KRISTUS DAN KEKEKALAN
_oOo_
Manusia dan Kekekalannya
“Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pkh. 3:11). Ayat ini menyatakan bahwa Allah memberikan kekekalan ke dalam hati manusia, karena hanya manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Oleh karenanya, manusia menjadi satu-satunya ciptaan Allah yang berbeda dengan ciptaan lainnya karena unsur kekekalan di dalam dirinya itu. Meski demikian, kekekalan di dalam diri manusia berbeda dengan kekekalan yang Allah miliki karena kekekalan pada dirinya adalah sesuatu yang diberikan (gifted). Itu sebabnya, seluruh hidup manusia harus bergantung kepada Allah, sang sumber kekekalan.
Oleh karena kekekalan di dalam dirinya, manusia maka menjadi satu-satunya eksistensi yang memiliki sifat transenden yang melampaui waktu. Dan Allah yang kekal itu menjadi tujuan akhir dari seluruh apa yang manusia pikirkan, rencanakan dan kerjakan. Segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini akan cepat berlalu dan tidak selamanya dapat memberikan kepuasan, kelegaan di dalam hati manusia. Hanya Dia, Tuhan Allah pencipta dan kekal itulah yang dapat memuaskan hati manusia. “Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajah-Mu, dan pada waktu bangun aku akan menjadi puas dengan rupa-Mu.” (Mzm. 17:15).
Akan tetapi, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan kekekalan yang sudah Allah tanam di dalam hati manusia harus bertemu dengan kematian. Segala sesuatu yang baik dan indah yang Allah ciptakan kini harus berakhir pada suatu kematian. Ia tidak lagi berada pada hidup kekekalan di dalam Allah. Kejatuhan ini membawa kepada sebuah ketegangan, tarik menarik, tidak harmonis antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas, ketegangan antara waktu dan kekekalan. Dengan demikian manusia harus bertemu dengan penderitaan, kesulitan, kelelahan, kesusahan, sakit penyakit di dalam ikatan waktu yang suatu waktu harus berujung kepada kematian (bdk. Pengkhotbah 1, 2 dan 12).
Pengkhotbah 1:2-3
“Kesian-siaan belaka, kata Pengkhotbah, Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari?”
|
Pengkhotbah 12:8
“Kesia-siaan atas kesia-siaan, kata Pengkhotbah, segala sesuatu adalah sia-sia.”
|
Meski demikian, di dalam keterbatasannya akibat kejatuhan, manusia masih memiliki kesadaran akan nilai kekekalan pada dirinya. Manusia tetap berusaha melepaskan diri dari konflik di dalam dirinya, berusaha melampaui dan menerobos ikatan waktu menuju kepada dunia yang lain, namun semuanya akan berakhir pada kesia-siaan. Tanpa belas kasih dan pertolongan Allah yang kekal, semua yang manusia pikirkan, renungkan, dan harapkan hanya realitas yang samar-samar, bukan realitas kekekalan yang sebenarnya.
Kristus dan Kekekalan-Nya
Dalam Mikha 5:1 dikatakan, “Tetapi engkau hai Betlehem Efrata, hai terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seseorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.” Nabi Mikha sudah menubuatkan bahwa dari kota kecil yang tidak dipandang oleh manusia ataupun bangsa-bangsa, Tuhan akan membangkitkan seseorang dari keturunan Yehuda yang akan memerintah atas Israel yang permulaannya sudah sejak purbakaka. Kata “dari sejak purbakala, sejak dahulu kala” di sini hendak membedakan Dia yang datang itu dengan raja Daud yang juga pernah Allah bangkitkan bagi Israel dari kota Betlehem. Dia yang datang dari kekekalan, sudah ada sebelum segala sesuatu dijadikan, sudah ada sebelum kelahiran-Nya, Dialah Yesus Kristus.
Inkarnasi Tuhan menjadi manusia menandakan Tuhan memasuki waktu dan ruang bersama dengan kita dan Dia akan terus bersama dengan kita. Dia yang tak terbatas dan kekal itu rela datang membatasi diri-Nya untuk diikat dalam kesementaraan waktu. Tuhan yang tidak berubah harus menanggung segala perubahan dengan menjadi daging. Namun demikian Anak Allah yang berinkarnasi tetaplah Tuhan yang transenden. Saat Dia menjadi manusia dan memberi respon terhadap perubahan hari dan waktu di dalam dunia ciptaan-Nya, Dia tetap Tuhan yang mengatur semua peristiwa dan sejarah yang terjadi dalam dunia ini. Jadi, mengapa Dia, Tuhan yang kekal itu melakukan-Nya? karena Dia sangat mengasihi kita. Melalui kelahiran-Nya dan akhirnya akan menuju kepada kematian-Nya memungkinkan kita dapat beroleh kembali hidup kekal di dalam Allah.
(Lukas 3:6)
“Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin…”
|
“Tibalah waktunya” menjadi berita pengharapan besar bagi seluruh bangsa. Ini tidak sekadar berbicara tentang “waktu” seorang perempuan bernama Maria yang akan melahirkan seorang anak sebagaimana dialami juga oleh perempuan lainnya, tidak juga berbicara tentang “waktu” janji Tuhan akan membangkitkan seorang penolong Israel yang akan memerintah dan mengembalakan umat-Nya (Mi. 5:1-3), tetapi juga berbicara tentang “waktu” di mana Tuhan yang sudah ada di dalam kekekalan sekarang masuk ke dalam dunia ciptaan yang terbatas.
(Lukas 2:7)
“dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan…”
|
Inilah kelahiran Kristus. Inilah cara Tuhan mengungkapkan kepada kita secara luar biasa bagaimana Tuhan berelasi dengan kita. Meski Ia datang dari kekekalan tapi Ia mau berinteraksi dengan kita, melihat penderitaan kita, menuntun kita dan bahkan menghukum kita sebagai sifat kebapakan terhadap umat-Nya. Dialah sang Imanuel, Tuhan yang sungguh-sungguh bersama kita dan Tuhan yang berdaulat selamanya.
Kristus jalan penentu kekekalan
Lukas merunut silsilah Yesus Kristus dengan mengakhirinya pada Kristus Anak Allah. Di sini Lukas bermaksud tidak hanya mengkontraskan antara kemanusiaan Adam yang pertama diciptakan dan Kristus Anak Allah yang berasal dari kekekalan, tapi juga mengkontraskan Adam yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah dan memiliki status sebagai anak Allah telah gagal akibat kejatuhan dalam dosa. Akan tetapi, Dia, Kristus Anak Allah dating untuk membatalkan semua kerusakan yang telah dilakukan oleh Adam, yakni semua penyakit, dosa dan kematian. Dia datang untuk memulihkan segala kesengsaraan yang dibawa akibat kegagalan Adam pertama, yakni dosa, penderitaan dan bahkan kematian, sehingga melalui Dia, Anak Allah, kita beroleh pengampunan, kasih karunia, damai sejahtera dan perdamaian/rekonsiliasi dengan Allah. Dan kita pun beroleh kembali hidup kekal melalui kemenangan Kristus. Itulah mengapa Allah Bapa sangat mengasihi Kristus, Anak Allah yang kepada-Nya Dia berkenan (Luk. 3:21).
Penutup
“Oleh karena pengharapan, yang disediakan bagi kamu di sorga. Tentang pengharapan itu telah lebih dahulu kamu dengar dalam firman kebenaran, yaitu Injil, yang sudah sampai kepada kamu. Injil itu berbuah dan berkembang di seluruh dunia, demikian juga di antara kamu sejak waktu kamu mendengarnya dan mengenal kasih karunia Allah dengan sebenarnya.” (Kol. 1:5-6). Pengharapan akan kekekalan sudah terlebih dulu Allah sediakan di Sorga. Hanya di dalam berita Injil sajalah berita pengharapan itu dinyatakan. Berita Injil akan pengharapan hidup kekal di dalam Kristus tidak dapat dibatasi oleh waktu dan ruang dari dunia ciptaan-Nya karena pekerjaan Allah bersifat transenden, melampaui segala yang ada. Itulah sebabnya manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal hingga akhir. (Pkh. 3:11).
[ Mulatua Silalahi, ST. MT
]
