sebagai raja atas seluruh ciptaan.
Kejadian 2:15 mencatat, “Kemudian Tuhan Allah menempatkan manusia itu di taman Eden untuk mengerjakan dan memelihara taman itu.” Kata “mengerjakan” dalam bahasa aslinya digunakan kata “abad” yang artinya melayani. Sedangkan kata “memelihara” digunakan kata “samar” yang artinya menjaga supaya aman. Kedua kata ini ingin menggambarkan tujuan Allah menempatkan kita di bumi ini adalah untuk melayani dan memelihara seluruh ciptaan Allah. Dengan demikian, misi yang Allah berikan kepada kita di dunia ini adalah menguasai dan melayani seluruh ciptaan. Inilah yang disebut tugas kultural Kristen atau mandat budaya (Cultural Mandate.)
Menjalankan Misi Kultural Kristen di Tengah Dunia.
Alkitab dengan tegas menyebutkan bahwa Allah adalah pencipta dunia ini dan Ia menempatkan kita di tengah dunia ini untuk menjadi wakil-Nya sebagai penguasa dan pelayan ciptaan. Kehadiran kita di tengah dunia ini bukan tanpa tujuan. Allah ingin kita berbagian di dalam rencana besar-Nya untuk memulihkan seluruh aspek ciptaan. Oleh karenanya, Allah sangat peduli dengan kehidupan dunia publik, dunia keseharian kita (our everydayness), karena di sanalah ladang misi yang Allah tetapkan bagi kita. Dan ladang misi kita yang paling dekat dan paling banyak mendominasi waktu produktif di dalam kehidupan kita adalah dunia pekerjaan kita.
Konsep dari mandat kultural sangat terkait dengan ide tentang kerja. Kerja merupakan bagian dari aspek ciptaan Allah. Alkitab menegaskan bahwa bekerja adalah ide Allah, karena ketika Allah mencipta dan menopang seluruh ciptaan adalah bukti Allah yang bekerja. Namun, terkadang kita memiliki persepsi yang keliru dalam memahami ide tentang kerja. Kerja dianggap sebagai akibat kutukan dosa. Pemahaman ini sama sekali tidak benar, karena ide tentang kerja justru muncul di Alkitab sebelum adanya fakta kejatuhan di Kejadian 3. Memang benar bahwa fakta kejatuhan telah mengkontaminasi ide tentang kerja. Kerja yang awalnya Tuhan ciptakan bagi kita, manusia, sebagai sebuah enjoyment karena kita boleh berbagian di dalam melayani Allah, namun akibat dosa kerja menjadi sebuah beban (burden) yang berat untuk dipikul. Meski demikian, hal ini tidak dapat dijadikan alasan pembenaran untuk melepaskan diri dari dunia pekerjaan kita, karena kerja itu sendiri merupakan esensi dari natur kita sebagai manusia. Bekerja adalah kehormatan (dignity) kita sebagai manusia. Allah ingin kita menjadi pekerja-pekerja-Nya, sama seperti Allah yang terus bekerja. Dengan demikian panggilan kita semakin jelas, bahwa Allah memanggil kita masuk ke dunia pekerjaan (marketplace) menjadi wakil-Nya untuk menebus (me-redeem) dunia pekerjaan bagi kemuliaan-Nya. Inilah yang menjadi bagian tugas kultural kita di tengah dunia. Lalu bagaimana kita bisa menebus (redeem) dunia pekerjaan kita? Berikut beberapa hal yang perlu kita pikirkan dan gumulkan:
-
Kita harus memahami kerja sebagai sebuah bentuk panggilan ibadah yang utama. Salah satu alasan lumpuhnya peran mandat budaya Kristen saat ini adalah terjadinya pengkotakkan di dalam memahami konsep panggilan ibadah. Seringkali kita mengkotakkan atau mendikotomikan antara panggilan ibadah dalam bentuk aktivitas kerohanian atau aktivitas yang berhubungan dengan kesalehan pribadi sebagai bentuk panggilan ibadah yang primer dan paling Allah inginkan. Sementara itu, aktivitas–aktivitas pengembangan kultural, baik itu di bidang politik, seni, ekonomi, budaya, dan sejenisnya merupakan bentuk panggilan ibadah yang sekunder karena tidak berhubungan dengan aspek kesalehan pribadi. Demikian halnya dengan dunia pekerjaan, dianggap sebagai bentuk panggilan ibadah sekunder yang tidak terlalu penting. Ini adalah pemahaman yang keliru. Alkitab dengan jelas memaparkan bahwa dunia pekerjaan adalah ladang misi yang Allah berikan bagi kita. Itu sebabnya, dunia pekerjaan di mata Allah bernilai sama dengan aktivitas-aktivitas rohani lainnya.
-
Kita harus memahami bahwa buah dari pekerjaan kita bernilai kekal. Visi Allah dalam kaitannya dengan penebusan yang dikerjakan oleh Kristus di kayu salib tidak berhenti pada penebusan bagi umat pilihan-Nya, tapi meliputi penebusan kosmis seluruh tatanan ciptaan. Penebusan kosmis ini tidak ada hubungannya dengan penghancuran kosmos di mana Allah akan menghancurkan tatanan ciptaan yang telah ciptakan-Nya sebelumnya. Sangatlah tidak masuk akal apabila Allah yang mencipta, tapi pada akhirnya Ia hancurkan. Yang Allah lakukan bukan menghancurkan tapi memulihkan, merestorasi seluruh tatanan ciptaan yang sudah jatuh dan terkontaminasi efek dosa ini kembali ke natur aslinya sebelum kejatuhan di dalam ciptaan yang baru kelak. Itu sebabnya, buah dari pekerjaan kita di dunia ini tidak mungkin Allah hancurkan. Itu semua akan di bawa ke kota Allah di dalam surga dan bumi yang baru kelak. Mari kita perhatikan apa yang kembali ditulis Christopher J. H Wright, “Dan visi akhir dari seluruh Alkitab bukanlah pelarian diri kita dari dunia kepada suatu surga di luar dunia ini, tetapi akan Allah yang akan turun ke dunia untuk hidup bersama kita sekali lagi dalam ciptaan yang telah dibasuh dan dipulihkan, di mana semua buah peradaban manusia akan dibawa ke dalam kota Allah (Why. 21:24-27, yang dibangun di atas Yesaya 60). Dengan demikian yang akan dibawa ke dalam kota Allah yang mulia dalam ciptaan baru adalah hasil terakumulasi yang luas dari pekerjaan manusia di sepanjang masa. Semua ini akan dibasuh, ditebus, dan diletakkan di kaki Kristus, untuk peningkatan kehidupan kekal dalam ciptaan baru.” Inilah yang seharusnya menjadi penghiburan sekaligus kekuatan bagi kita untuk tetap berjuang di tengah dunia publik, di dunia pekerjaan kita untuk menjadi orang Kristen yang bermisi bagi kemuliaan Allah. Amin.
[ Nikson Sinaga
]
