Reformasi, Gerakan Reformed dan Relevansinya Pada Masa Kini
_oOo_
PENGANTAR
Mendengar kata ”reformasi” tentunya bukan satu kata yang asing di telinga kita. Tentu masih segar diingatan kita, 12 tahun yang lalu tepatnya tahun 1998, kata ini pernah menjadi begitu populer terdengar di telinga kita. Pada waktu itu terjadi satu peristiwa besar dialami oleh bangsa kita, yaitu runtuhnya rezim orde baru yang berkuasa secara otoriter selama hampir 32 tahun. Peristiwa ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah bangsa kita. Suatu titik berakhirnya era yang lama (baca: orde baru), sekaligus dimulainya era yang baru, yang dikenal dengan sebutan era reformasi.
Jika kita menelusuri sejarah kekristenan, reformasi pernah muncul khususnya di dalam sejarah gereja, namun di dalam konteks yang berbeda. Pada waktu itu terjadi peristiwa penempelan 95 tesis iman Kristen oleh Martin Luther di pintu gerbang gereja Wittenberg, Jerman, tepatnya pada 31 Oktober 1517. Peristiwa ini menjadi salah satu tonggak perubahan besar bagi gereja dan sejarah Kekristenan. Pengaruh reformasi tidak hanya dirasakan pada waktu itu saja, namun juga mempengaruhi hingga pada masa kini. Pada artikel edisi Natal 2010 ini, penulis akan membahas mengenai topik reformasi ini dengan judul: Reformasi, Gerakan Reformed, dan Relevansinya pada Masa Kini.
Sejarah Gerakan Reformasi
Gerakan Reformasi pertama kali meletus pada abad ke-16 di Jerman oleh seorang anak petani sederhana bernama Martin Luther. Ia lahir pada tanggal 10 November 1483 di Eisleben, Thuringen, Jerman dari pasangan Hans Luther dan Margaretta. Luther lahir sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara. Luther dibesarkan dalam keluarga yang mewariskan kehidupan devosional sebagaimana yang lazim dipraktikkan oleh gereja saat itu.
Luther menempuh pendidikan dasarnya di kota Mansfeld, kota di mana ayahnya terpilih sebagai dewan anggota kota. Sementara itu untuk pendidikan menengah ditempuhnya di Magdeburg, di sebuah sekolah yang diasuh oleh ”saudara-saudara yang hidup rukun” (Broederschap des gemenenlevens). Kemudian ia masuk ke universitas Erfurt, sebuah universitas terbaik di Jerman pada masa itu. Di sana, ia belajar filsafat terutama filsafat Nominalis Occam dan theologi skolastika, serta untuk pertama kalinya belajar Alkitab Perjanjian Lama yang secara kebetulan ditemukannya di perpustakaan sekolah itu.
Sisi kehidupan Luther diwarnai peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, seperti kematian orang-orang terdekatnya. Hal ini membuatnya semakin serius menggumuli iman kepercayaannya. Di tengah pergumulan imannya itu, muncul beberapa pertanyaan serius yang mengganggu pikirannya, seperti: apa yang akan terjadi setelah kematian? bagaimana relevansi dosa di dalam kehidupan kita? Atau bagaimana cara kita menjadi orang benar sehingga layak menerima anugerah-Nya?
Di tengah dinamika pergumulan itu, satu peristiwa yang terjadi telah membelokkan jalan kehidupannya. Pada suatu kali di tengah perjalanan pulang dari Mansfeld menuju Erfurt, tiba-tiba hujan turun dengan lebat disertai badai yang hebat. Kilat dan halilintar menyambar begitu dekat dengannya sehingga ia terlempar ke tanah. Sambil berjuang untuk bangkit, ia berdoa sambil berteriak dengan ketakutan, “Santa Anna yang baik, tolonglah aku! Aku mau menjadi biarawan”. Ia berdoa kepada Santa Anna yang dikenalnya sebagai orang kudus dan dipercaya sebagai pelindung dari bahaya kilat. Ia merasa apa yang menimpanya itu seolah-olah murka Allah sedang ditimpakan kepadanya. Pengalaman itu sangat membekas di hatinya. Setelah kejadian itu, hati Luther tergerak untuk hidup benar dan menjaga kesucian hidup agar murka Allah tidak lagi menimpanya. Lalu ia memutuskan untuk masuk biara dan menjadi seorang biarawan di Serikat Eremit Agustinus di Erfurt. Di sana, ia bertemu dengan ajaran Agustinus, seorang bapa gereja yang besar. Ajaran Agustinus sangat mempengaruhi kehidupannya. Selama di biara, ia berusaha mendisiplinkan dirinya dengan ketat untuk memenuhi seluruh peraturan-peraturan biara melebihi biarawan lainnya. Ia banyak berpuasa, berdoa dengan tekun, membaca Alkitab dengan rajin dan teliti sehingga terlihat paling saleh di antara biarawan lainnya. Semua yang diperbuatnya itu semata-mata bertujuan agar ia memperoleh kepastian keselamatan.
Pergumulan Luther terus berlangsung dan tak kunjung usai. Pikirannya terus dibebani oleh pemahaman keliru tentang Allah. Ia membayangkan Allah sebagai sosok seorang hakim yang akan menghakimi orang yang tidak benar, dan melepaskan orang yang benar. Ia merasa dirinya tidak akan mampu menjadi orang benar itu, sehingga ia membayangkan pada suatu waktu Allah pasti akan menghakiminya.
Di tengah pergumulannya itu, Luther mendapat kesempatan belajar theologia di Wittenberg sambil mengajar filsafat moral. Di sana, ia ditempatkan di biara Agustinus Wittenberg. Setahun kemudian ia kembali ke Erfurt untuk mengajar dogmatika. Di biara Erfurt, Luther diberikan kepercayaan dari pemimpin biara di Jerman untuk pergi ke kota Roma sebagai utusan untuk membahas peraturan-peraturan serikatnya. Kota Roma pada waktu itu merupakan suatu tempat ziarah yang dianggap suci untuk seseorang yang ingin menyucikan diri. Setelah beberapa kali kunjungannya ke sana, ia melihat satu hal yang begitu kontras dengan kesucian tempat itu. Ia menyaksikan kebobrokan moral dan kemunafikan dari para pemimpin-pemimpin gereja di sana yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Kitab Suci yang mereka percayai. Peristiwa ini sangat mendukakan dan mengecewakan hatinya. Ungkapan kekecewaannya dinyatakan dalam kalimat, “Jika seandainya ada neraka, berarti Roma telah dibangun di dalam neraka.”
Sekembalinya dari Roma, Luther pindah ke biara Wittenberg. Namun, berkat kepandaian dan kemampuannya berkhotbah, ia mendapat kepercayaan untuk mengajar di Universitas Wittenberg. Di sana, ia mengajar mata kuliah tafsiran kitab Mazmur, surat Galatia dan Roma, serta kitab Ibrani. Seiring berjalannya waktu, Luther menemukan satu ayat dari perkataan Rasul Paulus di dalam Roma 1:16-17 yang berkata, ”Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.” Melalui ayat ini, ia memperoleh satu pengertian baru tentang kebenaran Allah. Menurutnya, kebenaran Allah merupakan anugerah Allah yang menerima orang-orang berdosa dan berputus asa sama seperti dirinya dan menolak orang-orang yang menganggap dirinya sudah benar. Kebenaran Allah adalah penerimaan Allah terhadap orang berdosa, bukan berdasarkan kebenaran orang itu, melainkan kebenaran Kristus yang dikenakan kepadanya, sehingga Tuhan Allah kini memandangnya sebagai orang benar. Pengertian baru ini menjadi jawaban atas seluruh pergumulan imannya. Luther berkata, “Aku mulai sadar bahwa kebenaran Allah tidak lain daripada pemberian yang dianugerahkan Allah kepada manusia untuk memberi hidup kekal kepadanya; dan pemberian kebenaran itu harus disambut dengan iman. Injillah yang menyatakan kebenaran Allah itu, yakni kebenaran yang diterima oleh manusia, bukan kebenaran yang harus dikerjakan sendiri. Dengan demikian, Tuhan yang rahmani itu membenarkan kita oleh rahmat dan iman saja. Aku seakan-akan diperanakkan kembali dan pintu firdaus terbuka bagiku. Pandanganku terhadap seluruh Alkitab berubah sama sekali karena mataku sudah celik sekarang.”
Namun demikian, titik balik (turning point) kehidupan Luther ini sesungguhnya bukan pemicu utama letusan gerakan Reformasi. Gerakan ini muncul tatkala kekecewaan hati Luther sudah memuncak ketika menyaksikan para pemimpin gereja Katolik Roma membangun sebuah gedung gereja terbesar di dunia di kota Vatikan. Gereja yang kemudian dinamai Basilea Santo Petrus ini berdiri dengan dilengkapi satu kubah megah dan agung karya seorang tokoh High-Renaissance besar Italia, Michaelangelo. Di tengah proses berjalannya pembangunan gereja ini, mereka mengalami kekurangan dana yang cukup besar. Oleh karenanya, untuk menutupi kekurangan dana tersebut mereka mulai memperjualbelikan surat pengampunan dosa kepada jemaat yang dikenal dengan nama surat indulgensia (penghapusan siksa).1 Indulgensia adalah surat yang dibeli dengan sejumlah uang, membebaskan seseorang dari kewajiban melakukan suatu perbuatan melalui sakramen pertobatan. Gereja Katolik Roma mengeluarkan indulgensia sebagai pengampunan dosa. Praktek ini bermula pada waktu perang salib, ketika orang-orang kaya membeli indulgensia daripada ikut berperang ke Tanah Suci atau ikut menyokong dana, secara otomatis menerima janji-janji bahwa ia tidak akan dihukum atas dosa-dosanya dalam api penyucian (purgatory). W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1, diedit oleh W. Andrew Hoffecker, Surabaya: Momentum, 2006. hal. 131. Seseorang yang memiliki surat indulgensia, apabila ia telah mengaku dosanya di hadapan imam, maka ia tidak dituntut lagi untuk membuktikan penyesalannya dengan sungguh-sungguh. Ironisnya, pihak gereja berusaha menyadarkan jemaatnya akan betapa besarnya dosa-dosa mereka, bukan bertujuan agar mereka bertobat, tetapi supaya mereka mau membeli surat pengampunan dosa lebih banyak lagi untuk menutupi kekurangan dana yang ada. Menyaksikan hal itu, Luther tidak tinggal diam. Ia menentang keras praktek jual beli surat indulgensia itu karena sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab yang selama ini dipelajarinya. Tak lama kemudian, ia mengundang para intelektual di Jerman untuk mengadakan perdebatan theologis membahas permasalahan ini. Setelah berakhirnya perdebatan theologis itu, Luther merumuskan pokok-pokok pikirannya menjadi 95 tesis iman Kristen. Sebagai bentuk perlawanannya atas penyelewengan doktrin oleh Katolik Roma pada waktu itu, maka tepat pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesisnya itu di pintu gerbang gereja Wittenberg, Jerman. Tanggal itu kemudian diperingati sebagai hari reformasi.
Ide-Ide Pokok Perjuangan Reformasi
Gerakan reformasi yang diletuskan oleh Luther terjadi berkat kepekaan dan ketajaman pemikirannya di dalam melihat esensi persoalan yang menyebabkan kerusakan gereja pada waktu itu. Ia menyadari sepenuhnya bahwa sumber utama dari kerusakan gereja ini bukan terletak pada aspek manusia, sistem, ataupun organisasi gereja itu sendiri, melainkan pada aspek doktrin yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Maksudnya, gereja telah sedemikian rupa menyeleweng dari kebenaran Alkitab. Oleh karenanya, cara untuk memperbaiki kerusakan itu bukan sekadar memperbaiki moral anggota atau pemimpin gereja itu, tetapi harus memperbaiki doktrin-doktrin mereka yang salah. Jika hal ini tidak dilakukan, maka gereja akan terus tenggelam di dalam ketidakbenaran dan kesesatan. Luther melihat doktrin harus menempati posisi sangat penting dalam kehidupan gereja. Ia percaya bahwa doktrin yang benar akan berpengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan gereja. Untuk itu, ia berseru kepada gereja untuk mau kembali kepada Alkitab sebagai satu-satunya kebenaran sejati yang absolut. Meninggalkan doktrin yang salah dan kembali kepada doktrin yang benar. Berikut adalah beberapa ide pokok utama perjuangan dalam gerakan reformasi.
Pertama. Sola Gratia (hanya oleh anugerah). Reformasi melihat betapa pentingnya anugerah Allah. Anugerah adalah suatu pemberian Allah kepada manusia berdosa yang sesungguhnya tidak layak untuk menerimanya. Anugerah tidak pernah bersandar pada perbuatan baik, kebajikan, atau jasa manusia, melainkan semata-mata pemberian Allah kepada manusia berdasarkan kerelaan kehendak-Nya. A.W. Tozer berkata, “Anugerah adalah sesuatu di dalam Allah yang membawa seseorang, yang seharusnya tidak layak menerima kemurahan ke dalam kemurahan.”2A. W. Tozer, The Attributes of God. Diterjemahkan oleh Ruth Kristianti dengan judul: Atrribut-Atribut Allah. Batam: Gospel Press, 2001. h.130.
Jika ditelusuri lebih jauh ke dalam sejarah gereja, kita akan menemukan salah seorang tokoh Bapa Gereja yang begitu gigih memperjuangkan dan mempertahankan konsep anugerah Allah. Tokoh itu bernama Agustinus dari Hippo. Oleh karena perjuangan kerasnya atas doktrin ini, maka ia dijuluki “doktor anugerah” (doctor gratiae). Konsep sola gratia muncul diawali oleh sebuah perdebatan theologis yang begitu sengit antara Agustinus dan Pelagius. Perdebatan ini terjadi akibat dari ucapan doa Agustinus yang berbunyi, “Berikanlah apa yang Engkau perintahkan, dan perintahkankah apa yang Engkau kehendaki.” Bagi Agustinus, doa ini adalah cetusan dari kejujuran hatinya yang memandang diri sebagai orang berdosa dan tak berdaya di hadapan Allah. Ia hanya ingin mengatakan jika Allah mengharapkan sesuatu daripadanya, maka Dia harus memberikan apa yang diharapkan-Nya. Pelagius cukup terusik dengan isi doa ini. Ia menolak apabila Allah harus menganugerahkan kemampuan untuk melakukan apa yang Dia perintahkan. Menurutnya, adalah tidak adil jika Allah memerintahkan sesuatu yang menuntut adanya anugerah untuk melaksanakannya. Menurutnya, manusia dengan kekuatannya sendiri sanggup melaksanakan setiap perintah yang Allah berikan kepadanya. Tidaklah konsekuen jika Allah memberikan perintah yang manusia tidak sanggup untuk melakukannya. Di sini, Pelagius sangat menekankan kebebasan kehendak manusia. Menurutnya, manusia di dalam kehendak bebasnya mampu memilih mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia bisa memilih apakah mau berbuat dosa atau mau hidup suci, semua tergantung dari kehendak manusia itu sendiri.
Jika ditarik ke dalam konteks keselamatan, pandangan Pelagius yang menyatakan bahwa manusia masih memiliki kehendak bebas untuk memilih mengakibatkan keselamatan bergantung pada pilihan manusia. Pelagius sendiri sesungguhnya tidak pernah menyangkali adanya anugerah, namun ia menganggap anugerah tidak diperlukan untuk mencapai keselamatan. Anugerah hanya memudahkan dalam pencapaian kebenaran, namun kebenaran dapat dicapai tanpa anugerah. Pandangan ini tentu saja ditolak oleh Agustinus. Ia berpendapat, oleh karena umat manusia, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman adalah ”kumpulan dosa” yang sedang menantikan kematian, maka ia tidak mampu mengangkat dirinya sendiri untuk mencapai kebaikan; kerena manusia telah memberontak terhadap Allah, maka ia tidak dapat kembali kepada-Nya. Di dalam kondisi mati di dalam dosa ini, manusia kehilangan kebebasan sejatinya (true freedom). Oleh karenanya, kebebasan yang dimiliki oleh manusia sekarang adalah kebebasan untuk tidak bisa tidak berbuat dosa. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih tidak berdosa. Manusia hanya berpotensi untuk terus berbuat dosa. Kecenderungan hatinya adalah terus berbuat dosa. Oleh karenanya, manusia tidak mungkin dapat memilih Allah agar ia bisa diselamatkan. Manusia hanya mungkin diselamatkan melalui pengorbanan Kristus di kayu salib. Melalui kematian-Nya, manusia berdosa dihidupkan kembali secara rohani, sehingga ia mampu berespon kepada Allah.
Konsep anugerah dari Agustinus ini kemudian diteruskan oleh Luther. Ia melihat anugerah Allah selalu identik dengan pengampunan dosa. Pengampunan bagi orang berdosa merupakan anugerah Allah semata. Dengan standpoint ini, Luther dengan keras menentang praktek jual beli surat indulgensia yang dijalankan oleh para pemimpin gereja Katolik pada waktu itu, yang dianggapnya sama dengan praktek jual beli anugerah. Inti permasalahan indulgensia sesungguhnya terletak pada masalah kecukupan jasa Kristus untuk mengampuni dan menyelamatkan manusia berdosa. Menurut Roma Katolik, jasa Kristus tidaklah cukup untuk menyelamatkan manusia, namun harus ditambah dengan doa dan kebajikan Maria, serta orang-orang kudus. Dengan kata lain, orang-orang kudus memiliki jasa atau kontribusi untuk menyelamatkan orang lain. Selain itu, penghapusan dosa yang digenapi oleh Kristus harus ditambah lagi dengan penghapusan dosa di purgatori, paling tidak untuk menghapus kesalahan sementara. Luther menentang keras pandangan ini. Menurut Luther, karya penebusan Kristus sesungguhnya cukup untuk menyelamatkan manusia di dalam dua pengertian, baik negatif maupun positif. Di sisi negatif, penebusan Kristus telah memuaskan tuntutan keadilan Allah yang bersifat menghukum terkait dengan cacat cela kita di hadapan-Nya. Di sisi positif, ketaatan aktif Kristus yang sempurna menggenapi semua kebenaran, menghasilkan semua jasa yang dibutuhkan untuk menyelamatkan orang yang percaya. Dengan kata lain, pengampunan dosa hanya berdasar pada kecukupan jasa Kristus tanpa perlu ditambah dengan persyaratan-persyaratan lainnya. Dalam Efesus 2:8-9 dikatakan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Ayat ini menyimpulkan satu hal penting, bahwa keselamatan semata-mata merupakan anugerah pemberian Allah yang diterima melalui iman kepada Kristus.
Kedua, Sola Fide (hanya oleh iman). Reformasi memberikan penekanan pada iman, khususnya mengenai pembenaran melalui iman (justification by faith). Luther melihat doktrin pembenaran melalui iman sebagai isu sentral dan fundamental dalam iman Kristen. Menurutnya, doktrin ini merupakan landasan dan alasan berdirinya gereja, yang tanpanya gereja akan ambruk. Ajaran tentang pembenaran ini adalah tuan dan raja, penguasa dan hakim atas segala doktrin yang lain; ajaran itu menjaga dan mengendalikan semua doktrin gereja serta membangkitkan hati nurani kita di hadapan Allah. Tanpa ajaran ini, dunia akan mati sama sekali dan diliputi kegelapan. Jikalau bagian ajaran tentang pembenaran ini hilang, maka semua doktrin Kristen akan hilang pada saat yang bersamaan.3RC Sproul, Faith Alone. Diterjemahkan oleh Andree Khoo dan Rahmiati Tanudjaja dengan judul: Hanya Melalui Iman. Penerbit Mitra Pustaka, 2004. h. 90.
Luther ketika merumuskan doktrin ini tidak terlepas dari pergumulan imannya pada waktu ia masih berada di biara. Ia pernah mengalami kegelisahan hati mendalam tatkala memikirkan bagaimana nasib kekalnya nanti, apakah ia diselamatkan atau tidak. Luther mengungkapkan bagaimana ia dengan segenap kekuatannya melakukan sesuatu agar bisa diselamatkan. Sebagai seorang biarawan, ia mempraktekkan disiplin rohani dengan amat ketat bahkan melebihi biarawan-biarawan lainnya. Ia berdoa, membaca Alkitab, dan berpuasa dengan sangat tekun. Ia mengatakan, “Saya sendiri adalah seorang biarawan selama dua puluh tahun dan begitu berjerih lelah dalam doa, puasa, tidak tidur, dan kedinginan sehingga saya hampir mati karena kedinginan...Apa lagi yang harus saya cari melalui ini kecuali Allah yang melihat bagaimana saya menaati peraturan-peraturan dan menjalani suatu kehidupan yang begitu kaku?” Ia menganggap dirinya bisa diselamatkan oleh karena kebiarawannya dan apa yang telah dilakukannya itu.4W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1…, hal. 130. Namun, akhirnya ia menyadari bahwa ternyata apa yang dilakukannya itu tidaklah cukup untuk membawanya kepada keselamatan. Berikut petikan ungkapan hati Luther mengenai pergumulannya itu, “Aku adalah seorang biarawan yang baik dan menjalankan semua peraturan dengan sangat ketat sehingga aku dapat mengatakan bahwa kalau pernah ada seorang biarawan yang dapat mencapai sorga melalui disiplin biara, akulah biarawan itu. Semua rekanku di dalam biara akan menegaskan hal ini...Dan suara hatiku masih belum memberikan kepadaku kepastian, tetapi aku selalu meragukan dan berkata, “Engkau tidak melakukan itu dengan benar. Engkau tidak cukup menyesali kesalahanmu. Engkau meninggalkan itu di luar pangkuanmu.” Semakin keras aku mencoba untuk memperbaiki suatu kesadaran yang tidak pasti, lemah, dan penuh kesukaran dengan tradisi manusia, aku menemukan setiap hari hal itu menjadi semakin tidak menentu, semakin lemah dan semakin penuh kesukaran.”5Alister E. McGrath, Reformation Thought: An introduction. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie dengan judul : Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, h. 120. Ungkapan ini memperlihatkan bagaimana Luther tengah mengalami kebuntuan iman dan keputusasaan.
Pada suatu kali, ketika Luther mempelajari surat Roma, ia menemukan satu ayat yang kelak menjadi jawaban atas seluruh pergumulannya, yaitu Roma 1:17. Ayat itu tertulis demikian: “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”” Melalui ayat ini, Luther memahami maksud “kebenaran Allah dinyatakan di dalamnya” adalah kebenaran yang olehnya Allah adalah benar dan menghukum orang-orang berdosa yang tidak benar. Meski ia merasa sudah hidup dalam kesucian sebagai seorang biarawan, namun ia tetap merasakan kegelisahan tatkala mengingat kembali dosa-dosanya di hadapan Allah. Ia menyadari dirinya hanyalah orang berdosa yang jauh dari kebenaran Allah, sehingga ia merasa layak untuk dihukum. Paradigma Luther atas konsep kebenaran Allah masih tertuju pada satu sisi, yaitu kebenaran yang menghukum.6Ibid., hal. 122. Melalui perenungan pribadinya terhadap Alkitab, Ia menemukan satu relasi antara konsep kebenaran Allah yang ia pahami sebelumnya dengan ungkapan “orang benar akan hidup oleh iman”. Menurutnya, “kebenaran Allah” merupakan penyataan bahwa orang benar itu hidup oleh pemberian Allah (iman), dan kalimat “kebenaran Allah dinyatakan” merujuk pada kebenaran pasif, yang melaluinya Allah yang maha pemurah membenarkan kita oleh iman, seperti ada tertulis, “orang benar hidup oleh iman.”7Ibid., hal. 122. Melalui pemahaman baru ini, paradigmanya mengenai konsep kebenaran Allah diubahkan, dari Allah yang menghukum menjadi Allah yang berkemurahan. Ia mengungkapkannya demikian, “Siang dan malam saya merenungkan sampai saya dapat melihat hubungan antara keadilan Allah dan pernyataan bahwa “orang benar akan hidup oleh iman.” Kemudian saya menangkap bahwa keadilan Allah adalah kebenaran, yang dengannya, melalui anugerah dan rahmat, Allah membenarkan kita melalui iman. Di sana saya merasa diri saya dilahirkan kembali dan mengalami pintu firdaus terbuka. Keseluruhan Alkitab memberi makna baru, dan sementara sebelumnya “keadilan Allah” telah memenuhi diri saya dengan kebencian, kini menjadi begitu manis tak terkatakan dalam kasih yang lebih besar. Nas Paulus ini bagi saya menjadi satu pintu gerbang ke sorga...”8W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1…, h. 130. Perubahan paradigma ini menjadi penting, yang mana melaluinya Luther semakin sadar bahwa kualifikasi seseorang agar ia dapat dibenarkan bukan terletak pada perbuatan manusia berdosa, melainkan pada imannya kepada Kristus, imannya terhadap jasa-jasa Kristus. Bagi Luther, iman bukan hanya sekadar pengakuan intelektual terhadap doktrin yang dipaksakan, ataupun semacam pengertian ajaran yang hanya bersifat rasional, melainkan sebuah penerimaan-atas-penerimaan (The acceptance of to acceptance). Artinya, kita menerima sesuatu fakta bahwa Allah telah menerima kita yang tidak patut kita terima, yaitu pembenaran di dalam Kristus.9Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed Cetakan ke-4. Jakarta: Momentum, 1999. h. 18. Konsep pembenaran ini terus dipertahankan oleh Luther dan para Reformator setelahnya.
Namun demikian, konsep ini kerap menjadi bahan perdebatan dan pertentangan antara para Reformator dan para pimpinan Roma Katolik pada waktu itu. Pertentangan ini terfokus pada instrumen atau sarana dari pembenaran itu. Menurut pandangan Roma, seseorang dapat menerima pembenaran Allah melalui instrumen sakramen, yaitu sakramen baptisan dan sakramen pengakuan dosa. Sakramen baptisan merupakan penyebab instrumental yang utama dari pembenaran, dalam pengertian bahwa sakramen adalah penyebab utama dan pertama dari pembenaran. Namun, oleh karena pembenaran melalui sakramen baptisan dianggap bisa hilang, bisa disebabkan karena ketidaksetiaan atau perbuatan dosa yang mematikan, maka perlu ada sakramen pemulihan, yaitu sakramen pengakuan dosa. Luther menentang keras konsep ini. Bagi Luther dan bagi para reformator lainnya, iman merupakan sarana yang olehnya pembenaran disediakan. Mereka melihat kebenaran atau jasa-jasa Kristus adalah satu-satunya dasar dari pembenaran dan kebenaran Kristus yang dikenakan pada orang percaya melalui iman. Jadi, iman adalah sarana atau penyebab instrumental yang olehnya orang percaya dihubungkan dengan Kristus dan kebenaran-Nya secara forensik.10RC Sproul, Faith Alone…, h. 168. Anthony Hoekema di dalam bukunya Saved by Grace, menyatakan bahwa pembenaran adalah suatu tindakan anugerah dan yudisial Allah yang dengannya Dia menyatakan orang-orang berdosa yang percaya sebagai benar berdasarkan kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada mereka, mengampuni semua dosa mereka, mengadopsi mereka sebagai anak-anak-Nya, dan memberikan kehidupan kekal kepada mereka. Dan pembenaran diterima hanya oleh iman, dan bukan merupakan pahala bagi perbuatan kita (Rom. 3:28).11Anthony A.Hoekema, Saved By Grace. Diterjemahkan oleh Irwan Tjulianto dengan judul: Diselamatkan Oleh Anugerah. Jakarta: Momentum, 2001. h. 240-241.
Ketiga, Sola Scriptura (hanya oleh Kitab Suci). Reformasi adalah satu gerakan yang hendak membalikkan kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah.12Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed…, h. 10. Sebagai Firman Allah yang diilhamkan, Alkitab harus dijadikan satu-satunya dasar otoritatif bagi semua doktrin Kristen. Sikap para Reformator yang sangat meninggikan Alkitab sebagai Firman Allah berdampak pada suatu bentuk peninjauan kembali terhadap doktrin-doktrin Kekristenan. Doktrin yang tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab dibongkar dan dikembalikan kepada Alkitab. Luther dengan berani membongkar penyelewengan doktrin pengampunan dosa yang dilakukan oleh pemimpin gereja Katolik Roma pada waktu itu. Ia menentang keras praktek jual beli surat indulgensia yang sangat bertentangan dengan Alkitab. Mengapa? Pertama, Jika seseorang mendapatkan pengampunan dosa ditentukan oleh sebuah surat pengampunan yang dikeluarkan oleh pemimpin gereja yang nota bene juga manusia berdosa, bukan ditentukan oleh pekerjaan Kristus yang diterima dengan iman, maka itu sama artinya dengan mengatakan bahwa otoritas manusia melebihi otoritas Tuhan sendiri. Kedua, Jika seseorang ingin mendapatkan pengampunan dosa yang mengharuskannya membeli surat pengampunan itu, pertanyaannya sekarang bagaimana dengan nasib orang miskin yang tidak memiliki cukup uang untuk membelinya? Apakah mereka tidak berhak untuk menikmati pengampunan dosa? Alkitab dengan tegas menolaknya. Dalam Efesus 1:7 dikatakan, “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya.” Artinya, pengampunan dosa semata-mata merupakan pekerjaan Allah melalui penebusan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Di sini, Luther melihat telah terjadi penyelewengan pengajaran Alkitab begitu dashyat. Itu sebab, dalam tesisnya pada poin ke-32 dan 36, Luther mengkritik penyelewengan doktrin ini. Dalam tesis poin ke-32 dikatakan, “Jikalau ada orang percaya setelah memperoleh dokumen pengampunan dosa, maka keselamatannya sudah ada pegangan. Sudah dipastikan, dia harus dijatuhi hukuman beserta orang yang mengejar demikian.” Sedangkan dalam tesis ke-36 dikatakan, “Setiap orang Kristen meskipun tidak memiliki dokumen pengampunan dosa tetapi dengan sungguh-sunggguh bertobat maka dia berhak mendapat pengampunan atas seluruh dosa dan kesengsaraannya.”13Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed..., h. 13.
Selain melakukan peninjauan doktrin-doktrin yang tidak benar, Luther juga membuat satu pembaharuan penting mengenai hak menafsirkan Alkitab. Luther menentang keras apabila otoritas dalam menafsirkan Alkitab hanya diperuntukkan bagi paus. Menurut Luther, setiap orang Kristen memiliki hak yang sama untuk membaca dan menafsirkan Alkitab. Mereka benar-benar mampu membaca Alkitab dan membuat pengertian yang sempurna tentang apa yang mereka temukan di dalam halaman-halaman Alkitab oleh karena Roh Kudus akan menerangi hati mereka untuk mampu mengerti kebenaran. Luther berkata, “Klaim mereka bahwa hanya pauslah yang boleh menafsirkan Kitab Suci adalah suatu kebohongan khayalan yang tidak pada tempatnya...Para pengikut Roma harus mengakui bahwa ada di antara kita orang-orang Kristen yang baik, yang memiliki iman, roh, dan pengertian, firman dan pikiran yang benar tentang Kristus. Bila demikian, mengapa kita harus menolak firman dan pengertian dari orang-orang Kristen yang baik itu dan mengikuti paus, yang tidak memiliki iman maupun Roh itu?”14Alister E. McGrath, Reformation Thought: An introduction…, h. 197 Hal yang mendasari klaim Luther ini adalah pemahaman-nya mengenai konsep keimamatan orang percaya (priesthood of believers). Maksudnya, setiap orang percaya tidak memerlukan lagi kelas imam untuk menjadi pengantara dirinya di hadapan Allah. Setiap orang percaya adalah imam bagi dirinya sendiri, dan mereka bisa berhubungan langsung dengan Allah melalui Kristus. Setiap orang Kristen yang sudah memiliki fungsi keimamatan tidak lagi memerlukan pengantara untuk menafsirkan Alkitab. Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran sanggup memimpin mereka kepada kebenaran. Melalui ini semua, kita bisa melihat bagaimana Luther dan para reformator lainnya sangat meninggikan Alkitab (Kitab Suci) sebagai Firman Allah.
Gerakan Reformed dan Relevansinya Bagi Masa Kini
Di dalam memahami gerakan Reformasi, ada 2 aspek penting yang perlu diperhatikan, yaitu: aspek merobohkan dan aspek membangun kembali. Merobohkan yang salah dan membangun kembali yang benar. Untuk tugas merobohkan yang salah, Tuhan membangkitkan Martin Luther, sedangkan untuk membangun kembali yang benar, Tuhan membangkitkan John Calvin. Jika Luther dianggap sebagai prajurit yang meluncurkan tembakan pembukaan Reformasi, maka Calvin sebagai pakar utama yang mengkonsolidasikan hasil-hasil kemajuan Protestan. Luther yang membongkar penyelewengan-penyelewengan doktrin, maka Calvin yang membangun pokok-pokok doktrin yang benar. Apa yang Luther dan Calvin kerjakan bukanlah suatu perkara yang mudah, oleh karena yang mereka hadapi adalah otoritas Roma dengan sistem ajaran yang sudah berakar selama ribuan tahun yang lalu. Tentunya perlu suatu keberanian dan keteguhan hati untuk menghadapinya. Namun, di dalam anugerah dan kedaulatan-Nya, Allah yang telah memanggil mereka adalah Allah yang menyertai mereka dan memberikan kekuatan untuk mengerjakannya. Luther dan Calvin merupakan salah satu pemberian terbesar Allah bagi gereja dan Kekristenan.
Esensi dari gerakan Reformasi yang diarsiteki oleh Luther dan Calvin sesungguhnya adalah semangat untuk kembali kepada Alkitab. Para Reformator meletuskan gerakan ini dengan satu tujuan, yaitu untuk mengembalikan kewibawaan Alkitab sebagai Firman Allah dan menjadikannya otoritas kebenaran tertinggi dan abosolut melebihi apapun juga. Alkitab harus menjadi cermin sekaligus pelita yang menuntun kehidupan orang Kristen. Luther dan Calvin berusaha menegakkan doktrin dan kehidupan rohani Kekristenan Perjanjian Baru dalam gereja abad ke-16. Itu sebab, gerakan Reformasi pada dasarnya adalah suatu bentuk pemulihan spiritual ide-ide alkitabiah.15W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol. 1…, h. 127. Untuk itulah Calvin mensistemasikan ide-ide Alkitabiah yang bersumber dari Reformasi ini menjadi cikal bakal terbentuknya theologi Reformed dengan sebuah gerakan yang dikenal dengan gerakan Reformed.
Gerakan Reformed tidak boleh dimengerti secara sempit hanya suatu denominasi tertentu, namun harus dimengerti sebagai suatu semangat atau spirit pembaharuan gereja dan Kekristenan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab (Back To The Bible). Gerakan ini begitu relevan dan penting di tengah kondisi gereja pada masa kini yang terlihat semakin mengabaikan theologi dan doktrin. Padahal kita sungguh menyadari bahwa theologi dan doktrin begitu penting bagi kehidupan gereja. Tanpa theologi yang benar, gereja akan kehilangan landasan dan arah bagi keberadaannya; tanpa doktrin yang benar gereja tidak lagi memiliki kebenaran yang menyediakan sarana pertumbuhan yang sejati.16David G.Wells, No Place for Truth. Diterjemahkan oleh Peter Suwandi Wong dengan judul: Tiada Tempat bagi Kebenaran. Jakarta: Momentum, 2004. hal. prakata Penerbit. Saat ini, theologi sedang dikesampingkan di tempat di mana seharusnya ia menjadi pusat, yaitu di dalam gereja itu sendiri. Tempat theologi di dalam gereja kini sedang dicoba untuk dilokalisir menjadi sesempit mungkin dan diasingkan sejauh mungkin dari kehidupan orang-orang percaya pada umumnya. Tak heran banyak orang Kristen yang begitu asing dengan theologi.17Ibid…, Prakata Penerbit. Bagi sebagian orang, theologi dianggap sesuatu yang hanya diperuntukkan bagi para hamba Tuhan atau para pendeta. Orang awam tidak diharuskan untuk mengerti theologi. Realita ini mendapat perhatian serius dari David F.Wells, seorang teolog dari Gordon Conwell Seminary. Di dalam bukunya No Place for Truth, dengan jujur ia mengatakan bahwa theologi telah lenyap dari gereja. Menurutnya, lenyapnya theologi terlihat jelas khususnya dalam dunia Injili, yaitu dalam kebaktian yang hampa, di mana fokus iman bergeser dari Allah kepada diri, yang diikuti oleh khotbah yang berorientasi psikologis, keyakinan yang tergerogoti, pragmatisme yang merajalela, ketidakmampuan untuk memikirkan budaya secara jernih, dan kegemaran akan hal-hal irasional. Semua ini sekali lagi menunjukkan bahwa gereja telah kehilangan kapasitasnya terhadap kebenaran.18Ibid…, h. 112.
Pada sebuah Milis Publikasi e-Reformed edisi 095/I/2008 muncul satu artikel berjudul ”Bagi Joel Osteen, Theologi Bukan Suatu Keharusan” yang merupakan ringkasan dari artikel yang ditulis oleh Paul Edward berjudul ”For Joel Osteen, Theology is Optional.” Dalam artikel tersebut diceritakan mengenai sebuah tayangan TV berdurasi 12 menit di program CBN “60 Minutes” yang berjudul ” Joel Osteen answers His Critics”. Dalam tayangan itu, Osteen mengakui bahwa pelayanannya lebih kepada menunjukkan bukan mengajarkan sesuatu yang bersifat substantif. Ia menyatakan bahwa ia segan untuk berdoktrin dan bertheologi. Ia tidak bertalenta menjadi pengajar Firman Tuhan dan lebih memilih untuk memberi inspirasi dan motivasi daripada memenuhi mandat biblika yang diberikan kepada pendeta untuk menegur dan mengajar, dan bahwa apa yang diajarkannya lebih dekat seperti Dr. Phil dan Oprah daripada Yesus atau Rasul Paulus.19Kutipan dari artikel berjudul: For Joel Osteen, Theology is Optional yang ditulis oleh Paul Edward yang diambil dan diedit oleh tim Milis Publikasi e-Reformed edisi 095/I/2008. Dalam sebuah wawancaranya dengan reporter CBN News, Byron Pitts, Osteen mengatakan bahwa panggilannya bukan untuk membuat orang terkesan dengan “kata-kata Yunani dan doktrin”. Namun, ia memandang panggilannya untuk membantu orang agar “memiliki pikiran yang benar pada zaman ini”.20Ibid., h. 1. Osteen juga mengukur keberhasilan pelayanannya bukan dari pertumbuhan spiritual jemaat, melainkan dari ratusan orang yang berkata kepadanya, “Anda telah mengubahkan hidupku.” Di sini, kita melihat bagaimana pelayanan dan pengajaran Osteen didasarkan atas sebuah konsep theologi sebagai sesuatu hal yang tidak harus ada (optional). Theologi dipandang sebagai suatu pelengkap (komplemen) yang tidak terlalu esensial untuk diperhatikan. Singkatnya, Osteen telah memandang rendah theologi.
Pdt. DR Stephen Tong, seorang pionir gerakan Reformed Injili di Indonesia, dalam satu khotbahnya pernah mengatakan bahwa tantangan terbesar dari gereja pada masa kini bukan berasal dari luar Kekristenan, melainkan justru dari dalam Kekristenan itu sendiri. Salah satunya adalah gerakan kharismatik. Gerakan ini bertumbuh dan berkembang dengan begitu pesat di Indonesia. Ini jelas terlihat dari terus bertambahnya jumlah ibadah gereja kharismatik khususnya di Jakarta. Biasanya mereka mengadakan ibadah di fasilitas-fasilitas umum yang ada, misalnya mal-mal, hotel-hotel, atau gedung-gedung perkantoran. Kesan yang penulis rasakan ketika dahulu pernah mengikuti ibadah di beberapa gereja kharismatik di Jakarta maupun di luar Jakarta adalah titik sentral dari ibadah ternyata bukan pada pemberitaan Firman Tuhan, melainkan pada puji-pujian. Waktu untuk khotbah jauh lebih sedikit daripada waktu untuk puji-pujian. Khotbah-khotbah yang disampaikan cenderung bersifat praktikal dan terkesan menjauhi pembahasan bersifat doktrinal. Fenomena ini ditangkap oleh Wilfred J. Samuel, seorang pendeta Lutheran, yang sangat mendalami gerakan kharismatik ini. Dalam bukunya yang berjudul Charismatic Folk Christianity, ia membuat sebuah penelitian terhadap beberapa gereja Kristen kharismatik khususnya di Asia. Dalam pengamatannya, ia menilai meski sentralitas Kitab Suci pada umumnya diakui, namun khotbah Firman Tuhan kepada orang banyak dalam ibadah kurang dipentingkan. Gereja cenderung lebih banyak mengalokasikan waktu ibadah pada segmen puji-pujian dan penyembahan dibanding dengan pembacaan dan perenungan Kitab Suci. Mereka menganggap kedua segmen itu (baca: puji-pujian dan penyembahan) benar-benar menentukan keberhasilan dan kegagalan dari setiap ibadah. Ia juga melihat satu kecenderungan gereja kharismatik untuk menghilangkan khotbah dalam setiap ibadah, dan hal ini dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan normal. Tak heran dari lima belas gereja kharismatik yang dikunjunginya, lima diantaranya telah menghilangkan segmen khotbah dan menggantinya dengan memperpanjang waktu segmen pujian dan penyembahan serta doa untuk penyembuhan/penggembalaan.21Wilfred J. Samuel, Charismatic Folk Christianity. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie dengan judul: Kristen Kharismatik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. h. 62. Di sini kita melihat sekali lagi bagaimana pemberitaan Firman Tuhan menjadi sesuatu yang bersifat optional, bisa ada atau bisa tidak ada di dalam ibadah. Jika pemberitaan Firman Tuhan sudah digeser sedemikian rupa dari ibadah Kristen, maka tak heran bagaimana pemahaman orang Kristen terhadap Firman Tuhan semakin rendah. Tak pelak, hal ini akan memunculkan penafsiran-penafsiran Alkitab yang tidak bertanggungjawab yang berimbas pada penyelewengan terhadap doktrin-doktrin Kristen. Konsekuensinya, orang Kristen tidak mungkin akan bertumbuh di dalam imannya. Ia akan yang rapuh sehingga akan lebih mudah diombang-ambingkan oleh angin pengajaran atau doktrin yang tidak benar.
Di tengah realita ini, gerakan Reformed menjadi sangat relevan pada masa kini. Gerakan Reformed dengan semangat reformasi harus menjadi tonggak pembaharuan gereja dan Kekristenan. Gereja harus menempatkan Firman Tuhan sebagai pusat pelayanannya di mana Firman yang sejatilah yang terus diberitakan. Penyelewengan doktrin yang merusak iman Kristen harus disingkirkan. Theologi yang menurut David F.Wells telah lenyap itu harus dikembalikan kepada tempat yang sesungguhnya, yaitu di dalam gereja. Singkatnya, Gereja harus kembali kepada Alkitab.
Penutup
Perayaan Natal yang kita nikmati saat ini seharusnya tidak diperingati dengan semangat selebrasi semu tanpa makna, namun hendaknya diperingati dengan semangat reformasi, semangat pembaharuan. Semangat untuk kembali kepada Alkitab (Back to The Bible). Semangat untuk kembali kepada pengajaran dan doktrin yang benar. Momen Natal ini sesungguhnya merupakan kesempatan emas bagi setiap orang Kristen, bagi gereja untuk merefleksikan hidupnya dengan semangat untuk mereformasi diri agar mampu menjadi saksi Kristus di tengah dunia yang gelap ini. Salam Perubahan & Salam Reformasi!
(Artikel ini sudah pernah diterbitkan dalam Buletin Natal Persekutuan Studi Reformed (PSR) 2010. Dalam rangka menyambut 500 Tahun Reformasi pada tahun 2017 ini, maka artikel ini kami muat ulang pada Buletin edisi Natal 2017 ini)
[ Nikson Sinaga
]

Notes
1
Indulgensia adalah surat yang dibeli dengan sejumlah uang, membebaskan seseorang dari kewajiban melakukan suatu perbuatan melalui sakramen pertobatan. Gereja Katolik Roma mengeluarkan indulgensia sebagai pengampunan dosa. Praktek ini bermula pada waktu perang salib, ketika orang-orang kaya membeli indulgensia daripada ikut berperang ke Tanah Suci atau ikut menyokong dana, secara otomatis menerima janji-janji bahwa ia tidak akan dihukum atas dosa-dosanya dalam api penyucian (purgatory). W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1, diedit oleh W. Andrew Hoffecker, Surabaya: Momentum, 2006. hal. 131.
2
A. W. Tozer, The Attributes of God. Diterjemahkan oleh Ruth Kristianti dengan judul: Atrribut-Atribut Allah. Batam: Gospel Press, 2001. h.130.
3
RC Sproul, Faith Alone. Diterjemahkan oleh Andree Khoo dan Rahmiati Tanudjaja dengan judul: Hanya Melalui Iman. Penerbit Mitra Pustaka, 2004. h. 90.
4
W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1…, hal. 130.
5
Alister E. McGrath, Reformation Thought: An introduction. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie dengan judul : Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006, h. 120.
6
Ibid., hal. 122.
7
Ibid., hal. 122.
8
W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1…, h. 130.
9
Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed Cetakan ke-4. Jakarta: Momentum, 1999. h. 18.
10
RC Sproul, Faith Alone…, h. 168.
11
Anthony A.Hoekema, Saved By Grace. Diterjemahkan oleh Irwan Tjulianto dengan judul: Diselamatkan Oleh Anugerah. Jakarta: Momentum, 2001. h. 240-241.
12
Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed…, h. 10.
13
Stephen Tong, Reformasi & Theologi Reformed..., h. 13.
14
Alister E. McGrath, Reformation Thought: An introduction…, h. 197
15
W. Andrew Hoffecker, Penemuan Kembali Akar Alkitabiah: Reformasi, dalam Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol.1…, h. 127.
16
David G.Wells, No Place for Truth. Diterjemahkan oleh Peter Suwandi Wong dengan judul: Tiada Tempat bagi Kebenaran. Jakarta: Momentum, 2004. hal. prakata Penerbit.
17
Ibid…, Prakata Penerbit
18
Ibid…, h. 112.
19
Kutipan dari artikel berjudul: For Joel Osteen, Theology is Optional yang ditulis oleh Paul Edward yang diambil dan diedit oleh tim Milis Publikasi e-Reformed edisi 095/I/2008.
20
Ibid…, h. 1.
21
Wilfred J. Samuel, Charismatic Folk Christianity. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie dengan judul: Kristen Kharismatik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. h. 62.