AKU HAUS
(Yohanes 19:28)
_oOo_
Bagaimanakah kita menaruh respek terhadap rasa haus yang Yesus alami di saat Ia di Kalvari? Terlalu sulit bagi kita menjumpai seseorang yang pernah mengalami horor kehausan seperti yang dialami Yesus. Kita pun akan kesulitan membayangkan situasi kehausan yang Yesus alami saat di Kalvari itu. Namun, sebagai sebuah nubuatan, Alkitab menjelaskan tentang rasa haus Kristus tersebut: “Seperti air aku tercurah, dan segala tulangku terlepas dari sendinya; hatiku menjadi seperti lilin, hancur luluh di dalam dadaku; kekuatanku kering seperti beling, lidahku melekat pada langit-langit mulutku; dan dalam debu maut Kau letakkan aku,” (Mzm. 22:15, 16). Di tengah penderitaan yang intens seperti inilah Yesus berseru, “Aku haus,” dan Ia diberi spons yang dicelupkan ke dalam anggur murahan, seperti cuka.
Ketika pikiran kita menerawang kepada horor kehausan yang dialami Yesus, seharusnya kita langsung menyadari bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia (the Lord’s true humanity). Dan justru terkadang kita melupakan fakta ini. Alkitab dengan tegas menyatakan keilahian Yesus, tetapi kita lebih sering menganggap-Nya sebagai Tuhan yang terlihat sebagai manusia. Kita percaya bahwa Yesus memiliki natur keduanya. Dia sungguh-sungguh Allah (very God of very God) dan sungguh-sungguh manusia (very man of very man). Dia bukan manusia yang di-Tuhankan atau Tuhan yang di-manusiakan. Dia adalah Allah-Manusia (God-Man), selama-lamanya Allah dan sekarang sampai selama-lamanya manusia. Dalam inkarnasi-Nya, Yesus mengambil kemanusiaan kita bagi-Nya. Dalam penderitaan yang dialami, Dia tetap bertahan, termasuk haus-Nya di kayu salib. Semuanya ini harus mengingatkan kita akan kemanusiaan Yesus. Dan oleh karena menyadari akan kemanusiaan Yesus itulah, maka di saat kita datang kepada Kristus di dalam doa, kita menyadari bahwa Dia mampu memahami penderitaan kita dan membantu kita. Kita boleh berpikir bahwa Dia juga memiliki kebutuhan fisik. “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” (Ibr. 4:16).
Tetapi, jangan hanya aspek kemanusiaan Kristus saja yang kita perhatikan dalam peristiwa ini. Ketika Yesus berkata, "Aku haus," sesungguhnya Dia sementara mengutarakan situasi yang paling parah dari penderitaan fisik yang dialami-Nya. Pengalaman penderitaan Yesus itu menunjuk kepada jawaban atas masalah yang sering membingungkan kita atas berbagai penderitaan dan kekurangan, yaitu agar kita bertahan. Manusia mengembangkan empat pendekatan utama untuk masalah penderitaan manusia, antara lain:
Pendekatan pertama adalah upaya untuk menyangkal bahwa kejahatan itu ada, contohnya pandangan Docetists kuno. Pandangan ini membantah soal realitas materi (the ultimate reality of matter). Menurut mereka, kejahatan dan penderitaan hanya ilusi yang layak untuk diabaikan. Di zaman sekarang ini, penganut Christian Science dan agama-agama Timur justru menganjurkan pendekatan yang sama.
Pendekatan kedua adalah pandangan Stoicism (sikap tabah) dengan filosofi stiff upper lip (bibir atas kaku). Menurut pandangan ini, kita “mengakui yang jahat, sama seperti juga kita mengakui yang baik.” Namun kita melihat pendekatan ini bersifat fatalistik. Mereka berkata, kita tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki kejahatan, oleh sebab itu satu-satunya jawaban yang masuk akal untuk meresponinya adalah dengan menekan perasaan duka dan berusaha berbuat seberani mungkin untuk menghadapi kehidupan.
Pendekatan ketiga adalah filosofi pleasure first dari hedonisme. Pandangan ini coba mendorong kita untuk mengisi kehidupan ini dengan menikmati sebanyak mungkin kesenangan untuk menutupi penderitaan yang dialami. Dan ironisnya, saat ini banyak orang justru mengikuti bentuk yang paling egois dari pendekatan ini.
Pendekatan keempat adalah pandangan Eksistensialisme. Pandangan ini mengatakan bahwa setiap kita harus membuat nilai-nilai diri kita sendiri dalam kehidupan. Perbedaan antara “yang baik” dan “yang jahat” tidak lagi memiliki makna yang terlalu kuat. Sebaliknya, setiap orang bertanggung jawab untuk menciptakan sense-nya sendiri-sendiri tentang keindahan, sukacita, dan tujuan di tengah penderitaan hidup.
Kita sudah melihat keempat pandangan di atas. Sekarang bagaimana pendekatan Alkitabiah untuk persoalanan penderitaan dan kejahatan ini? Apa yang bisa kita pelajari dari horor kehausan yang dialami Yesus di kayu salib? Tentu akan terlalu terbatas ruang tulis di sini untuk menjelaskan seluruh jawaban Alkitab tentang peristiwa ini. Namun setidaknya “kata-kata Yesus” dapat mengarahkan kita ke arah yang benar. Setidaknya ada 3 poin yang dapat kita jelaskan mengenai hal ini, antara lain:
Pertama, yang dapat kita lihat adalah fakta bahwa kejahatan adalah sesuatu yang riil atau nyata. Itu sebab, karena kejahatan lah Kristus harus menderita dan mati di kayu salib.
Kedua, kita belajar bahwa penderitaan memiliki kaitan dengan dosa. Sebelum ada kejatuhan tidak ada penderitaan, tidak ada yang disebut kebutuhan, tidak ada rasa haus atau lapar yang tidak terpuaskan, tidak ada kekurangan apapun. Meski demikian, kita harus berhati-hati agar tidak cepat membuat kesimpulan terlalu sederhana tentang hubungan sebab-akibat dari dosa dan penderitaan seseorang. Kita mengakui bahwa kita semua adalah manusia berdosa (Rom. 6:23). Itu sebabnya kita tidak akan pernah luput dari realita penderitaan. Kita bisa saja menderita akibat dari dosa yang kita lakukan, tetapi yang perlu dicatat adalah tidak semua penderitaan terjadi akibat dari dosa yang dilakukan. Contohnya adalah penderitaan Tuhan kita Yesus Kristus. Dia menderita bukan karena dosa yang dilakukan-Nya, oleh karena memang Dia adalah pribadi yang tidak berdosa. Penderitaan yang dialaminya justru karena Dia harus menanggung dosa dari tangan orang-orang berdosa. Oleh karenanya, penderitaan-Nya memiliki makna yang terbungkus dalam maksud-maksud Allah atas penebusan dosa.
Ketiga, penderitaan merupakan bagian dari lingkup penebusan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Penderitaan bukan kata akhir. Orang percaya dapat menjadikan penderitaan sebagai kesaksian untuk memuji dan memuliakan Allah. Dan melalui kesaksian itu dapat membawa orang-orang datang kepada Tuhan. Pada akhirnya, kita harus dapat melihat bahwa di dalam penderitaan Yesus terdapat karya Allah yang besar.
Apakah ada penderitaan yang lebih besar dari yang pernah dialami Tuhan Yesus? Hampir tidak ada! Di tengah-tengah penderitaan-Nya itu Dia menerimanya dan tidak melarikan diri. Rasa haus Yesus menjadi simbol dari rasa haus rohani kita. Dan kematian-Nya menjadi satu-satunya cara guna mengurangi rasa haus itu.
Anda mungkin sementara ini sedang mengalami penderitaan fisik yang hebat, sama seperti yang Yesus alami. Tetapi anda bersedia menyerahkan penderitaan anda itu kepada Tuhan, anda meminta Dia untuk membuat anda mampu bertahan dan menyebabkan anda memuji-muji Dia, maka Dia akan melakukan sesuatu bagi anda. Anda mungkin tidak melihat bagaimana, tetapi Dia akan. Dia akan menggunakan penderitaan anda untuk membawa kemuliaan bagi-Nya. Melalui penderitaan yang Allah izinkan terjadi dalam hidup anda, itu dapat menjadi kesaksian untuk membawa orang lain yang belum percaya menjadi percaya kepada Yesus.
Selamat Paskah 2017. Tuhan Memberkati.
[ Gogona Gultom
]
