
_oOo_
Pengantar
Suatu waktu salah seorang kontak BlackBerry saya memasang foto profil dengan pose diri bergaya ceria seorang model yang digantinya berkali- kali dalam satu hari. Hal yang lucu bagi saya adalah teks Personal Message dari kontak saya ini menulis bagaimana ia mengangkat tangannya kepada Yesus oleh karena kepedihan dan keletihan yang dialaminya telah menjadikannya seakan-akan tidak kuat bertahan menghadapi kenyataan hidup ini. Dari foto profilnya itu saya tidak tahu persis apakah kontak saya itu, yang adalah pemasang gambar dan penulis (author) teks Personal Message-nya, sesungguhnya sedang sedih atau gembira. Atas gambar yang dipasangnya dan teks yang ditulisnya itu saya hanya bisa berpraduga ini dan itu. Yang jelas di sini adalah bahwa gambar dan pesan dalam era media sosial moderen tidak selalu relevan rupanya dan lagipula foto profil yang dipasang dan Personal Message yang ditulis seseorang pada media sosial seperti BlackBerry merupakan hak seseorang sebagai pengguna dan tak seorang lain pun berhak mengusiknya. Akan tetapi hal yang pasti adalah bahwa media moderen telah memungkinkan geliat seseorang tersampaikan dengan begitu cepat kepada seluruh kontaknya dan sebagai konsekuensinya setiap orang yang membacanya juga berhak membangun interpretasinya sendiri atas gambar dan pesan yang dilihatnya.
Pendahuluan
Hal yang disampaikan di dalam bagian di atas sesungguhnya merupakan gambaran sederhana mengenai telah berlalunya era strukturalisme serta apa yang gerakan itu yakini akan bahasa sebagai sistem yang terstruktur dari tanda-tanda. Oleh karena itu dalam artikel ini penulis mengangkat tema strukturalisme sebagai bahasan. Mengingat betapa luasnya tema strukturalisme ini (termasuk asal-usul pemikiran yang membentuknya dan pengaruhnya pada kebudayaan) tulisan ini memfokuskan bahasannya pada bagaimana seharusnya orang Kristen menyikapi strukturalisme berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab. Bahasa adalah sarana komunikasi dan komunikasi harus didasarkan atas kebenaran sekalipun itu tidak berarti bahwa ia tidak mungkin dapat digunakan secara berlimpah. Hidup di dalam dunia adalah hidup mengarungi berbagai pergumulan dengan segala suka dan duka. Jadi alangkah baiknya apabila kita memahami teks-teks Alkitab dalam segala kelimpahannya tanpa kehilangan fokus pada maksud teks-teks itu disampaikan kepada pembaca masa kini yang adalah kita, agar sungguh- sungguh bermanfaat bagi kita, sebagaimana juga kepada pembaca pertamanya pada masa lalu.
Strukturalisme: apa itu?
Strukturalisme merupakan suatu gerakan intelektual yang berkembang di daratan Eropa pada pertengahan abad ke-20 yang dipelopori oleh seorang linguis Swiss pada awal abad ke-20 bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) yang pemikirannya diterbitkan secara anumerta oleh dua orang muridnya dengan judul Cours de linguistique generale (Kursus tentang linguistik umum) pada tahun 1916. Untuk mengenal teori strukturalisme de Saussure setidaknya beberapa hal di bawah ini penting untuk kita pahami.
-
Hal yang umumnya orang mengerti mengenai relasi antara tanda bahasa dengan benda adalah bahwa keduanya selalu berelasi secara alamiah (natural)
-
Bahwa relasi antara “penanda” dengan “petanda” bersifat arbitrer, tidak alamiah.Yang ditandakan dalam tanda bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang benda. Lagi pula, menurut Saussure konsep itu tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahasa itu sendiri.
-
Setiap konsep dalam bahasa memiliki nilai atau makna oleh adanya oposisi binerAccording to Ferdinand de Saussure, the binary opposition is the means by which the units of language have value or meaning; each unit is defined in reciprocal determination with another term, as in binary code. It is not a contradictory relation but, a structural, complementary one. / Menurut Ferdinand de Saussure oposisi biner merupakan sarana dengan cara mana unit-unit dari bahasa mempunyai nilai atau makna; setiap unit terdefinisikan dalam suatu determinasi timbal balik dengan istilah lainnya, sebagaimana di dalam kode bineri. Ia bukanlah relasi yang bertentangan melainkan, sesuatu yang struktural dan saling melengkapi.
-
Pemikiran Saussure mengenai bahasa sebagai “satu sistem” (Prancis: la langue) dengan bahasa sebagaimana dipergunakan oleh orang per orang dalam percakapan sehari-hari (Prancis: la parole)
-
Pemikiran Saussure mengenai aspek sinkroni dan diakroni dari bahasa
Dengan semua struktur yang Saussure paparkan ini, maka bahasa dalam arti la langue benar-benar telah menjadi sebuah obyek bagi manusia modern. Makna bahasa dipandang sebagai fungsi yang dihasilkan oleh suatu sistem atau struktur tertentu.
Strukturalisme linguistik Saussure kemudian diterapkan pada bidang-bidang lain di luar bahasa
Dalam perkembangannya strukturalisme yang berawal dari gagasan Saussure ini diterapkan oleh pemikir-pemikir lainnya dalam berbagai bidang.
Structuralism is a theoretical paradigm in sociology, anthropology and linguistics positing that elements of human culture must be understood in terms of their relationship to a larger, overarching system or structure. It works to uncover the structures that underlie all the things that humans do, think, perceive, and feel. Alternatively, as summarized by philosopher Simon Blackburn, Structuralism is "the belief that phenomena of human life are not intelligible except through their interrelations.” / Strukturalisme merupakan paradigma teoretis dalam sosiologi, antropologi dan ilmu bahasa yang berkeyakinan bahwa elemen-elemen kebudayaan manusia harus dipahami dalam kerangka hubungan-hubungannya dengan sistem atau struktur yang lebih luas. Ia berfungsi menyingkapkan struktur-struktur yang mendasari segala sesuatu yang manusia perbuat, pikir, pegang dan rasakan. Secara berbeda dikatakan pula oleh filsuf Simon Blackburn, Strukturalisme adalah “keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia tidak dapat dipahami kecuali melalui interelasi-interelasi yang ada.”
|
Strukturalisme merupakan pendekatan manusia secara ilmiah dalam menganalisa suatu bidang khusus sebagaimana halnya sistem yang rumit atau bagian-bagian yang saling terinterelasi. Ia berpandangan bahwa seluruh aktivitas manusia dan segala sesuatu yang dihasilkannya, bahkan persepsi dan pemikirannya sendiri, merupakan sesuatu yang “dibentuk” dan tidak bersifat alamiah, dan pada hakekatnya segala sesuatu mempunyai makna oleh karena sistem bahasa di dalam mana kita hidup. Strukturalisme berevolusi menjadi keyakinan bahwa kebudayaan manusia dapat dipahami secara obyektif menurut struktur-struktur yang ada. Kita dalam hal ini dipandang dapat mengambil jarak secara obyektif dengan struktur-struktur yang ada dalam kebudayaan kita.
Paska-strukturalisme sebagai gugatan terhadap strukturalisme
Dalam perjalananannya pemikiran filsuf strukturalisme awal abad ke-20 itu dikritisi oleh filsuf-filsuf Prancis pada pertengahan abad ke-20 serta oleh filsuf- filsuf Eropa dan para kritisi yang mulai mengemuka pada dasawarsa 1960 hingga 1970-an, yang kemudian oleh para akademisi Amerika disebut dengan gerakan paska-strukturaslime. Hal utama yang disoroti oleh paska- strukturalisme adalah ketidakmapanan ilmu pengetahuan manusia oleh karena dibalik keyakinan akan dapat dijelaskannya segala sesuatu di dalam struktur kebudayaan manusia ini disadari bahwa memahami manusia itu sendiri sebagai subyek adalah hal yang rumit adanya dan ketidakmungkinannya untuk sepenuhnya melepaskan diri dari struktur-struktur yang ada dalam mengambil jarak untuk mempelajari dan membangun pengetahuan atas segala sesuatunya. Hal itu merupakan faktor penting yang mempertanyakan kembali kemapanan strukturalisme.
Post-structuralism is a response to structuralism. Post- structuralist authors all present different critiques of structuralism, but common themes include the rejection of the self-sufficiency of the structures that structuralism posits and an interrogation of the binary oppositions that constitute those structures. / Paska-strukturalisme merupakan respon terhadap strukturalisme. Penulis-penulis paska-strukturalisme sekalipun mempunyai berbagai kritik yang berbeda akan strukturalisme, memiliki tema yang sama yaitu menolak keyakinan mereka akan kecukupan diri dari struktur-struktur yang strukturalis yakini serta mempertanyakan pula keyakinan kaum strukturalis akan kemapanan oposisi biner yang membentuk struktur-struktur tersebut.
|
Di antara mereka yang dicirikan sebagai “paska-strukturalis” oleh akademisi Amerika itu terdapat Jacques Derrida dan Julia Kristeva, sekalipun ada beberapa nama lagi di luar mereka, dan banyak juga di antara mereka menolak label ini. Secara umum pemikiran mereka menolak kemapanan oposisi biner sebagaimana diyakini oleh kaum strukturalis sehingga bagi mereka makna dan kategori-kategori intelektual selalu merupakan sesuatu yang bergerak dan terbuka untuk dipertanyakan (unstable). Dalam dunia literatur paska-strukturalisme hadir dengan cara menolak makna absolut segala sesuatu, sehingga teks selalu terbuka kepada ruang interpretasi yang tidak terbatas. Ludwig Wittgenstein contohnya menyingkapkan bagaimana sesungguhnya dalam sistem pertandaan relasi penanda-petanda itu sendiri, yang oleh strukturalisme dikatakan sebagai proses mekanis yang menghasilkan makna, sesungguhnya merupakan permainan bahasa saja. Di sinilah kompleksitas yang sesungguhnya manusia hadapi: manusia hanya mungkin dapat memahami apa yang diterangkan kepadanya sejauh itu ada di dalam konsep yang ia pelajari; konsep yang ia pelajari itu secara kompleks dibentuk oleh serangkaian realita dimana ia sendiri merupakan elemen di dalamnya. Bagaimana mungkin, apabila demikian, manusia dapat mengambil jarak dengan struktur-struktur yang ada untuk kemudian mengamati dan mendeskripsikannya secara obyektif? Inilah ilusi strukturalis sebagaimana dibongkar oleh paska-strukturalis.
Paska-strukturalisme dan intertekstualitas
Oleh karena itu ada baiknya apabila di sini kita melihat salah satu gagasan paska-strukturalisme yang merupakan respon terhadap bangunan strukturalisme, yaitu: intertekstualitas. Intertekstualitas merupakan suatu gagasan pokok dari teori kesusasteraan dan kebudayaan kontemporer. Intertekstualitas berhutang kepada gagasan linguistik yang dibangun oleh de Saussure, akan tetapi istilahnya sendiri digaungkan oleh seorang filsuf paska-strukturalisme Bulgaria-Prancis bernama Julia Kristeva pada tahun 1960-an. Oleh karena itu ada baiknya kita melihat terlebih dahulu definisi intertekstualitas menurut Wikipedia:
Intertextuality is the shaping of a text meaning by another text. Intertextual figures include: allusion, quotation, calque, plagiarism, translation, pastiche and parody. An example of intertextuality is an author’s borrowing and transformation of a prior text or to a reader’s referencing of one text in reading another. / Intertekstualitas adalah pembentukan suatu makna teks dengan teks lainnya. Bentuk-bentuk intertekstual meliputi kiasan (pengibaratan), kutipan (nukilan), terjemahan pinjaman, jiplakan, terjemahan, karya seni visual yang mengimitasi karya seni atau karakter seniman lainnya, dan parodi (tiruan yang bersifat mengejek). Contoh intertekstualitas adalah upaya seorang penulis untuk meminjam dan mentransformasi suatu teks awal atau upaya seorang pembaca untuk merujuk satu teks saat ia membaca teks-teks lainnya.
|
Sebagai metode, intertekstualitas merupakan cara dalam mana teks-teks berdiri saling tergantung di dalam relasi antara satu dengan lainnya (sebagaimana halnya kebudayaan secara luas) untuk menghasilkan suatu makna. Sebagai istilah teknis, intertekstualitas sendiri sesungguhnya merupakan istilah yang telah dipinjam dan bertransformasi berkali-kali sejak ia digaungkan oleh Julia Kristeva pada tahun 1966. William Irwin, seorang filsuf, juga mengatakan bahwa istilah ini “telah memiliki makna sebanyak penggunanya saat ini, mulai dari mereka yang setia kepada visi awal Kristeva hingga mereka yang semata-mata menggunakannya sebagai cara bergaya saat berbicara mengenai kiasan dan pengaruh sosial.” Intertekstualitas telah membuka ruang yang selama ini telah ditutup oleh keyakinan akan struktur dan dengan demikian memungkinan setiap orang untuk kreatif menghubungkan suatu teks dengan teks lainnya untuk menghasilkan makna yang tidak terbatas.
Bagaimana sikap moral Kristen dalam situasi ini?
Sebagai intelektual Kristen, kita dipanggil untuk berbagian memikirkan dan mengembalikan bahasa kembali kepada tempatnya semula. Menerima strukturalisme apa adanya menandakan ketidakberbedaan kita dengan dunia ini, akan tetapi menolaknya begitu saja merupakan hal yang tidak mungkin karena apa yang digagas oleh Saussure tetap mengandung kebenaran yang bermanfaat hingga batasan tertentu.
-
Struktur dan sistem tidak boleh menjadi segala sesuatu.
-
Namun pula, apakah itu berarti kita menerima secara begitu saja intertekstualitas sebagai jalan keluar yang disediakan oleh paska- strukturalisme kepada kita?Intertextuality means that texts are open – open to the effects of the past texts and to the contexts of present readers. Intertextuality is thus another way of restating Derrida’s maxim that “there is nothing outside texts.” There is no such thing, that is, as a text-in-itself. Strictily speaking, a text is not itself; texts become themselves only as they differ and relate to other specific texts. A text “is a relational event, not a substance to be analyzed.” A text is part of a network of texts that has no center, no beginning, and no end. / Intertekstualitas berarti bahwa teks terbuka – terbuka pada tradisi yang membentuk teks- teks tersebut pada masa lalu dan kepada konteks pembacanya pada masa kini. Intertekstualitas juga merupakan cara lain untuk menyatakan prinsip dasar yang dibangun Derrida bahwa “tidak ada apapun di luar teks.” Tidak ada hal seperti itu, teks di dalam dirinya sendiri. Dikatakan secara tegas bahwa suatu teks bukanlah teks itu sendiri; teks menjadi teks hanya apabila ia berbeda dan berhubungan dengan teks-teks spesifik lainnya. Suatu teks hanyalah “suatu peristiwa relasional, bukan suatu substansi untuk dianalisa.” Suatu teks merupakan bagian dari suatu jejaring teks-teks lainnya yang tidak berpusat, tanpa awal dan tanpa akhir.
Kesimpulan
Strukturalisme menjanjikan sistem yang teratur, akan tetapi ia bukan segala- galanya sehingga ia dapat memahami dan menjelaskan segala sesuatu. Paska-strukturalisme merupakan jalan yang memungkinkan pembaca terinspirasi oleh banyak makna, akan tetapi seperti halnya strukturalisme, ia juga tidak boleh menguasai kita selaku pembaca teks secara begitu saja dalam menghasilkan interpretasi sebanyak yang kita inginkan. Sistem dalam bahasa tetap harus mengindahkan subyek yang berkata-kata pada tempatnya. Demikian pula jejaring teks harus menghasilkan pemahaman yang benar akan realita dalam penghormatan akan maksud Tuhan bagi kita, orang lain dan dunia kita.
Penutup
Sekali lagi, moralitas Kristen adalah moralitas yang dibangun di atas dasar prinsip-prinsip Alkitab. Ia tidak hanya relevan dengan kehidupan pribadi melainkan sesuatu yang juga relevan dengan realitas kehidupan dalam era media sosial ini. Oleh karena itu kita harus menempatkan sistem-sistem yang ada di dalam dunia ini pada tempatnya dengan menghormati setiap struktur menurut maksud Allah membentuknya. Dengan moralitas kesusasteraan Kristen maka segala pesan dan maksud yang kita komunikasikan dalam dunia sosial media selalu menghadirkan kerajaan Allah dalam bentuk kecilnya. Persekutuan Studi Reformed merupakan salah satu wadah dimana kita dapat menikmati bagaimana mempelajari dan kemudian mengerjakan hal itu. Mari kita gunakan waktu kita yang tersisa ini sebaik-baiknya bagi kemuliaan Tuhan.
Selamat Paskah 2021
[ Jessy V. Hutagalung, SE
]
