
_oOo_
Hai anak-anak, taatilah orang tua dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya (Kolose 3:20-21)
|
Pengantar
Paulus bukan pendiri langsung jemaat Kolose, namun pelayanan Paulus telah berdampak pada kota-kota yang ada di sekitar Sungai Lycus. Selama lebih dari dua tahun pelayanan Paulus di Efesus (Kis. 19, 20), Paulus telah mengabarkan Injil dengan sangat giat, “sehingga semua penduduk Asia mendengar firman Tuhan, baik orang Yahudi maupun orang Yunani.” (Kis. 19:10). Jemaat Kolose didirikan oleh Epafras yang kemungkinan adalah seorang penduduk asli Kolose. Kota ini terletak kira-kira 120 mil sebelah timur kota Efesus, sebelah selatan Sungai Lycus. Kota-kota yang berdekatan dengannya antara lain Laodikia dan Hierapolis. Rupanya Epafras adalah seorang percaya buah dari pemberitaan Injil yang dikerjakan Paulus yang kemudian memberitakan Injil ke Kolose, Laodikia, dan Hierapolis (Kol. 4:13).
Mayoritas jemaat Kolose adalah non-Yahudi (kaum Gentile) yang dahulu percaya kepada dewa-dewi Romawi dan Yunani - seperti Isis, Sarapis, Helios, dewi Diana atau Artemis, dan lain-lain. Pada Kolose 3:5-7, Paulus menyebutkan dosa-dosa yang mereka lakukan sebelum menjadi orang percaya, yakni percabulan, kenajisan, dan hawa nafsu. Ini adalah dosa-dosa yang umum dilakukan oleh kaum Gentile.
Surat Kolose ditulis oleh Paulus sebagai respon dari kunjungan Epafras yang datang menemuinya di dalam penjara Roma. Perkembangan dari jemaat Kolose disampaikan langsung oleh Epafras kepada Paulus. Sebagian besar yang dibawa oleh Epafras adalah kabar baik, oleh karenanya dalam Kolose 1:3-4 Paulus mengucap syukur kepada Allah ketika mendengar tentang iman jemaat Kolose dalam Kristus Yesus, dan tentang kasih mereka kepada orang-orang kudus. Paulus melihat dengan sukacita ketertiban hidup jemaat Kolose dan keteguhan iman mereka (Kol. 2:5).
Namun bukan cuma kabar baik yang dibawa Epafras, ia juga menyampaikan tentang munculnya aliran sesat yang mulai berkembang di dalam jemaat Kolose, yang oleh Paulus dikatakan sebagai “filsafat yang kosong dan palsu” (Kol. 2:8), yakni suatu ajaran sesat yang menyerang supremasi Kristus. Ajaran sesat ini terkait dengan elemen-elemen spiritual (roh-roh dunia) yang tidak seturut dengan Kristus (Kol. 2:8), dan praktik peribadatan menyembah malaikat (Kol. 2:18). Di samping itu, terdapat pengaruh-pengaruh Yudaisme sebagaimana tertulis di Kolose 2:16-23 di mana jemaat Kolose yang sudah percaya kepada Kristus masih mengikatkan diri mereka kepada aturan-aturan tentang makanan dan minuman, hari raya, bulan baru, ataupun hari Sabat (Kol. 2:16). Jadi, ajaran palsu ini sesungguhnya semacam gerakan sinkretisme kepercayaan kaum pagan (penyembah berhala) dan ajaran Yudaisme.
Di dalam konteks inilah surat Paulus kepada jemaat Kolose ditulis, bertujuan untuk menegur dan meluruskan jemaat yang menghadapi ancaman ajaran sesat yang tanpa sadar membawa jemaat menjauh dari berita Injil yang sejati. Oleh karenanya Paulus memulai dan mengakhiri suratnya ini dengan penekanan pada keutamaan Kristus yang adalah dasar iman orang percaya. Maka dalam surat Kolose ini pembaca akan menemukan gambaran rinci tentang identitas dan otoritas Kristus. Paulus menekankan kesempurnaan dan finalitas Kristus (completeness and finality of Christ), bahwa Kristus adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, dan di dalam Dia berdiam seluruh kepenuhan Allah (Kol. 1:15, 19).
Relasi-relasi di dalam Keluarga Kristen menurut Surat Kolose
Orang-orang Yunani-Romawi memahami bahwa rumah tangga adalah dasar dari bangunan utama negara. Oleh karenanya, konstitusi negara harus mengatur relasi-relasi yang terdapat di dalam unit-unit yang lebih kecil ini. Kehidupan rumah tangga yang sehat begitu penting atas terciptanya stabilitas negara. Tidaklah mengherankan apabila pada masa itu lahir ilmu/seni pengelolaan rumah tangga yang disebut sebagai household management, yaitu hal-hal yang diperlukan dalam pengelolaan uang, budak, istri dan anak.
Relasi-relasi di dalam keluarga Kristen sebagaimana diajarkan Paulus dalam Kolose 3:18–4:1 merupakan bagian dari satu rangkaian pemikiran yang kemudian dikenal sebagai aturan rumah tangga Kristiani (Christian household code). Oleh Martin Luther, aturan ini disebut “Haustafeln” (house tables = tables of household duties), yaitu serangkaian aturan yang mendefinisikan tanggung jawab etis seseorang berdasarkan kedudukannya dalam sebuah rumah tangga. Household code dari Paulus banyak bersumber dari budaya Yahudi dengan pengaruh Yunani (Hellenistic-Jewish Codes). Household code ini meliputi tiga pasang rangkaian relasi:
-
Relasi suami-istri (Kol. 3:18-19)
-
Relasi orang tua-anak (Kol. 3:20-21)
-
Relasi majikan-budak (Kol. 3:22 – 4:1)
Household code oleh Paulus bertujuan untuk mengilustrasikan bahwa rumah tangga Kristiani yang damai dan harmonis merupakan buah dari kehidupan manusia baru yang mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Kristus dan menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan pusat utama kehidupannya. (Kol. 3:5-17). Mengapa aturan tentang relasi antara anggota keluarga ini harus ada dalam surat Kolose? Paulus sadar bahwa komitmen kepada Tuhan Yesus akan berdampak tidak hanya pada perilaku dan hidup pribadi orang percaya, tapi juga akan berpengaruh pada relasi dan kehidupan keluarganya di mana keluarga merupakan bagian utama atau fundamental terbangunnya suatu komunitas, termasuk komunitas orang percaya.
Dalam Kolose 3:5-17, Paulus menasihati jemaat untuk meninggalkan dan mematikan segala bentuk kerusakan moral seperti percabulan, kenajisan, hawa nafsu, keserakahan, dan juga membuang kemarahan, geram, dan fitnah, untuk selanjutnya mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui menurut gambar Khaliknya. Dalam konteks inilah Kolose 3:18 – 4:1 dapat dipahami maksud dan tujuan penulisannya, yaitu untuk memberi contoh kepada jemaat bagaimana orang percaya seharusnya hidup dalam kesehariannya beriman kepada Allah Bapa dan Kristus dalam konteks hidup yang sangat dekat dengan dirinya, yaitu keluarga dan rumah tangga.
Relasi orang tua dan anak
Jemaat Kolose memiliki latar belakang non-Yahudi, dan dipengaruhi oleh budaya Yunani-Romawi. Dalam relasi orang tua dan anak, filsuf Phytagoras mengajarkan bahwa anak-anak haruslah mengasihi (love) orang tuanya, menghormati (honor) dan tunduk/taat (obedient) kepadanya. Rumah tangga Romawi yang bersifat patriarkhal menaruh kekuasaan yang luar biasa pada kaum bapak atas diri anak-anak mereka. Itulah mengapa teks-teks di dalam Alkitab sering kali hanya berbicara tentang diri kaum bapak, bukan para ibu; sebagaimana pesan yang tertulis dalam Kolose 6:21.
Kaum bapak di era Romawi kuno memiliki kekuasaan yang sangat besar atas diri anak-anak mereka. Suatu artikel dalam Oxford Classical Dictionary (1949) berjudul Patria Potestas (the law of the father’s power) yang dikutip oleh John Stott dalam salah satu bukunya, mengisahkan tentang kaum bapak Romawi kuno yang memiliki kekuasaan yang absolut atas semua anggota keluarganya. Karakter bapak Romawi yang otoriter tidak hanya ditunjukkan dalam haknya untuk menghukum, tapi ia juga berhak membunuh bayinya yang cacat. Sang ayah punya hak penuh untuk membuang anaknya dan menjualnya sebagai budak. Majikan Romawi hanya dapat menjual budaknya satu kali, tapi bila seorang bapak Romawi menjual anaknya dan kemudian anaknya memperoleh kemerdekaan, sang ayah dapat menjualnya kembali. Dalam dunia kuno, relasi antara ayah dan anak tidak mengenal mutual obligation, yaitu hubungan timbal balik yang saling memberi dan menerima. Semua hak dan manfaat ada di tangan sang ayah, sementara si anak hanya memiliki tugas dan kewajiban.
Komunitas orang percaya di Kolose yang mayoritas berlatar belakang non-Yahudi, juga menaruh perhatian khusus pada household management, di mana mereka percaya bahwa rumah tangga yang sehat merupakan barometer dari sehatnya suatu negara. Mereka memiliki kesepahaman bahwa rumah tangga yang sehat terkait dengan penundukkan diri dari istri, anak dan budak kepada kepala keluarga, yaitu sang suami/bapak/majikan. Rasul Paulus ingin agar jemaat Kolose yang mayoritas berlatar belakang non-Yahudi dapat mengetahui dan memahami perbedaan apa yang dibawa oleh Kristus di dalam pengelolaan rumah tangga Kristiani.
Nasehat Kepada Anak (Kolose 3:20)
“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan”.
|
Nasehat Paulus yang pertama diberikan kepada partner yang lebih lemah dalam relasi ini, yaitu anak. Dari anak-anak, Paulus menuntut ketaatan (hupakoe); ketaatan kepada orang tua menurut Paulus adalah suatu hal yang menyenangkan bagi Allah. Perintah untuk taat diikuti dengan frase “dalam segala hal” yang menunjukkan cakupan yang luas. Kita perlu memahami konteks dari frase “dalam segala hal” ini. Apakah berarti seorang anak harus memiliki ketaatan “buta” kepada orang tuanya?
Ketaatan seorang anak “dalam segala hal” harus dipahami dalam konteks Perjanjian Lama yang menjadi dasar munculnya perintah ini, yaitu salah satu dari sepuluh hukum Tuhan, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, supaya lanjut umurmu dan baik keadaanmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Ul. 5:16). Meski demikian, perintah ini tidak boleh dipahami dalam konteks tuntutan pemenuhan segala sesuatu dari pihak anak saja, karena di bagian selanjutnya Tuhan juga memberi tugas dan tanggungjawab kepada setiap orang tua Israel untuk mengajarkan hukum-hukum Tuhan kepada anak mereka, sebagaimana tertulis dalam Ulangan 6:5-9, “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.”
Oleh karena itu, frase “dalam segala hal” mengacu kepada segala ajaran orang tua yang berpadanan atau sesuai dengan hukum-hukum Tuhan. Ketaatan seorang anak kepada orang tua merupakan hal yang sangat pokok dalam kehidupan orang Israel (orang percaya) di mana sebagai umat yang kudus, pelanggaran terhadap hukum Tuhan akan mendatangkan hukuman yang berat.
Imamat 20:9 menegaskan bahwa seorang anak yang berbuat kurang ajar terhadap orang tuanya - mengutuki ayahnya atau ibunya - harus dihukum mati. Ulangan 21:18-21 secara khusus mengatur hukum yang akan diberlakukan kepada anak yang membangkang, yang tidak mau mendengarkan perkataan ayah dan ibunya; orang tuanya dapat mengambil tindakan sebagai berikut, “maka haruslah ayahnya dan ibunya memegang dia dan membawa dia keluar kepada para tua-tua kotanya di pintu gerbang tempat kediamannya, dan harus berkata kepada para tua-tua kota nya: Anak kami ini degil dan membangkang, ia tidak mau mendengarkan perkataan kami, ia seorang pelahap dan peminum, maka haruslah semua orang sekotanya melempari anak itu dengan batu sampai mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu; dan seluruh orang Israel akan mendengar dan menjadi takut.”
Anak-anak dari jemaat Kolose adalah juga “orang-orang kudus” (Kol. 3:12) dan bukan anak-anak cemar. Oleh karena itu Paulus menuntut supaya mereka juga untuk hidup sebagai orang-orang kudus dan menaati orang tua mereka di dalam Tuhan.
Nasehat Kepada Orang Tua (Kolose 3:21)
“Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”.
|
Mungkin timbul pertanyaan, mengapa kaum ibu tidak turut disebutkan dalam nasihat ini, padahal mereka juga adalah orang tua yang turut bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak mereka? Tentang hal ini, ada beberapa pendapat para ahli, tapi umumnya mereka berpendapat bahwa mungkin saja Paulus menganggap kaum bapak sebagai kepala keluarga yang memikul dan mewakili wibawa orang tua. Hal ini sejalan dengan budaya Yahudi dengan pengaruh Yunani nya (Hellenistic-Jewish Codes) yang memang hanya berbicara atau menegur kaum pria sebagai subyek utama dalam statusnya sebagai kepala rumah tangga (suami, ayah, dan majikan).
Nasihat Paulus kepada kaum bapak sangatlah konkrit, dimulai dengan perkataan: “janganlah sakiti hati anakmu.” Alkitab versi King James memakai kata “provoke” yang memiliki konotasi negatif, “to make resentful, to make someone bitter,” yaitu menyebabkan timbulnya rasa benci dan kepahitan dalam diri anak. Pada Kolose 3:8, Paulus menyebut amarah sebagai salah satu kebiasaan buruk dari manusia lama yang harus ditinggalkan. Paulus tahu amarah dapat membawa seseorang kepada dosa dan kepada kuasa iblis (Ef. 4:26). Bila seorang ayah memanaskan hati anak-anaknya sehingga mereka menjadi marah, tanpa disadari ini dapat membawa mereka kepada pemberontakan melawan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan bapak, dan dengan demikian dapat mengarah kepada pemberontakan melawan Allah sebagai Bapa.
Selanjutnya ayat ini menyebut efek berbahaya lain yang dapat timbul dalam diri anak akibat perkataan atau perilaku ayah yang menyakiti, yaitu perasaan “tawar hati.” Terdapat berbagai padanan kata untuk “tawar hati” seperti discouragement (kekecewaan), dispiritful (tidak bersemangat), listless (tidak berenerji, tidak antusias), quit trying, pesimis, pasif, dan lain-lain. Namun semuanya memiliki konteks yang sama, yaitu seorang anak dapat kehilangan semangat, gairah dan motivasi hidupnya karena perilaku dan perkataan sang ayah yang menyakiti hati. Relasi ayah (orang tua) dengan anak membentuk kepribadian (personality) dan cara pandang anak terhadap kehidupan. Hal ini sangat dipahami oleh Paulus. Paulus memahami efek berbahaya yang timbul apabila generasi muda orang percaya kehilangan semangat untuk hidup dan berkarya, karena generasi muda adalah harapan dari keluarga, gereja dan negara untuk menjalankan kehidupan di masa depan. Apabila generasi muda Kristen adalah orang-orang dengan semangat yang hancur (broken spirit) maka Gereja Tuhan tidak dapat bertahan di dunia ini.
Refleksi
Ketaatan kepada orang tua merupakan tuntutan yang umum bagi anak-anak di belahan dunia manapun dan dari latar belakang budaya apapun. Namun bagi seorang anak yang telah menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya, perintah untuk taat kepada orang tua memiliki dimensi yang lebih mendalam daripada sekedar hukum alam, hukum sosial, moral dan etika. Seorang anak Kristen menaati orang tuanya sebagai buah dan refleksi dari hubungan pribadinya dengan Tuhan sebagai Bapa. Menaati orang tua merupakan bagian dari tanggung jawab hidupnya sebagai orang Kristen dan buah dari hubungan pribadinya dengan Tuhan Yesus.
Orang tua Kristen memiliki satu tugas penting terhadap anak- anaknya, yakni mewariskan iman kepada anak-anaknya. Orang tua Kristen harus memperkenalkan Tuhan, mengajarkan ketetapan dan peraturan Tuhan kepada anak-anaknya, dan tugas penting ini seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang mengalir di dalam aktifitas hidup sehari-hari. “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun,” (Ul 6:7). Dengan kata lain, mengajarkan tentang Tuhan dan perintah-Nya tidak boleh dibatasi hanya dalam situasi formal, melainkan harus mengalir secara spontan dan alamiah, dalam segala waktu dan tempat. Dengan cara ini Tuhan menjadi bagian integral dari kehidupan keluarga dan anak itu sendiri.
Bagaimanapun juga, anak-anak lebih mudah belajar melalui contoh-contoh yang nyata. Mereka perlu melihat bagaimana perintah-perintah Tuhan sungguh-sungguh dihidupi dan dipenuhi dalam hidup orang tuanya. Orang tua harus menjadi teladan yang nyata dan konsisten dalam menaati hukum Tuhan, sehingga anak-anak dapat melakukan modeling dan imitasi. Dimulai dengan mencontoh orang tuanya, maka seorang anak dapat belajar untuk hidup dalam hukum Tuhan, dan melalui proses pertumbuhan maka hukum Tuhan menjadi bagian integral dari kehidupannya sendiri.
Merayakan Natal sebagai sebuah perayaan keluarga menjadikannya momen khusus untuk berkumpul bersama keluarga dari segala usia. Momen itu tentu dipenuhi suasana sukacita dan kegembiraan, menciptakan kenangan terindah bersama keluarga, dan menciptakan perasaan saling memiliki satu sama lain sebagai sebuah keluarga. Pada saat Malam Natal, sesudah mengikuti ibadah Natal di gereja, orang tua akan duduk dengan anak-anak untuk bersama-sama meneguhkan iman mereka bahwa “keluarga ini adalah keluarga yang teguh percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.” Sang bapak tampil sebagai pemimpin bagi keluarganya untuk bersama-sama mengangkat kembali iman percaya keluarga. Di dalam konteks ini, hubungan orang tua dan anak yang harmonis menjadi pembuktian iman mereka kepada Tuhan.
Bayi Yesus hadir di dunia melalui sebuah keluarga dan Ia menjadi bagian dari keluarga. Dengan merayakan Natal, maka secara tidak langsung kita telah menjadikan Natal sebagai sebuah perayaan keluarga yang menjadi tradisi turun temurun bagi segenap keluarga Kristen di seluruh dunia. Tentu perayaan Natal juga sebagai sebuah kesempatan bagi para orang tua untuk menjelaskan kepada anak-anaknya: “Tidak banyak wanita yang mau menempuh bahaya sebagaimana yang dilakukan Maria. Dan tidak banyak laki- laki yang mau bertanggung jawab seperti Yusuf. Dengan demikian, Maria, Yusuf, dan bayi Yesus adalah gambaran keluarga Kristen di mana ikatan relasi yang terjadi pada mereka menjadi contoh bagi kita untuk mengalirkan cinta kasih dan penyerahan diri seutuhnya kepada kehendak Allah Bapa, perihal yang menjadi hasrat dan warna dari hidup keseharian kita.”
Selamat Natal 2020 dan Selamat Tahun Baru 2021.
[ Gogona Gultom
]
