ZAMAN SEKARANG & ZAMAN YANG AKAN DATANG:
MENURUT RASUL PAULUS
MENURUT RASUL PAULUS
_oOo_
Pengantar
Pada tahun 2012 Persekutuan Studi Reformed menyelenggarakan misi seminar Calvin for Medan 2012: Ciptaan, Kejatuhan dan Realita Baru, di mana salah satu sesinya bertemakan “Zaman Sekarang dan Zaman Yang Akan Datang: menurut Rasul Paulus”. Artikel ini merupakan bentuk usaha penulis sebagai salah satu pembicara di dalamnya untuk mendokumentasikan materi dari sesi yang diisinya. Penulis berharap agar artikel ini dapat menjadi berkat dan memancarkan pengharapan mulia bagi setiap orang yang membacanya di tengah-tengah semakin berat dan sulitnya situasi kehidupan modern kita pada “masa sekarang” ini.
Pendahuluan
Sepanjang sejarah pergumulan manusia tidak pernah terlepas dari ketegangan yang ia sadari akan “masa sekarang” dengan “masa yang akan datang”. Dalam era teknologi informasi ini, misalnya, kemajuan pengembangan piranti keras (hardware) dan piranti lunak (software) tidak mungkin dilepaskan dari tujuannya untuk memberikan berbagai solusi bisnis pada masa sekarang demi penciptaan dan akumulasi kemakmuran pada masa yang akan datang. Segala sesuatu yang manusia investasikan pada masa sekarang, apakah itu kerja keras maupun bentuk-bentuk pengorbanan lainnya, pasti ditujukan demi penciptaan sumber-sumber penghasilan yang akan mendatangkan kesejahteraan pada masa yang akan datang. Hal itu tidak selalu salah. Sebagai orang Kristen yang hidup di dalam komitmen akan ketuhanan Kristus atas segala sesuatu kitapun tidak lepas dari ketegangan ini; kita harus bekerja menghidupi diri kita, baik sebagai usahawan, karyawan, politisi maupun seniman, pada masa sekarang demi pekerjaan-pekerjaan Tuhan yang dapat kita lakukan pada masa mendatang. Akan tetapi ketika Alkitab mengontraskan masa “sekarang” dengan masa “yang akan datang” Alkitab mempunyai wawasan pemikiran yang jauh berlimpah berisikan pengharapan-pengharapan sorgawi kita. Dalam artikel ini kita akan membahas kontras antara “masa sekarang” dengan “masa yang akan datang” dengan menggunakan skema yang digambarkan oleh Geerhardus Vos sebagai pedoman memahami bahasan ini berdasarkan teologi rasul Paulus yang dibentuk dengan latar belakang tradisi Yudaisme dan filsafat alamiah Yunani tetapi dibentuk ulang sedemikian rupa oleh penyataan Yesus Kristus.
Konsep Perjanjian Lama tentang masa yang akan datang
Alkitab Perjanjian Lama bahasa Indonesia menggunakan setidaknya beberapa kata seperti berikut ini: “kemudian hari,” “hari-hari yang terakhir,” “dahulu kala” dan “kekal selama-lamanya” pada beberapa bagian ketika berbicara mengenai masa “yang akan datang”. Perhatikan bagaimana kata-kata tersebut digunakan.
-
Kata “kemudian hari” dalam Bilangan 24:14 dan Ulangan 4:30
-
Kata “hari-hari yang terakhir” dalam Mikha 4:1
-
Kata “dahulu kala” dalam Mikha 5:1
-
Kata “kekal selama-lamanya” dalam Keluaran 15:18
Dari sekurangnya empat contoh sebagaimana disebutkan kita melihat bahwa pada saat teks-teks Alkitab berbicara tentang masa yang akan datang Alkitab tidak memaksudkan hal itu sebagai sesuatu yang mutlak terpisah dan tidak terhubung sama sekali dengan masa kontemporernya, yaitu masa di mana perkataan itu disampaikan kepada pendengar dan pembaca pertamanya. Jadi sekalipun pada saat itu mereka, dalam hal ini pendengar kontemporer dan pembaca pertamanya, belum melihat dengan jelas kondisi-kondisi akhir sebagaimana dikatakan kepada mereka akan terjadi dan tergenapi pada masa mendatang setidaknya mereka telah mulai menganitispasinya dan hidup dalam ketegangan masa antara tersebut mulai pada waktu itu.
Konsep Perjanjian Baru mengenai masa yang akan datang
Geerhardus Vos mengatakan bahwa antitesis antara masa “sekarang” dengan “yang akan datang,” khususnya dalam Perjanjian Baru menemukan kekentalannya secara menyeluruh pada ide tentang “zaman” atau “dunia”.
More comprehensively the antithetical structure appears in the distinction between the two ages or worlds. / Secara lebih menyeluruh struktur antitesis keduanya muncul di dalam perbedaan antara dua ‘zaman’ atau ‘dunia’. (Geerhardus Vos, “The Pauline Eschatology,” Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1994, p.12)
|
Secara hurufiah kata “zaman” (Inggris: ages, world) dapat diartikan suatu kurun waktu tertentu yang diarahkan dan didorong oleh suatu semangat tertentu, atau bisa juga diartikan suatu kurun waktu tertentu yang setidaknya meliputi: masa yang mendahului munculnya suatu momen, masa di mana momen tersebut muncul, serta masa sesudahnya di mana momen tersebut memberikan dampak atau akibat. Kata “zaman modern,” misalnya, setidaknya menunjuk pada masa sesudah renaisans (renaissance) dan reformasi protestan yang memicu datangnya era modern; masa di mana mesin uap ditemukan pertama kali dan oleh karenanya terjadi revolusi industri sehingga hidup manusia termodernisasikan sedemikian rupa, serta masa di mana ilmu pengetahuan semakin berkembang tetapi hidup manusia semakin tersekularisasi. Jadi secara umum pengertian “zaman” tunduk kepada aspek waktu dalam sifat sementaranya. Akan tetapi para penulis Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, menggunakan kata “zaman” dalam tulisan-tulisan mereka dengan pengertian yang jauh melampaui pengertian umum seperti ini.
Salah satu bagian Perjanjian Baru di mana kata “zaman akhir” digunakan adalah Ibrani 1:2. “maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. ...”. Kata “zaman akhir ini” (Inggris/NIV: these last days) di sini dalam bahasa Yunaninya adalah eschaton hemeron, suatu kata yang menunjuk pada “kenantian” yang telah turun pada “kekinian” dalam mana sang penulis dan para pembaca pertamanya hidup. Kata Yunani eschaton hemeron merupakan kata yang sejajar dengan kata Ibrani acherith hajjamim dalam Perjanjian Lama. Perhatikan apa yang Geerhardus Vos katakan mengenai eschaton hemeron dalam bagian ini.
… which is so far a merely chronological construction of the history of revelation, … that these days are the present days of himself and his readers; … a fixed appurtenance to the present and closely impending future. / … yang jauh lebih dari sekadar suatu bentuk kronologis dari sejarah pewahyuan, … bahwa zaman yang dimaksudkan ini merupakan zaman di mana dirinya sendiri dan para pembacanya hidup; … suatu keadaan di mana masa depan telah masuk pada masa sekarang dan dengan demikian masa sekarang telah mengandung masa depan. (Geerhardus Vos, “The Pauline Eschatology,” Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1994, p.8)
|
Akan tetapi harus kita pahami bahwa antara penulis Alkitab Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru terdapat perbedaan mengenai kesadaran mereka akan zaman sekarang dan zaman yang akan datang, hal mana akan kita lihat kemudian.
Kontras antara dua “zaman” dalam Perjanjian Baru
Satu-satunya bagian yang ditulis oleh Paulus di mana zaman “sekarang” dengan “yang akan datang” secara jelas dikontraskan adalah Efesus pasal 1 ayat 21, “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja melainkan juga di dunia yang akan datang”. Di sini kata “dunia ini” (Inggris/NIV: the present age, the present ‘aion’) dan “dunia yang akan datang” (Inggris/NIV: the one to come, the ‘aion’ to come) menunjuk bukan hanya pada bumi ini dalam arti geografis, melainkan pada dua era atau atmosfer di mana Kristus sedang bertakhta jauh lebih tinggi mengatasi segala pemerintah, penguasa, kekuasaan, kerajaan, dan apapun juga yang ada di seluruh alam semesta ini.
Sebagaimana lazim dalam pengajaran rabi-rabi Yahudi, di sini Paulus mengontraskan dua zaman di mana kita hidup, yaitu “sekarang,” di mana kejahatan berlangsung, dan “yang akan datang,” di mana Mesias akan menggenapkan kerajaan-Nya dan menegakkan suatu masyarakat yang hidup dalam kebenaran penuh di atas bumi ini. Akan tetapi dengan kontras ini Paulus tetap tidak memaksudkan adanya keterpisahan yang mutlak dari kedua zaman itu, melainkan menegaskan bahwa oleh kedatangan dan kebangkitan Kristus kondisi-kondisi pada “dunia yang akan datang” itu sesungguhnya secara prinsip telah masuk dan dimulai pada “dunia ini,” yaitu zaman sekarang.
Perbedaan wawasan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru mengenai
kontras antara “zaman sekarang” dengan “zaman yang akan datang”
Kata “zaman” (ages, world) dalam Perjanjian Baru merupakan terjemahan dari setidaknya dua kata dalam bahasa Yunani di mana bagian-bagian tertentu menggunakan eschaton sedangkan lainnya aion. Keduanya merupakan kata yang umumnya digunakan dalam arti yang melampaui aspek waktu dan ruang. Di sini kita akan melihat terlebih dahulu perbedaan kesadaran penulis Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru akan ketegangan antara “zaman sekarang” dengan “zaman yang akan datang” berdasarkan skema yang digambarkan Geerhardus Vos dalam bukunya The Pauline Eschatology.

Dari dua skema di atas kita melihat dengan jelas bahwa perbedaan wawasan penulis Alkitab Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru terletak pada apa yang mereka sadari akan kapan sesungguhnya “zaman yang akan datang” itu tiba. Skema I menggambarkan bagaimana penulis Perjanjian Lama menyadari bahwa “zaman yang akan datang” berikut kondisi-kondisi akhirnya itu merupakan sesuatu yang pada “zaman sekarang” ini dinantikan dan diantisipasi sedemikian rupa dalam segala cerah dan suramnya. “Zaman yang akan datang” itu kelak akan dimulai pada saat Mesias datang untuk menggenapkan seluruh rencana Allah atas umat dan ciptaan-Nya; dengan kata lain suatu “kenantian” yang diantisipasi dengan penuh pengharapan pada “kekinian”. Skema II menggambarkan bagaimana penulis Perjanjian Baru melihat bahwa peristiwa kedatangan, kematian dan kebangkitan Kristus telah menginaugurasi masuknya “zaman yang akan datang” itu ke “zaman sekarang”. Dengan masuknya “zaman yang akan datang” itu ke “zaman sekarang” maka kondisi-kondisi “zaman yang akan datang” itu kini mulai terealisasikan sekalipun baru secara prinsip. Hal ini dapat kita katakan secara lain dengan suatu era di mana “kenantian” telah masuk pada “kekinian” sehingga segala cerah dan suram “zaman sekarang” ini dipahami sebagai bagian integral dari segala sesuatu yang akan kita terima pada “zaman yang akan datang”. Pada skema II ini mereka, dan juga kita, melihat bahwa bahwa zaman atau dunia yang akan datang itu secara prinsip telah masuk pada zaman sekarang. Pada waktunya, saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya kelak, zaman yang akan datang ini tiba pada titik di mana kondisi-kondisi akhirnya sepenuhnya terealisasi dalam eksistensi genapnya, hal mana Vos maksudkan dalam The Pauline Eschatology dengan istilah solid existence.
Kontras antara dua zaman, menurut rasul Paulus,
berdasarkan Roma pasal 8
Berdasarkan skema II sebagaimana digambarkan Geerhardus Vos tersebut mari kita lihat lebih jelas kontras kedua zaman dimaksud, yaitu “sekarang” dan “yang akan datang,” menurut rasul Paulus, dengan melihat secara spesifik Roma pasal 8 ayat 18 sampai 21. “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (ayat 18). “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan (ayat 19). Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya (ayat 20), tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (ayat 21).
“Zaman Sekarang” dan keadaannya
Berdasarkan bagian Roma pasal 8 tersebut mari kita lihat keadaan “zaman sekarang” sebagaimana dimaksud Paulus.
-
Ditaklukkan kepada “kesia-siaan”The words ‘because of him who subjected it’ are best taken to mean ’because of God who subjected it’ (on account of man’s fall). / Kata ‘oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya’ paling baik diartikan ‘oleh karena Allah sendirilah yang telah menaklukkannya’ (sebagai konsekuensi kejatuhan manusia ke dalam dosa). (C. E. B. Cranfield, “Romans: A Shorter Commentary,” Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1985, p.197).As we turn to the NT, we see that Jesus Christ is the one who redeems us from the vanity; the meaninglessness under which Qohelet suffered. Jesus redeemed us from Qohelet’s meaningless world by subjecting himself to it. Jesus is the son of god, but nonetheless he experienced the vanity of the world so he could free us from it. As he hung on the cross, his own father deserted him (Matt. 27:45-46). At this point, he experienced the frustration of the world under curse in a way that Qohelet could not even imagine. / Sebagaimana kita kembali ke Perjanjian Baru, kita melihat bahwa Yesus Kristuslah yang menebus kita dari kesia-siaan hidup; ketiadaan arti di bawah mana sang Pengkhotbah juga menderita. Yesus menebus kita dari alam kesia-siaan sebagaimana sang Pengkhotbah maksudkan itu dengan cara menaklukkan dirinya sendiri kepadanya. Yesus adalah anak Allah, akan tetapi ia tidak terkecuali dalam mengalami sendiri kesia-siaan dunia ini agar ia dapat membebaskan kita dari padanya. Sebagaimana ia sendiri telah digantung pada salib, bapanya sendiri meninggalkannya (Matius 27:45-46). Pada titik ini, ia sungguh-sungguh mengalami sendiri kesia-siaan dunia yang telah ada di bawah kutuk ini dalam cara yang sang Pengkhotbah sendiri tidak pernah bayangkan. (Tremper Longman, “The New International Commentary on the Old Testament: The Book of Ecclesiastes,” Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1998, p.40).
-
Di bawah perbudakan kebinasaanPhthora (decay) seems to denote not only that the universe is running down (as we would say), but the nature is also enslaved, locked into an unending cycle, so that conception, birth and growth are relentlessly following by decline, decay, death and decomposition. / Kata ‘phthora’ (binasa) tampak memaksudkan bahwa alam semesta ini bukan hanya sedang merosot (sebagaimana pasti akan kita katakan), melainkan bahwa naturnya sendiri juga telah diperbudak, terarahkan menuju suatu siklus yang tidak tertahankan di mana setiap proses pembenihan, kelahiran dan pertumbuhan yang ada di dalamnya dengan tanpa belas kasih pasti akan selalu berujung pada kemerosotan, kebinasaan, kematian dan pembusukan. (John Stott, “Romans: God’s Good News for the World,” Downers Grove: InterVarsity Press, 1994, p.239).…, Paul was probably thinking specifically of death, which comes to all living things, rather than the scientific principles I mentioned, ... / …, Paulus bisa saja sedang berpikir secara spesifik mengenai kematian yang pasti dialami oleh semua makhluk hidup, ketimbang sebagaimana dipahami dalam prinsip-prinsip ilmiah yang saya (dalam hal ini J. M. Boice) sebutkan, ...(James Montgomery Boice, “Romans – Volume 2 – The Reign of Grace – Romans 5-8: An Expositional Commentary,” Grand Rapids: Baker Book House, 1992, p.874).
-
Telah mulai mencicipi atmosfer “zaman yang akan datang”
“Zaman Yang Akan Datang” dan keadaannya
Seperti digambarkan oleh skema II maka demikianlah keadaan “zaman yang akan datang”.
-
Telah mulai masuk ke “zaman sekarang”
-
Mengalami penebusan penuh pada kondisi akhirnya
Kesimpulan
Kini jelas bagi kita ketegangan seperti apakah yang sesungguhnya kita, orang percaya, sedang jalani pada masa sekarang ini. Hidup kita pada zaman sekarang ini ditentukan oleh zaman yang akan datang. Zaman yang akan datang menentukan bagaimana kita hidup pada masa sekarang ini. Perhatikan perkataan Tuhan Yesus dalam Lukas pasal 18:29-30. “...“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya (ayat 29), akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal”” (ayat 30). Di sini Tuhan Yesus mengaitkan masa kedatangan-Nya yang pertama dengan telah hadirnya Kerajaan Allah di dalam dunia. Mengapa sekarang ini kita meninggalkan segala milik kita demi Kerajaan Allah adalah karena kita akan menikmati kondisi akhir “zaman yang akan datang” (Inggris/NIV: the age to come) itu, yaitu hidup yang kekal; bahkan tidak hanya itu, pada “masa ini” (Inggris/NIV: this age) juga kita akan mengalami kelimpahannya dengan lipat ganda, hal mana Vos katakan sebagai “kondisi akhir zaman yang akan datang telah dialami secara prinsip mulai pada zaman sekarang”. Oleh karena itu demikianlah hendaknya kita menghidupi zaman sekarang ini:
-
Menghidupi realita keselamatan
-
Meresponi maksud Tuhan terhadap seluruh ciptaan
Penutup
Masa di mana kita hidup saat ini adalah masa di mana hidup manusia telah demikian kompleks. Akan tetapi hal yang membedakan adalah hidup kita pada “zaman sekarang” ini berpatutan dengan dan ditentukan oleh kondisi-kondisi akhir “zaman yang akan datang”. Zaman yang akan datang menentukan bagaimana kita harus hidup pada zaman sekarang; “kenantian” menentukan “kekinian”. Untuk menghidupi zaman sekarang tanpa kehilangan pengharapan akan zaman yang akan datang itu kita memerlukan wadah di mana setiap kita dapat bersekutu, terus bertumbuh dan saling menguatkan hal mana Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satunya.
Selamat Paskah 2018.
[ Jessy V. Hutagalung
]
