Contents [] []
MORALITAS PENGETAHUAN KESUSASTERAAN
(MORALITY OF LITERARY KNOWLEDGE):
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN BERSIKAP
(BAGIAN KEENAM) – STRUKTURALISME DAN PASKA-
STRUKTURALISME (II)
(MORALITY OF LITERARY KNOWLEDGE):
BAGAIMANA SEHARUSNYA ORANG KRISTEN BERSIKAP
(BAGIAN KEENAM) – STRUKTURALISME DAN PASKA-
STRUKTURALISME (II)
_oOo_
Pengantar
Dalam sebuah kelas perkuliahan seorang dosen membahas tema pendamaian (reconciliation) dan pengampunan (forgiveness) dengan mahasiswanya. Setiap kita pasti dengan mudah membayangkan bahwa kelas itu merupakan kelas sebuah sekolah teologia atau setidaknya kelas mata kuliah Agama. Akan tetapi kelas perkuliahan itu merupakan kelas sebuah universitas di Barat, tempat di mana agama dipandang mutlak hanya sebagai wilayah kehidupan pribadi (private) yang sekali pun tidak akan pernah memasuki ruang publik (public sphere). Dosen mata kuliah itu adalah Jacques Derrida dan kelas yang dipimpinnya merupakan perkuliahan Filsafat. Apabila orang Kristen tidak bertumbuh di dalam pengajaran dan hidup yang benar maka kekristenan pada masa-masa ini dan masa mendatang akan kehilangan ruang untuk memperkatakan kebenaran dan menjadi semata-mata pengikut arus yang ada.
Pendahuluan
Tulisan ini membahas lebih lanjut pemikiran strukturalisme dan logosentrisme, pemikiran paska-strukturalisme yang diwakili Jacques Derrida, pemikiran mengenai apakah paska-strukturalisme adalah jalan keluar serta bagaimana seharusnya kita orang Kristen menilainya. Filsafat barat telah lama membangun pemikiran berdasarkan keyakinan bahwa bahasa (dalam artian sistem) yang kita gunakan memiliki keterpusatan kepada suatu sumber transenden otoritatif yang menyatakan pikiran dan kehendaknya, yaitu “Kata” (Yunani: Logos). “Kata” menyatakan diri dan kehendaknya sedemikian rupa melalui Bahasa. Bahasa adalah sarana komunikasi dan komunikasi harus didasarkan atas kebenaran sekalipun itu tidak berarti bahwa ia tidak mungkin dapat digunakan secara berlimpah. Hidup di dalam dunia adalah hidup mengarungi berbagai pergumulan dengan segala suka dan duka. Jadi alangkah baiknya apabila kita memahami teks-teks Alkitab dalam segala kelimpahannya tanpa kehilangan fokus pada maksud teks-teks itu disampaikan kepada pembaca masa kini yang adalah kita, agar sungguh- sungguh bermanfaat bagi kita, sebagaimana juga kepada pembaca pertamanya pada masa lalu.
Strukturalisme dan Logosentrisme
Strukturalisme merupakan suatu gerakan intelektual yang berkembang di daratan Eropa pada pertengahan abad ke-20 yang dipelopori oleh seorang linguis Swiss pada awal abad ke-20 bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913). Untuk memahami strukturalisme de Saussure penting bagi kita mengamati beberapa hal di bawah ini.
-
Sistem pertandaan yang mengikat penanda dan petanda
-
Bahasa sebagai “satu sistem” (Prancis: la langue) lebih superior ketimbang bahasa dalam percakapan sehari-hari (Prancis: la parole)
-
Konsep dalam bahasa memiliki nilai atau makna oleh adanya oposisi biner
-
Aspek diakroni dan sinkroni Bahasa
Gagasan Saussure kemudian dikembangkan oleh Ludwig Klages (1872-1956), seorang kritikus tulisan tangan Jerman, pada dekade tahun 1920-an sehubungan dengan proposalnya mengenai superioritas ilmu bahasa ketimbang tulisan tangan (handwriting). “Kata” (Inggris: Word, Yunani: Logos) berada terlebih dahulu pada wilayah ide dan pemikiran transenden yang jauh daripada kita lalu menyatakan diri melalui kehadiran (presence) dan kehendak (will) otoritatifnya kepada kita melalui bahasa dan kata (speech, word) sebagai sistem linguistik, dan dengan demikian ia (maksudnya: bahasa) selalu lebih superior ketimbang tulisan (writing). Kehendak menyatakan dirinya kepada kita pertama kali selalu melalui pikiran dan perkataan kita. Hal itu tercermin dalam relasi struktural antara konsep-bahasa dengan struktur tubuh kita, yaitu pikiran dan mulut kita. Ia baru akan terkomunikasikan melalui tulisan tangan sejauh kita terobligasi untuk itu. Inilah sebabnya dalam skema logosentrisme tulisan dipandang sebagai sesuatu yang tidak menyatakan “kehadiran” dari suatu kehendak apa pun dan dengan demikian inferior ketimbang bahasa. Oleh karena itu bagi linguis strukturalisme selalu ada sesuatu “di luar teks” (outside the text).
Strukturalisme telah menghadirkan struktur dan Logosentrisme telah menghadirkan keterpusatan (centeredness) kepada suatu sumber yang otoritatif dan stabil sebagai dua hal yang sangat berkuasa, dominan dan superior yang dari padanya makna bahasa ditentukan dan dihasilkan.
Paska-strukturalisme: Jacques Derrida
Strukturalisme dan logosentrisme dalam kenyataan sejarah pada akhirnya bukanlah sekadar studi dalam dunia akademis. Ia telah mempengaruhi perjalanan sejarah. Keyakinan Eropa moderen akan struktur dan keterpusatan pada suatu sumber otoritatif yang transenden itu secara tidak disadari telah pernah menghadirkan pemaksaan suatu kehendak, penyingkiran atas apa yang berbeda, kekerasan (violence) dan peniadaan orang lain (the other) secara sistematis dan luas yang telah meninggalkan bekas (trace) di dalam sejarah. Bagaimana mungkin peniadaan atas jutaan orang Yahudi di Eropa Barat dan Eropa Timur pada dekade tigapuluhan dan empatpuluhan abad ke- duapuluh yang lalu dapat dilakukan oleh rezim Nazi di Jerman tanpa adanya keyakinan yang dibangun terhadap struktur yang keras serta ketertundukan kehendak semua orang kepada kehendak tunggal seseorang saja? Artikel berjudul How a right can make a wrong: Hitler’s fateful encounter with Pvt. Henry Tandey, VC menuliskan bahwa dalam pertemuannya dengan Neville Chamberlain, Perdana Menteri Inggris, pada tahun 1938 di kediamannya di Berchtesgaden, Bavaria, Jerman, Adolf Hitler menceritakan bagaimana pada akhir Perang Dunia I tahun 1918 ia berada dalam keadaan pincang dan hampir ditembak mati oleh seorang prajurit Inggris bernama Henry Tandey. Hitler mengatakan: “that man came so near to killing me that I thought I should never see Germany again, providence saved me from such devilishly accurate fire as those English boys were aiming at us” (http://www.worldwar1.com/heritage/hitler2.htm/ legends&traditionsofthegrea twar). Tangan “tidak terlihat” yang disebutnya providence itulah yang kemudian diyakininya mengarahkannya untuk mengambil setiap momentum di dalam sejarah hingga didapatnya kursi Kanselir Jerman pada tahun 1933 serta diperintahkannya kemudian pemusnahan etnis Yahudi secara meluas di Eropa. Keyakinan akan struktur dan keterpusatan pada kehendak otoritatif telah memperbolehkan diperbuatnya kekerasan dan peniadaan terhadap orang lain demi keberadaan seseorang atau bangsa tertentu.
Oleh karena itu Derrida mengusulkan gagasan baru mengenai bagaimana manusia seharusnya memberi respon kepada yang transenden.
-
Penundaan atas sentrisitas pada sesuatu yang transenden: Tidak ada sesuatu pun di luar teks.Intertextuality means that texts are open – open to the effects of the past texts and to the contexts of present readers. Intertextuality is thus another way of restating Derrida’s maxim that “there is nothing outside texts.” There is no such thing, that is, as a text-in-itself. Strictily speaking, a text is not itself; texts become themselves only as they differ and relate to other specific texts. A text “is a relational event, not a substance to be analyzed.” A text is part of a network of texts that has no center, no beginning, and no end. / Intertekstualitas berarti bahwa teks terbuka – terbuka pada tradisi yang membentuk teks-teks tersebut pada masa lalu dan kepada konteks pembacanya pada masa kini. Intertekstualitas juga merupakan cara lain untuk menyatakan prinsip dasar yang dibangun Derrida bahwa “tidak ada apapun di luar teks.” Tidak ada hal seperti itu, teks di dalam dirinya sendiri. Dikatakan secara tegas bahwa suatu teks bukanlah teks itu sendiri; teks menjadi teks hanya apabila ia berbeda dan berhubungan dengan teks-teks spesifik lainnya. Suatu teks hanyalah “suatu peristiwa relasional, bukan suatu substansi untuk dianalisa.” Suatu teks merupakan bagian dari suatu jejaring teks-teks lainnya yang tidak berpusat, tanpa awal dan tanpa akhir.
-
“differ” + “defer” = “différance”The word différance, which Derrida created, contains two ideas within it: differing and deferring. The differing is a matter of showing a series of “traces”, of showing the difference between things. This is how reference works, such as dictionaries, function. They define something by showing how it differs, or is distinct from, other things. We understand the sign by seeing, not so much what it is, but what it is not. … This is where the latter part of word différance comes in. It is the endless play of signifiers, in which one gives way or defers to the next, … / Kata différance, yang Derrida ciptakan, meliputi dua gagasan di dalamnya: pembedaan dan penundaan. Pembedaan adalah hal mengemukakan serangkaian “bekas,” hal mengungkapkan perbedaan satu hal dengan hal-hal lainnya. Inilah bagaimana rujukan bekerja, sebagaimana halnya kamus, berfungsi. Mereka mendefinisikan sesuatu dengan mengemukakan bagaimana ia berbeda dari, atau tidak dapat disamakan begitu saja, dengan segala sesuatu lainnya. Kita memahami tanda dengan melihat sesuatu, tidak terutama berdasarkan apakah ia adanya, melainkan berdasarkan apa yang bukan itu. … Di sinilah bagian terakhir kata différance ini masuk. Ia adalah permainan tanpa akhir dimana di dalamnya penanda-penanda saling menjatuhkan atau menunda rujukan kepada petanda.
Respon kultural Kristen
Sebagai respon, dalam kaitannya dengan peristiwa kelahiran Kristus, penulis mengajak kita melihat perkataan rasul Yohanes dalam pasal 1 ayat 14: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Hal yang penting kita pikirkan di sini adalah:
-
“Firman, yang adalah Logos atau Kata, itu telah menjadi manusia.”
-
“diam di antara kita”
-
“kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa”
-
“penuh kasih karunia dan kebenaran.”
Alkitab membukakan kita akan pentingnya logosentrisitas, tetapi tidak lalim dan tidak menindas. Logos telah berada di tengah kita dengan cara yang sama kita berada; ia telah pula sengsara dan menderita.
Kesimpulan
Firman (Logos, Kata) itu telah diam di antara kita sehingga makna tidak lagi transenden, dan dengan demikian tulisan telah berkelimpahan dunia penulis dan dunia pembaca dengan segala “bekas”nya. Sekalipun demikian itu tidak berarti bahwa pembaca dapat membangun makna secara kehendaknya, seluas jagad dan sedalam lautan. Inkarnasi Kristus adalah model bagi moral hermeneutika Kristen. Kekristenan mengakui adanya struktur ciptaan oleh Firman dan oleh karena itu tidak harus paranoid terhadap strukturalisme. Demikian pula sebaliknya dengan gagasan Derrida akan teks yang telah membukakan kita betapa terlibatnya dunia penulis teks dan kita selaku pembaca untuk melihat kebaikan dan keindahan yang teks Alkitab sampaikan.
Penutup
Dunia kita dengan segala perangkat medianya telah menghadirkan bagi kita berbagai teks yang tidak terhitung banyaknya pada satu tempat dan waktu yang sama. Dengan kondisi ini tanpa moralitas kesusasteraan, pembaca Kristen justru akan kehilangan makna yang sesungguhnya telah berada dekat di antara kita itu dan dengan demikian, dalam takut akan Tuhan, adalah bagian kita untuk tidak membiarkan hal ini begitu saja. Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satu wadah untuk dapat terus mempelajari dan menggarap hal ini.
Selamat Natal 2021 dan Selamat Tahun Baru 2022.
[ St. Jessy V Hutagalung, SE
]
