PERCAYA DAN BERSAKSI
 
( Eksposisi Yohanes 9:18-23 )
 
_oOo_
 
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ringkasan khotbah penulis pada Kebaktian Persekutuan Studi Reformed tanggal 9 Oktober 2021
 
 
Konteks Pendahuluan (Yohanes 9:16-17)
 
Di ayat 16 kita melihat sebuah pertentangan besar antara sesama orang Farisi terkait dengan pertanyaan apakah Yesus berasal atau utusan dari Allah atau bukan? Sebagian orang Farisi berargumen bahwa semua orang yang memelihara Sabat berasal dari Allah. Tetapi menurut mereka Yesus justru dianggap tidak memelihara hari Sabat karena Ia menyembuhkan seseorang pada hari Sabat, yang dianggap sebagai sebuah tindakan terlarang karena bertentangan dengan aturan Sabat. Jika Yesus adalah pelanggar aturan Sabat, maka pasti Ia bukan berasal dari Allah.
 
Namun sebagian Farisi lainnya juga berargumen, kalau Yesus dianggap bukan berasal dari Allah atau lebih tegasnya dianggap orang berdosa karena melanggar aturan Sabat, mengapa Ia dapat melakukan mukjizat sedemikian luar biasa itu? Apalagi juga dikatakan bahwa, “dari dulu sampai sekarang, tidak terdengar ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta.” (Yoh. 9:32). Oleh karenanya, jika Dia bukan Allah, maka tidak mungkin Ia dapat melakukan hal tersebut. Itu artinya, Yesus adalah Allah. Di dalam Perjanjian Lama juga dinyatakan bahwa Allah sendiri yang memberikan penglihatan kepada orang buta (lihat Kel.4:11, Mzm 146:8, Yes. 29:18, Yes. 35:5, Yes. 42:7). Ini juga merupakan tanda aktivitas Mesias (messianic sign). Ayat 16 ini diakhiri dengan kalimat, “maka timbullah pertentangan di antara mereka” (baca: sesama orang Farisi).
 
Di ayat 17, orang Farisi itu mengejar orang buta tersebut dengan pertanyaan, “Dan engkau, apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?” Jawabnya: “Ia adalah seorang nabi.” Di sini kita melihat suatu pengenalan yang semakin dalam dari orang buta itu. Yang tadinya ia tidak mengenal siapa Yesus, sekarang ia mulai mengenal Yesus sebagai nabi.
 
Eksposisi Yohanes 9:18-23
 
 
[Yohanes 9:18] “Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru dapat melihat lagi, sampai mereka memanggil orang tuanya.”
 
 
Pada ayat ini kita perlu mengklarifikasi siapakah mereka “orang-orang Yahudi” di ayat ini? Banyak para ahli berpendapat bahwa yang dimaksud “orang-orang Yahudi” di sini merujuk kepada orang-orang Farisi di ayat 13. Di sini kita melihat, mereka (orang Farisi) tetap tidak percaya akan terjadinya mukjizat itu. Tindakan ini sama artinya mereka sedang menolak Yesus berasal dari Allah atau utusan Allah. FF Bruce di dalam tafsirannya memakai frasa “menolak untuk percaya (refuse to believe)”. Artinya, mereka sebenarnya bisa saja atau ada kemungkinan untuk percaya, namun mereka menolaknya. A.W Pink dalam bagian ini juga menggunakan frasa “memutuskan untuk tidak mempercayainya.” Di sini, orang Farisi sudah mengambil keputusan final, berketetapan hati untuk tidak percaya. Padahal di bagian sebelumnya sudah sangat jelas bukti-bukti yang ada akan terjadinya mukjizat tersebut. Pertama, pengakuan dari orang buta itu sendiri. Kedua, pengakuan dari tetangga-tetangga orang buta tersebut. Namun mereka tetap tidak percaya. Ternyata tidak ada satu buktipun yang akan mengubah pendapat mereka lagi dan tak ada satu kesaksianpun yang akan memengaruhi mereka. Mengapa demikian? Karena kebencian (hatredness) mereka sudah sangat besar kepada Yesus, ditambah kekerasan hati mereka untuk tidak percaya Yesus. Hal ini jelas sekali, karena pada bagian-bagian sebelumnya sudah jelas bahwa tujuan utama mereka adalah bagaimana bisa membunuh Yesus. Matthew Henry mengatakan bahwa kebencian mereka terhadap Kristus telah menggerogoti seluruh kemanusiaan dan kesalehan mereka.
 
Itu sebabnya, ketidakpercayaan mereka itu mendorong mereka untuk berusaha memperoleh kesaksian dari pihak lain, yakni orang tua dari orang buta tersebut. Mereka butuh pengakuan lain dengan tujuan untuk memastikan kepada orang tua dari orang buta itu agar menyangkal bahwa anaknya lahir buta. Dengan pengakuan ini mereka bermaksud untuk menyangkal mukjizat yang di lakukan Yesus. Ketika mukjizat berhasil disangkal, maka mereka dapat berkata bahwa Yesus adalah orang berdosa karena menghina Sabat dan pasti Ia bukan berasal dari Allah. Tindakan orang Farisi bertanya kepada orang tua dari orang buta itu setidaknya dapat mempengaruhi mereka untuk mengubah pengakuannya. Di sini ada unsur “menekan” karena yang orang tua itu hadapi adalah pemimpin agama yang memiliki otoritas besar. Tujuan orang Farisi tersebut sesungguhnya bukan untuk mencari kebenaran dan diubahkan oleh kebenaran itu, tetapi untuk mencari pembenaran bagaimana dapat membunuh Yesus.
 
 
[Yohanes 9:19-20] “dan bertanya kepada mereka: "Inikah anakmu, yang kamu katakan bahwa ia lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat? Jawab orang tua itu: "Yang kami tahu ialah, bahwa dia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta”
 
 
Pada bagian ini terlihat mulai terjadi interogasi yang dilakukan orang Farisi tersebut terhadap orang tua dari orang buta yang disembuhkan itu. Di sini orang Farisi mencoba mengklarifikasi tiga hal: pertama, benarkan ini anakmu? kedua, benarkah ia lahir buta? dan ketiga, bagaimanakah ia dapat melihat?
 
Kita melihat pertanyaan-pertanyaan yang sama terus dilontarkan oleh orang Farisi, yang terus mengharapkan jawaban yang sesuai dengan intensi mereka. Mereka butuh pengakuan dari orang tua itu yang mengatakan bahwa anaknya tidak terlahir buta. Arthur W Pink melihat hal ini seperti suatu tindakan putus asa dari sebagian orang Farisi karena sebelumnya sudah berhadapan dengan jawaban (pengakuan) orang buta itu dan pengakuan sebagian orang yahudi “yang kurang memusuhi Yesus” (ay.16) yang mulai menyangsikan kenapa orang yang dianggap berdosa bisa membuat mukjizat. Namun nampaknya harapan mereka sirna. Dengan tegas orang tua menjawab bahwa benar ia adalah anak mereka dan bahwa benar ia terlahir buta.
 
 
[Yohanes 9:21] “tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakanlah kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri”
 
 
Pada pertanyaan pertama dan kedua orang tua itu dengan yakin menjawab “kami tahu,” tapi pada pertanyaan ketiga berubah menjadi “kami tidak tahu”. Mereka menjawab tidak tahu bagaimana anaknya dapat melihat dan tidak tahu siapa yang memelekkan matanya. Namun jawaban mereka tentunya menimbulkan kecurigaan apakah benar mereka benar-benar tidak tahu? Bukankan mereka pasti akan bertanya langsung ke anak mereka atas terjadinya mukjizat itu? Dan tentunya juga berita mukjizat besar ini akan dengan cepat tersebar di masyarakat. Seharusnya mereka tahu, tapi mereka berpura-pura tidak tahu karena ketakutan mereka untuk bersaksi akan hal itu.
 
Ironisnya, mereka justru menyerahkan beban pembuktian itu langsung kepada anaknya yang dianggap sudah dewasa. Untuk catatan, di dalam aturan Yahudi, anak berusia di atas 13 tahun dianggap sudah dewasa dan dapat dijadikan saksi dalam pengadilan. Sebagai orang tua, bukankah seharusnya mereka berdiri di depan membela anaknya? Bukankah momen ini merupakan kesempatan bagi orang tua tersebut untuk bersaksi atas mukjizat besar yang dialami anaknya? Sayangnya kesempatan itu hilang dengan sia-sia. Di sini mereka memilih untuk bermain aman (playing safe), tidak mau ambil risiko, dan berusaha menghindarkan diri dari kesulitan yang akan timbul akibat kesaksian mereka. Mukjizat besar yang sudah Yesus kerjakan demi kesembuhan anak mereka ternyata tidak membuat hati mereka tergerak untuk bersaksi bagi Kristus.
 
 
[Yohanes 9:22-23] “Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan. Itulah sebabnya maka orang tuanya berkata: "Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri”
 
 
Di sini terlihat jelas alasan mengapa mereka berkata demikian karena takut kepada orang-orang Yahudi, takut bersaksi bahwa Yesus adalah Mesias karena kesaksian tersebut mengancam mereka dikucilkan dan dikeluarkan dari sinagoge. Mereka lebih takut kepada manusia ketimbang takut akan Tuhan. Mereka takut menyatakan kebenaran dan bersaksi bagi Kristus yang sudah menyelamatkan anaknya.
 
Penutup
 
Percaya dan bersaksi seharusnya menjadi satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bersaksi bagi Kristus bukan tanpa tantangan dan risiko. Meski demikian, kita harus siap sedia menjalaninya sebagai bagian dari panggilan untuk memikul salib di perjalanan spiritual kita mengikut Kristus. Percaya dan bersaksilah bagi Kristus, Tuhan kita!
[ Nikson Sinaga, SE]
 
Pin It
 
 

 
Copyright © Persekutuan Studi Reformed
 
 
Persekutuan Studi Reformed
Contact Person: Sdri. Deby – 08158020418
 
About Us  |   Visi  |   Misi  |   Kegiatan