_oOo_
Introduksi
Secara umum kita mungkin memahami bahwa kata murka dan kasih adalah sesuatu yang berlawanan atau bertentangan. Namun seorang teolog bernama Whiteley mengatakan bahwa lawan kata dari kasih sesungguhnya bukan murka melainkan “diabaikan” atau “indifference” (Whiteley, “The Theology of St. Paul,” Blackwell Pub). Kita perlu memahami bahwa murka dan kasih di dalam diri Allah bukanlah sesuatu yang berlawanan atau bertentangan. Murka Allah bukan negasi dari kasih Allah, karena keduanya merupakan bagian dari atribut Allah. Oleh sebab itu, murka Allah harus dipahami sebagai bagian dari tindakan kasih Allah. Karl Barth pernah mengatakan, “If we truly love God, we must love Him also in His anger, condemnation and punishment, or rather we must see, feel and appreciate His love to us even in His anger, condemnation dan punishment” (Barth, “Church Dogmatic,” T & T Clark).
Tak ada kasih Allah tanpa disertai dengan penghukuman dan penghakiman Allah. Namun demikian, kita perlu mengerti bahwa murka Allah itu sendiri bukanlah suatu tindakan kesewenang-wenangan atau dendam Allah yang tanpa perasaan. Tatkala murka Allah dipisahkan dari tindakan kasih-Nya atau demikian sebaliknya, maka semuanya itu hanya sebuah tindakan sentimental.
Lalu pertanyaannya, bolehkah kita berpendapat bahwa kasih Allah dan murka Allah dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk dualisme di dalam diri Allah? Di dalam pengertian bahwa di dalam diri Allah yang murka seolah-olah ada sisi lain dari Allah yang tersembunyi, yakni “Allah atas segala belas kasihan,” yang akan menyelamatkan orang berdosa yang bertobat, atau bahkan menyelamatkan mereka yang tidak mau bertobat. Jawabannya tentu tidak. Tidak ada dualisme di dalam diri Allah ketika Dia menyatakan murka-Nya maupun kasih-Nya. Dikotomi itu hanya ada di dalam tindakan-Nya atas ciptaan-Nya. Oleh karena, itu Allah yang murka dan penuh kasih itu adalah pribadi yang sama dan tidak saling bertentangan. “In salvation history in Christ, and in Scripture we see God acting both in wrath and judgment and in mercy and forgiveness. Clearly these two differ and are in some sense contrary to one another. Yet both originate from the one holy, loving God.” (Tony Lane, Kevin J. Vanhoozer, “Nothing Greater, Nothing Better,” Eerdmans Publishing Co).
Murka Allah
“Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” (Roma 1:18). Pada bagian ini, kata “murka” di sini, Paulus dengan sengaja menggunakan kata “orge.” Maksudnya, murka Allah digambarkan sebagai sebuah kemarahan Allah yang sangat serius atas segala kejahatan, dosa dan kefasikan manusia seakan-akan tidak ada lagi pengharapan di dalamnya. Berbeda dibagian yang lain, Paulus cukup sering menggambarkan kemarahan Allah dengan menggunakan kata-kata dalam pengertian “rejection,” “punishment,” “enemy.” Kata-kata ini digambarkan sebagai kemarahan yang masih ada pengharapan di dalamnya. Perkataan “murka Allah nyata dari sorga” di sini tidak hanya dipahami sekadar berbicara tentang apa yang akan Dia lakukan, dalam hal ini penghakiman-Nya, tetapi lebih jauh dari itu, ini juga berbicara bahwa Allah sendirilah yang akan melakukan penghakiman itu.
Pertanyaan kita adalah apakah murka Allah harus dipahami semata-mata tindakan penghukuman sebagai konsekuensi dari dosa, tanpa melibatkan perasaan atau emosi sebagai pribadi Allah yang hidup? Jika demikian, maka dapat dikatakan murka Allah menjadi bersifat impersonal, bukan menjadi bagian dari atribut Allah, sebagaimana dengan apa yang dikatakan dua teolog bernama Hanson dan Eichrodt. “The wrath of God is wholly impersonal and does not describe an attitude of God but a condition of man.” (A.T. Hanson, The Wrath of the Lamb, London SPCK). “Unlike holiness or righteousness, wrath never forms one of the permanent attributes of the God of Israel. Wrath is not an attribute of God in the way that his love or holiness is.” (W. Eichrodt, “Theology of the Old Testament,” London S.C.M)
Untuk menjawab persoalan ini, pertama-tama kita harus mengerti bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepada seluruh ciptaan sebagai pribadi Allah yang hidup. “AKU ADALAH AKU,” demikianlah Allah menyatakan diri-Nya (Kel. 3:14). Pernyataan ini ingin menegaskan bahwa Allah adalah pribadi dan substansi yang sungguh-sungguh hidup dan kekal. Oleh karenanya, murka Allah yang digambarkan di dalam Alkitab seharusnya dipahami tidak hanya sebatas sebuah akibat konsekuensi dari dosa tetapi juga melibatkan emosi (afeksi) Allah di dalamnya. Tentu kita sepakat bahwa kekudusan, kebenaran, dan keadilan-Nya adalah sifat pribadi Allah yang ada pada diri-Nya sendiri dan tentunya Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang tidak kudus dari kejahatan dan dosa. Ketika Dia bertindak dalam murka-Nya, ini bukan sesuatu yang bersifat impersonal, karena penyataan kemurkaan-Nya itu berasal dari pribadi Allah sendiri. “...but because a holy God wills to pour out the vials of His wrath upon those who commit sin. Indeed, it is largely because wrath is so fully personal in the Old Testament that mercy becomes so fully personal, for mercy is the action of the same God who was angry, allowing His wrath to be turned away.” (Leon Morris, “The Apostolic Preaching of the Cross,” Tyndale Press).
Jadi dalam hal ini, kita dapat menarik satu kesimpulan bahwa murka Allah adalah tindakan dari kualitas pribadi Allah yang hidup dan bukan sesuatu yang impersonal terlepas dari atribut atau sifat Allah itu sendiri. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah “Siapakah yang menjadi objek dari murka Allah?” “Apakah murka Allah nyata hanya atas kejahatan ataukah juga atas orang berdosa?” Keduanya. Kejahatan dan orang berdosa adalah objek dari murka Allah sekalipun di Perjanjian Baru hanya disebutkan kejahatan selalu dijadikan objek dari murka Allah. Namun pada kenyataannya, orang fasik sebagai pelaku kejahatanpun tidak luput dari murka-Nya.
Paulus sering mengaitkan hukuman akibat dosa dengan murka Allah. Sekalipun murka Allah adalah ekspresi dari pribadi Allah, akan tetapi Paulus lebih banyak menekankan pada penghukuman atau penghakiman Allah yang secara aktif atas dosa dan dunia. Bagi Paulus, murka Allah tidak pernah ditempatkan dalam konteks balas dendam yang tidak terkontrol atau di luar kendali Allah dengan mengabaikan atribut-atribut yang ada pada diri Allah itu sendiri. Namun murka Allah selalu ditempatkan di dalam konteks keadilan dan kekudusan-Nya.
Demikian dikatakan, “Sebab murka Allah nyata dari sorga...” Murka Allah di sini perlu dilihat sebagai realitas eskatologis yang telah hadir saat ini bersama dengan penyataan kebenaran oleh iman. Bukan berarti murka Allah baru dinyatakan sekarang bersama-sama dengan pembenaran oleh iman, akan tetapi sesuatu yang sudah dinyatakan, sedang dijalankan, dan semua itu terjadi begitu jelas. Menurut seorang theolog, Herman Ridderbos, murka Allah sebagai realitas eskatologis dapat di lihat dalam sudut pandang teologis dan sudut pandang antropologis. Dalam sudut pandang teologis, murka Allah dinyatakan dalam rusaknya relasi antara Allah dan manusia. Bukan sekadar penarikan diri dari persekutuan dengan Allah, tetapi suatu keterasingan (Kol. 1:21), dan “permusuhan.” Kejahatan manusia tidak hanya dimengerti sebatas perseteruan terhadap Allah (Rm. 8:7, Kol. 1:21), akan tetapi lebih jauh dari itu bahwa bagi manusia Allah telah menjadi musuh mereka (Rm. 5:10, 11:28). Secara antropologis, keterasingan dengan Allah berarti rusaknya dan bahkan hancurnya eksistensi manusia. (Herman Ridderbos, “Paul: An Outline of His Theology,” Eerdmans Publishing Co).
Kasih Allah yang menyelamatkan
Efesus 2:4-6
“Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita – oleh kasih karunia kamu diselamatkan”.
|
Murka Allah bukan sebagai cara Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita, orang berdosa, karena murka dan kasih Allah dinyatakan secara berbeda. Kasih Allah yang besar menjadi jalan agar murka-Nya terhadap orang berdosa dapat dialihkan. Dengan jalan bagaimanakah Allah menyatakan kasih-Nya kepada orang berdosa sehingga orang berdosa dapat diselamatkan dari murka-Nya? Tidak ada yang lebih besar dan ajaib selain kematian Kristus di atas kayu salib menjadi jalan satu-satunya Allah menyatakan kasih-Nya bagi orang berdosa. Melalui kematian Kristus, murka Allah Bapa atas dosa manusia diredakan sehingga orang berdosa boleh diperdamaikan dengan Allah.
Mengapa murka Allah harus ditimpakan kepada Kristus? Yesaya 53:4-5, memberikan jawabannya. “Tetapi sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” Penderitaan Kristus ketika Ia menerima murka Allah memiliki satu tujuan, yaitu untuk menanggung penghukuman karena pemberontakan dan dosa-dosa kita.
Tentu sulit dipahami bagaimana mungkin murka Allah yang seharusnya ditimpakan kepada orang berdosa justru ditimpakan dan ditanggung oleh Kristus, Anak Allah yang dikasihi itu? Memahami pertanyaan ini maka kita harus melihatnya di dalam terang Allah Trinitas. Karena di dalam Allah Trinitas itulah maka kita beroleh pengertian bahwa hanya Allah sendiri yang dapat meredakan murka-Nya, bukan dari luar Allah. Di dalam bukunya Dogmatika Kristen, Pdt. Muriwali Yanto Matalu membantu kita dalam memberikan penjelasan tentang kasih Allah yang dinyatakan di dalam Allah Tritunggal.
-
Kasih Allah lahir dari ke-Tritunggalan-Nya. Allah yang diajarkan Alkitab adalah Allah yang memiliki satu esensi namun di dalam satu esensi tersebut ada tiga Pribadi yang berbeda. Tiga Pribadi yang berbeda memungkinkan terwujudnya kasih. Jika Allah hanya satu pribadi, maka kasih mustahil untuk diwujudkan. Ke-Tritunggal-an Allah merupakan dasar dari kasih Kristen.
-
Yesus Kristus, Pribadi kedua Tritunggal, telah mengorbankan diri-Nya demi menyelamatkan orang berdosa (orang-orang pilihan-Nya). Kita diselamatkan oleh karena Tuhan mengasihi kita. Tuhan mengasihi kita berarti Dia memberikan diri-Nya untuk taat kepada Bapa, menderita, diadili, disalibkan demi menebus orang berdosa. (Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen, hal. 222-223, GKKR).
Maka Kristus sebagai pribadi kedua dari Allah Tritunggal yang datang ke dalam dunia berinkarnasi menjadi manusia. Di dalam kemanusian-Nya, Kristus menjalani dan menanggung penghukuman, akan tetapi keilahian-Nya yang ada pada diri-Nya tidak mengalami penderitaan. Jikalau keilahian Kristus dapat juga menderita seperti di dalam kemanusian-Nya maka Dia bukanlah Allah. “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam. Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita, tetapi setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih setia-Nya atas orang-orang yang takut akan Dia;” (Mzm. 103:8-11). Tuhan tidak akan selalu mendendam dan juga tidak akan menyimpan amarah-Nya selamanya melainkan Dia menunjukkan kasih setia-Nya kepada mereka orang berdosa yang takut akan Dia. Di dalam kovenan yang baru Allah Bapa menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar melalui Kristus Tuhan untuk menjadi jalan keselamatan, supaya kita yang adalah orang-orang berdosa yang patut dimurkai sekarang boleh hidup di dalam Dia.
Penutup
Bukan apa yang bisa manusia beri atau persembahkan yang dapat mengalihkan murka Allah dan berdamai dengan Dia, akan tetapi hanya dari Allah sendirilah yang harus menyatakan kasih-Nya dan mengalihkan murka-Nya supaya melalui kasih-Nya yang sudah dinyatakan di dalam kematian Kristus Tuhan, Anak Domba Allah yang hidup, kita orang berdosa beroleh penebusan dan luput dari murka Allah.
Selamat Paskah 2019 Tuhan memberkati.
[ Mulatua Silalahi
]
